Penerapan PBJ Berbasis Risiko di Dunia Kesehatan

Pengantar: Kenapa perlu pendekatan berbasis risiko untuk PBJ kesehatan?

Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) di sektor kesehatan berbeda dari pengadaan di sektor lain. Di sini yang dibeli sering kali menyangkut keselamatan pasien – obat, reagen laboratorium, alat diagnostik, sampai jasa penunjang klinis. Kesalahan spesifikasi, pemasok yang tidak andal, atau keterlambatan pengiriman bisa berakibat serius: pelayanan terganggu, pasien terluka, atau anggaran terbuang. Karena konsekuensi ini, pendekatan “satu pola untuk semua paket” tidak lagi cukup. Pendekatan berbasis risiko (risk-based procurement) menempatkan fokus pada identifikasi dan pengelolaan risiko sejak perencanaan sehingga tindakan pencegahan dan kontrol diprioritaskan pada paket yang paling berpotensi menyebabkan dampak besar.

Pendekatan berbasis risiko bukan sekadar alat teknis untuk ahli; ia seharusnya menjadi kultur kerja yang dipahami oleh staf pengadaan, manajer klinis, keuangan, hingga pimpinan. Artinya, sebelum setiap paket dilelang atau dibeli, tim mengecek: seberapa besar dampak kegagalan pasokan terhadap keselamatan pasien? Seberapa besar potensi kerugian keuangan bila barang tak sesuai? Seberapa kompleks spesifikasi teknis yang diperlukan? Hasil penilaian itu menentukan metode pengadaan, tingkat pemeriksaan dokumen, hingga klausul kontrak yang wajib dimasukkan (misal: garansi purna jual, SLA cepat, pelatihan teknisi).

Artikel ini membahas bagaimana menerapkan PBJ berbasis risiko khusus untuk dunia kesehatan, dengan bahasa mudah dan contoh praktis. Kita akan jelaskan konsep dasar, mengapa ini penting di rumah sakit dan puskesmas, prinsip-prinsip yang harus dipegang, langkah implementasi terperinci, contoh matriks risiko sederhana, pembagian peran dan tata kelola, alat pendukung seperti checklist dan sistem digital, cara monitoring dan evaluasi, hambatan umum beserta solusi, dan akhirnya rekomendasi praktis yang bisa langsung diterapkan. Tujuannya supaya setiap pihak – dari kepala unit pengadaan sampai perawat yang memesan bahan habis pakai – bisa memahami dan ikut menjalankan PBJ yang aman, efisien, dan berbasis risiko.

Dengan memahami pendekatan ini, unit kesehatan bisa meminimalkan kejadian kritis akibat kegagalan pasokan, mengoptimalkan penggunaan anggaran, dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pelayanan kesehatan daerah. Selanjutnya kita mulai dari dasar: apa itu PBJ berbasis risiko dan bagaimana ia berbeda dari PBJ konvensional.

Apa itu PBJ Berbasis Risiko: konsep sederhana dan terapan

Secara sederhana, PBJ berbasis risiko adalah cara menyusun dan melaksanakan pengadaan yang memprioritaskan alokasi waktu, pengawasan, dan kontrol pada paket-paket yang berisiko tinggi-bukan memperlakukan semua paket dengan tingkat perhatian yang sama. Risiko di sini memiliki dua dimensi utama: kemungkinan (seberapa besar peluang sesuatu berjalan salah) dan dampak (seberapa besar konsekuensi bila terjadi). Dalam konteks kesehatan, dampak sering kali berkaitan langsung dengan keselamatan pasien, kontinuitas layanan, serta kerugian finansial.

Konsep ini mudah: alokasikan energi pengadaan – misalnya pemeriksaan legal, pengujian spesifikasi, uji fungsi, dan mekanisme jaminan – lebih besar pada paket yang kalau gagal akan menimbulkan konsekuensi serius. Contohnya, pembelian masker sekali pakai untuk poliklinik mungkin berisiko rendah (dampak relatif kecil bila ada masalah), sehingga dapat melalui proses yang lebih sederhana. Sebaliknya, pembelian mesin hemodialisis atau ventilator memiliki risiko tinggi (kesalahan spesifikasi atau kegagalan purna jual berdampak langsung pada pasien); paket ini memerlukan kajian teknis, uji coba pabrik, SLA ketat, dan klausa penalti.

PBJ berbasis risiko bukan hanya soal memilih metode pengadaan. Ia juga mempengaruhi: cara menyusun RUP, siapa yang harus terlibat di tahap penyusunan spesifikasi (mis. dokter spesialis, teknisi biomedis), dokumentasi yang harus disimpan, serta cara menilai kelayakan pembayaran final (mis. menahan sebagian pembayaran sampai uji fungsi selesai). Pendekatan ini mendorong budaya kerja preventif: mengidentifikasi potensi masalah lebih awal dan menyiapkan mitigasi realistis.

Dalam implementasinya, unit pengadaan membuat list paket dan menilai risiko setiap paket menggunakan kriteria standar. Hasil penilaian menuntun ke keputusan praktis: tingkat review internal, apakah perlu tender terbuka atau penunjukan dengan syarat khusus, jaminan teknis apa yang harus diminta, dan apa saja indikator penerimaan kualitas. Nilai tambahnya nyata: pengadaan jadi lebih fokus, audit lebih mudah, dan layanan kesehatan lebih aman.

Selanjutnya kita jelaskan mengapa PBJ berbasis risiko sangat penting di dunia kesehatan – dengan contoh nyata dampak kegagalan yang biasa terjadi.

Mengapa PBJ berbasis risiko krusial di dunia kesehatan: dampak dan contoh nyata

Dunia kesehatan bekerja dengan variabel yang sensitif: nyawa, diagnosis, penyakit menular, dan kebutuhan darurat. Karena itu efek dari kegagalan pengadaan sering tidak hanya finansial, melainkan langsung memengaruhi nyawa dan kepercayaan masyarakat. Mari tinjau beberapa jenis dampak yang membuat PBJ berbasis risiko wajib diterapkan.

  1. Dampak klinis. Jika alat diagnostik memberikan hasil yang keliru karena spesifikasi tidak tepat, pasien berisiko mendapat terapi yang salah. Misalnya, reagent laboratorium yang tidak sesuai spesifikasi dapat menghasilkan hasil pemeriksaan darah yang menyesatkan.
  2. Gangguan kontinuitas layanan. Keterlambatan pengadaan obat penting, seperti antibakteri esensial atau vaksin, dapat mengganggu program imunisasi atau pengobatan penyakit kronis.
  3. Biaya tidak terduga. Membeli alat murah tanpa mempertimbangkan biaya pemeliharaan purna jual bisa mengakibatkan biaya perbaikan yang jauh lebih tinggi daripada investasi awal.
  4. Risiko reputasi dan kepatuhan. Jika pengadaan berlangsung tanpa transparansi dan menimbulkan kegagalan layanan, publik dan pengawas akan memeriksa tata kelola; konsekuensinya bisa berupa temuan audit, teguran DPRD, atau sanksi hukum.

Dalam situasi pandemi atau bencana, pengadaan yang buruk dapat memperbesar krisis dan menurunkan kepercayaan publik terhadap layanan kesehatan setempat.

Contoh-contoh nyata: rumah sakit yang membeli ventilator tanpa mempertimbangkan kecocokan voltage atau suku cadang lokal akan mengalami downtime dan pasien terdampak. Klinik yang menerima alat rapid test tanpa verifikasi kualitas menghadapi hasil false negative/positive yang merusak program surveilans. Di sisi obat, pembelian obat generik tanpa verifikasi batch dan penyimpanan yang tepat dapat menyebabkan obat kehilangan efektivitas.

PBJ berbasis risiko membantu mencegah skenario ini dengan menempatkan tonjolan kontrol pada paket-paket kritis. Alih-alih sistem yang “sama untuk semua”, pendekatan berbasis risiko menyusun proses intensif pada area yang bila gagal akan menimbulkan efek domino. Itu sebabnya tiap rumah sakit, laboratorium, dan puskesmas sebaiknya mulai menerapkan penilaian risiko sebagai bagian baku saat merencanakan pengadaan.

Selanjutnya kita beralih ke prinsip-prinsip dasar yang harus dipegang saat merancang PBJ berbasis risiko di unit kesehatan.

Prinsip-prinsip dasar PBJ berbasis risiko untuk unit kesehatan

Agar penerapan PBJ berbasis risiko tidak menjadi sekadar formalitas, beberapa prinsip operasional menjadi pegangan. Prinsip-prinsip ini sederhana namun menentukan konsistensi dan keefektifan pendekatan.

  1. Prioritas berdasarkan dampak pada pasien
    Penilaian risiko harus menempatkan keselamatan pasien sebagai ukuran utama. Paket yang langsung memengaruhi diagnosis atau terapi mendapat prioritas tertinggi dalam kontrol.
  2. Keterlibatan pemakai teknis
    Susun spesifikasi teknis bersama pengguna akhir (dokter, perawat) dan teknisi biomedis. Spesifikasi yang dibuat tanpa masukan praktis sering tidak relevan di lapangan.
  3. Berdasarkan bukti dan data
    Gunakan data konsumsi, histori kerusakan, dan pengalaman vendor untuk menilai kemungkinan kegagalan. Penilaian risiko yang berbasis data lebih akurat dibandingkan penilaian intuitif.
  4. Proporsional dan terukur
    Besaran kontrol harus proporsional dengan tingkat risiko. Paket risiko rendah tidak perlu proses berbelit, sementara paket risiko tinggi diberi langkah kontrol lebih intensif.
  5. Transparansi keputusan
    Catat penilaian risiko dan keputusan yang diambil (mengapa menggunakan metode tertentu, klausul kontrak yang dipilih). Transparansi ini memudahkan audit dan komunikasi dengan pemangku kepentingan.
  6. Mitigasi dan rencana kontinjensi
    Untuk setiap risiko utama, siapkan mitigasi (mis. stok darurat, pemasok alternatif, klausul garansi). Rencana kontinjensi wajib diuji secara berkala.
  7. Iteratif dan adaptif
    Risiko berubah-mis. munculnya varian penyakit baru-maka penilaian risiko harus diperbarui secara berkala dan prosedur disesuaikan.
  8. Kepatuhan hukum dan etika
    Semua tindakan pengadaan tetap harus mematuhi regulasi PBJ dan prinsip etika: non-diskriminasi, akuntabilitas, dan value for money.
  9. Pelibatan lintas fungsi
    Tim pengadaan harus bekerja bersama keuangan, hukum, unit klinis, dan inspektorat internal dalam paket berisiko.

Memegang prinsip-prinsip ini membantu organisasi menempatkan pengendalian sumber daya di tempat yang paling kritis, sekaligus menjaga efisiensi administratif. Selanjutnya, kita jabarkan langkah-langkah implementasi praktis yang bisa diikuti oleh unit kesehatan.

Langkah implementasi: roadmap praktis untuk unit kesehatan

Penerapan PBJ berbasis risiko membutuhkan roadmap yang jelas – langkah demi langkah agar bukan sekadar rencana di atas kertas. Berikut panduan praktis yang bisa diikuti:

  1. Persiapan dan komitmen pimpinan
    Mulai dengan komitmen tertulis dari pimpinan rumah sakit/dinas: bahwa PBJ akan menerapkan pendekatan berbasis risiko. Komitmen ini penting untuk mengalokasikan sumber daya dan memberi otoritas pada tim pengadaan.
  2. Pembentukan tim risiko pengadaan
    Bentuk tim kecil lintas fungsi: pengadaan, klinis (dokter/perawat), teknisi biomedis, keuangan, dan perwakilan hukum/inspektorat. Tim ini bertugas membuat kebijakan, matriks risiko, dan memutuskan paket prioritas.
  3. Inventarisasi paket dan klasifikasi awal
    Buat daftar paket pengadaan tahunan (RUP) dan lakukan penilaian awal risiko untuk tiap paket (mis. risiko tinggi/menengah/rendah). Gunakan kriteria sederhana: dampak pada pasien, nilai finansial, kompleksitas teknis, dan ketergantungan pada vendor tunggal.
  4. Desain matriks risiko sederhana
    Buat matriks (mis. 3×3 atau 4×4) yang mengalikan probabilitas dan dampak. Tentukan threshold untuk kategori “high risk” yang perlu kontrol ekstra. Matriks ini harus mudah dipahami dan dipakai konsisten.
  5. Tentukan kebijakan kontrol per kategori risiko
    Untuk risiko tinggi: wajib kajian teknis, dua penilai independen, uji fungsi, SLA ketat, jaminan purna jual, dan persyaratan stok cadangan. Untuk risiko menengah: audit dokumen yang lebih mendetail, klausa garansi standar. Untuk risiko rendah: proses singkat, penggunaan katalog atau penunjukan langsung sesuai aturan.
  6. Integrasikan ke RUP dan SOP pengadaan
    Jadikan penilaian risiko bagian wajib dalam RUP. SOP pengadaan harus menjelaskan alur: siapa menilai, dokumen apa yang harus disertakan, dan siapa memberi approval akhir untuk paket high-risk.
  7. Training dan sosialisasi
    Latih tim pengadaan dan pengguna klinis soal matriks dan kebijakan kontrol. Pastikan semua tahu peran mereka saat paket berisiko tinggi: teknis menyiapkan spesifikasi, klinis verifikasi kebergunaan, dan keuangan memastikan dana multiyear bila perlu.
  8. Pelaksanaan pilot
    Uji pendekatan pada beberapa paket prioritas (mis. pembelian alat anestesi, vaksin, atau alat laboratorium) selama 6 bulan. Evaluasi proses: waktu siklus, kualitas dokumen, hasil uji fungsi, dan respons vendor.
  9. Evaluasi dan skalasi
    Setelah pilot, kumpulkan pelajaran, perbaiki matriks dan SOP, lalu skala ke seluruh unit. Tetapkan mekanisme review berkala (mis. triwulan) untuk menilai efektivitas.
  10. Pemantauan berkelanjutan
    Pantau indikator utama: jumlah paket high-risk, waktu penyelesaian, frekuensi kegagalan uji fungsi, dan temuan audit. Gunakan data untuk perbaikan terus-menerus.

Dengan roadmap ini, unit kesehatan dapat bergerak dari teori ke praktik langkah demi langkah, sambil menjaga layanan tetap berjalan. Selanjutnya mari kita lihat contoh matriks risiko sederhana dan beberapa contoh penerapan nyata dalam paket kesehatan.

Menyusun matriks risiko dan contoh konkret paket kesehatan

Matriks risiko adalah alat sederhana tapi krusial. Berikut panduan membuat matriks 3×3 yang mudah dipakai: sumbu vertikal = dampak (rendah, sedang, tinggi); sumbu horizontal = kemungkinan (rendah, sedang, tinggi). Nilai risiko bisa dihitung sebagai kombinasi keduanya: mis. High (High x High), Medium, Low.

Contoh definisi singkat:

  • Dampak Tinggi: Kegagalan menyebabkan cedera serius atau kematian, gangguan layanan besar (mis. menutup unit), atau kerugian finansial besar.
  • Dampak Sedang: Kegagalan menyebabkan gangguan layanan yang dapat ditangani dengan mitigasi sementara, atau kerugian finansial menengah.
  • Dampak Rendah: Dampak terbatas, layanan tetap berjalan, kerugian kecil.
  • Kemungkinan Tinggi: Sering terjadi (mis. pemasok tidak stabil, barang sering rusak).
  • Kemungkinan Sedang: Pernah terjadi, peluang ada.
  • Kemungkinan Rendah: Jarang atau kondisi tidak mendukung.

Contoh paket dan penilaian:

  1. Ventilator ICU
    • Dampak: Tinggi (alat vital untuk pasien kritis)
    • Kemungkinan: Sedang (jika ada pemasok dan suku cadang lokal, kemungkinan gangguan menurun; jika pemasok luar negeri dan rantai pasok rapuh, kemungkinan meningkat)
    • Kategori: High Risk
    • Kontrol: Kajian teknis mendalam, uji fungsi di lokasi, SLA 24 jam untuk servis, garansi suku cadang minimal 2 tahun, ketentuan pelatihan teknisi lokal, stok suku cadang awal, pembayaran bertahap sesuai milestone.
  2. Reagen PCR untuk laboratorium
    • Dampak: Tinggi (mempengaruhi diagnosis penyakit menular)
    • Kemungkinan: Tinggi (ketersediaan global sering fluktuatif)
    • Kategori: High Risk
    • Kontrol: Kontrak jangka panjang dengan volume committed, diversifikasi pemasok, kontrol batch testing, jadwal pasokan strategis, buffer stock.
  3. Kain kasa dan sarung tangan
    • Dampak: Rendah-Sedang (penting tapi bisa alternatif)
    • Kemungkinan: Rendah (produk umum)
    • Kategori: Low-Medium Risk
    • Kontrol: Pembelian melalui katalog, safety stock standar, kontrak master untuk volume.
  4. Software manajemen rekam medis
    • Dampak: Sedang (mempengaruhi workflow, data pasien)
    • Kemungkinan: Sedang (masalah integrasi/bug kemungkinan muncul)
    • Kategori: Medium Risk
    • Kontrol: Uji coba pilot, SLA pengembang, backup data rutin, klausul pemulihan dan dukungan teknis.

Setiap paket yang masuk kategori high risk harus dilengkapi form penilaian risiko yang mencantumkan alasan penilaian serta mitigasi yang disepakati. Form ini menjadi lampiran wajib dalam dokumen pengadaan dan menjadi checklist saat audit. Matriks yang sederhana membantu membuat keputusan cepat dan konsisten.

Selanjutnya kita bahas siapa saja yang terlibat dan bagaimana tata kelola sebaiknya diatur.

Peran pemangku kepentingan dan tata kelola: siapa melakukan apa?

Pelaksanaan PBJ berbasis risiko membutuhkan kolaborasi lintas fungsi. Berikut pembagian peran yang praktis:

  1. Pimpinan (Direktur/Kepala Dinas)
    • Menetapkan kebijakan PMPBJ berbasis risiko, menunjuk tim pengadaan risiko, mengalokasikan sumber daya, dan memastikan dukungan manajemen atas.
  2. Tim Risiko Pengadaan (Core Team)
    • Anggota: Kepala pengadaan, perwakilan klinis (dokter/perawat), teknisi biomedis, keuangan, hukum/inspektorat.
    • Tugas: Menyusun matriks risiko, menilai paket high-risk, mengeluarkan rekomendasi kontrol, memonitor tindak lanjut.
  3. Unit Klinis / Pengguna
    • Menyusun kebutuhan teknis, menjelaskan penggunaan lapangan, dan terlibat uji fungsi. Keterlibatan mereka memastikan spesifikasi sesuai praktik klinis.
  4. Tim Teknis / Biomedis
    • Mengecek kompatibilitas teknis, persyaratan instalasi, kebutuhan suku cadang, dan memverifikasi jadwal pemeliharaan.
  5. Tim Pengadaan
    • Menjalankan proses pengadaan sesuai keputusan risiko: menyiapkan dokumen, tender, evaluasi, dan kontrak dengan klausul mitigasi.
  6. Keuangan
    • Menyusun skema pembayaran sesuai risiko (mis. DP, milestone, retensi), serta memastikan dana cadangan untuk stok kritis.
  7. Hukum / Inspektorat / APIP
    • Meninjau klausul kontrak, memastikan kepatuhan regulasi, dan bila perlu melakukan audit saat ada indikasi penyimpangan.
  8. Vendor / Pemasok
    • Memenuhi persyaratan teknis, SLA, menyediakan pelatihan dan suku cadang. Untuk paket kritis, perlu verifikasi kapasitas purna jual lokal.
  9. DPRD dan Masyarakat
    • Peran pengawasan eksternal: mendapatkan ringkasan kebijakan dan hasil pengadaan paket strategis bila perlu untuk transparansi.

Tata kelola itu juga memerlukan dokumentasi formal: mandat tim, SOP risiko pengadaan, form penilaian risiko, dan template klausul kontrak. Setiap keputusan yang menyimpang dari rekomendasi tim risiko harus dicatat dan diberi alasan tertulis agar ada jejak audit.

Berikutnya kita ulas alat dan sistem pendukung yang mempermudah implementasi-dari checklist manual sampai sistem digital.

Sistem, alat pendukung, dan integrasi yang memperlancar PBJ berbasis risiko

Implementasi PBJ berbasis risiko lebih mudah dengan alat dan proses yang tepat. Berikut beberapa alat praktis dan cara mengintegrasikannya.

  1. Checklist risiko dan form penilaian sederhana
    • Dokumen kertas atau template elektronik (Excel/Google Sheet) berisi kriteria: dampak klinis, nilai kontrak, kompleksitas teknis, ketergantungan pada vendor tunggal, dan urgensi. Form ini menjadi lampiran RUP dan dokumen tender.
  2. Matriks risiko digital
    • Simpel: spreadsheet yang menghitung skor risiko otomatis. Lebih baik lagi bila terintegrasi ke sistem e-procurement sehingga paket otomatis diberi label risiko saat dibuat.
  3. Sistem e-procurement dengan fitur tagging risiko
    • Jika memungkinkan, tambahkan field “risk level” di modul pembuatan paket. Paket high-risk memicu workflow review tambahan (mis. harus mendapat tanda tangan tim risiko sebelum publikasi).
  4. Manajemen kontrak berbasis cloud
    • Simpan kontrak dengan metadata risiko, SLA, dan jadwal pemeliharaan. Notifikasi otomatis mengingatkan soal garansi, masa kalibrasi, dan stok suku cadang.
  5. Inventory & aset management
    • Tracking suku cadang, masa garansi, dan riwayat servis alat membantu menilai risiko operasional; alat yang sering breakdown bisa naik ke kategori risiko lebih tinggi di periode berikutnya.
  6. Dashboard pemantauan KPI
    • Visualisasi: jumlah paket high-risk, waktu siklus, tingkat keberhasilan uji fungsi, frekuensi klaim garansi. Dashboard memudahkan manajemen memantau kinerja.
  7. Dokumentasi digital untuk uji fungsi
    • Form elektronik hasil uji fungsi yang ditandatangani oleh pengguna klinis dan teknisi, diunggah ke repo kontrak sebagai syarat pembayaran final.
  8. Integrasi dengan sistem keuangan
    • Untuk menerapkan pembayaran bertahap sesuai milestone dan retensi, integrasikan data kontrak risiko dengan ERP/keuangan agar pembayaran otomatis sesuai kondisi.
  9. Komunikasi & pelatihan online
    • Modul e-learning cepat untuk pengguna klinis dan pengadaan soal bagaimana mengisi form risiko, menilai dampak klinis, dan prosedur uji fungsi.

Investasi tidak harus besar: unit kecil bisa mulai dengan spreadsheet dan checklist, lalu bertahap beralih ke integrasi digital. Kunci utamanya: alat mendukung proses, bukan sebaliknya.

Monitoring, evaluasi, dan indikator keberhasilan

Implementasi perlu diukur untuk mengetahui efektivitas. Berikut indikator praktis dan mekanisme monitoring.

Indikator operasional:

  • Persentase paket yang dinilai dan diberi kategori risiko saat RUP dibuat.
  • Waktu siklus untuk paket high-risk vs low-risk (harus ada perbedaan yang proporsional).
  • Persentase paket high-risk yang menjalani uji fungsi sukses pada percobaan pertama.
  • Jumlah downtime layanan karena kegagalan pengadaan (harus menurun).
  • Jumlah klaim garansi dan waktu respon vendor.

Indikator keuangan:

  • Total biaya tidak terduga akibat pengadaan bermasalah (harus menurun).
  • Penghematan dari negosiasi mitigas (mis. kontrak stok buffer jangka panjang).

Indikator kepatuhan & kualitas:

  • Jumlah temuan audit terkait PBJ (harus menurun).
  • Kepuasan pengguna klinis atas kualitas barang/alat (survei periodik).

Mekanisme monitoring:

  • Laporan triwulan oleh tim risiko yang merangkum paket high-risk, tindak lanjut mitigasi, dan kasus kegagalan.
  • Review pasca-proyek: evaluasi tiap paket high-risk setelah 6 bulan diterapkan.
  • Dashboard real-time untuk indikator utama yang bisa diakses pimpinan.
  • Audit internal tahunan yang menilai kepatuhan pada SOP risiko.

Evaluasi dan pembelajaran harus bersifat umpan balik: temuan monitoring dijadikan dasar perbaikan matriks risiko, SOP, dan daftar pemasok.

Hambatan umum, mitigasi praktis, dan rekomendasi akhir

Penerapan PBJ berbasis risiko menghadapi hambatan nyata. Berikut beberapa yang umum dan solusi praktis.

  1. Keterbatasan kapasitas teknis
    • Mitigasi: bentuk tim inti dan beri pelatihan singkat; gunakan mentor teknis (teknisi biomedis) saat menilai paket.
  2. Resistensi budaya kerja
    • Mitigasi: komunikasikan manfaat praktis (mengurangi gangguan layanan), lakukan pilot kecil untuk bukti empiris, dan tampilkan hasil pilot.
  3. Keterbatasan anggaran untuk mitigasi (stok cadangan)
    • Mitigasi: prioritaskan stok untuk paket yang benar-benar kritis; pertimbangkan kontrak konsinyasi atau perjanjian stok vendor.
  4. Waktu siklus pengadaan menjadi lebih panjang
    • Mitigasi: desain SOP yang mempercepat review (mis. SLA internal), gunakan pre-qualification supplier untuk mengurangi waktu evaluasi.
  5. Data yang kurang untuk penilaian risiko
    • Mitigasi: mulai dengan data sederhana (riwayat gangguan alat, nilai kontrak) dan kembangkan sistem pencatatan untuk ke depannya.
  6. Ketergantungan pada vendor tunggal
    • Mitigasi: diversifikasi pemasok jika memungkinkan, atau sertakan klausul fallback dan rencana impor cepat dalam kontrak.

Rekomendasi ringkas:

  • Mulai dengan pilot 3-6 bulan untuk 3-5 paket prioritas.
  • Buat form penilaian risiko sederhana yang menjadi lampiran wajib RUP.
  • Bentuk tim lintas fungsi dan tetapkan SOP keputusan.
  • Gunakan kontrak yang mencakup SLA, garansi, retensi, dan klausul penalti untuk paket high-risk.
  • Pantau indikator utama dan lakukan review berkala.

Kesimpulan: langkah kecil, dampak besar bagi keselamatan dan efisiensi

PBJ berbasis risiko bukan sekadar istilah manajerial – ia adalah pendekatan praktis yang menempatkan perlindungan pasien dan kontinuitas layanan sebagai prioritas utama dalam pengadaan. Dengan menilai risiko setiap paket sejak perencanaan, menempatkan kontrol proporsional pada paket berisiko tinggi, dan membangun tata kelola lintas fungsi, unit kesehatan dapat menurunkan insiden kegagalan, menghemat biaya jangka panjang, dan meningkatkan kualitas layanan.

Mulailah dari langkah sederhana: susun matriks risiko dasar, nilai beberapa paket prioritas, dan terapkan mitigasi yang jelas. Gunakan pilot untuk menunjukkan manfaat nyata, lalu perluas. Dengan pendekatan bertahap dan fokus pada bukti, PBJ berbasis risiko akan berubah dari konsep menjadi budaya kerja yang memperkuat keselamatan pasien dan akuntabilitas pengadaan di dunia kesehatan.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Tim LPKN

LPKN Merupakan Lembaga Pelatihan SDM dengan pengalaman lebih dari 15 Tahun. Telah mendapatkan akreditasi A dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan Pemegang rekor MURI atas jumlah peserta seminar online (Webinar) terbanyak Tahun 2020

Artikel: 1048

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *