Mengapa Pengadaan Darurat Penting di Fasilitas Kesehatan?
Dalam situasi darurat kesehatan – misalnya wabah penyakit, kecelakaan massal, atau kerusakan infrastruktur rumah sakit yang tiba-tiba – kebutuhan barang dan jasa menjadi mendesak dan tidak bisa menunggu proses pengadaan biasa. Fasilitas kesehatan harus cepat memperoleh obat, alat pelindung, kontraktor perbaikan, atau jasa lain agar layanan kepada pasien tetap berjalan dan keselamatan publik terlindungi. Di sisi lain, proses cepat berisiko menimbulkan kesalahan, pemborosan, atau praktik yang tidak transparan jika tidak diatur dengan jelas. Oleh sebab itu negara menetapkan aturan khusus agar pengadaan dalam keadaan darurat tetap memenuhi prinsip efektifitas, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas – walaupun prosedurnya disederhanakan agar cepat terlaksana. Peraturan-peraturan ini memberi ruang bagi fasilitas kesehatan untuk bertindak cepat, namun juga menetapkan batasan yang wajib dipatuhi agar dana publik digunakan dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
1. Apa yang dimaksud “pengadaan darurat” dalam konteks fasilitas kesehatan?
Pengadaan darurat bukan sekadar membeli barang secara terburu-buru. Istilah ini merujuk pada prosedur pengadaan barang/jasa yang berlaku ketika ada status keadaan darurat yang ditetapkan dan pelaksanaannya tidak dapat ditunda karena berhubungan langsung dengan keselamatan jiwa, kesehatan masyarakat, atau fungsi kritis fasilitas kesehatan. Keadaan darurat bisa berupa bencana alam, wabah penyakit, kebakaran, kerusakan bangunan yang mengancam operasional rumah sakit, atau kondisi lain yang membuat kebutuhan logistik dan layanan harus dipenuhi segera.
Dalam pengertian praktis bagi staf rumah sakit atau puskesmas: pengadaan darurat dipakai saat proses pengadaan standar (yang biasanya memerlukan perencanaan lebih panjang, tender, verifikasi dokumen, dan evaluasi teknis) akan membuat penanganan situasi terlambat dan berakibat buruk bagi pasien. Oleh karena itu, aturan memberikan opsi metode yang lebih singkat – tetapi tetap harus disertai dokumen dasar seperti alasan darurat, daftar kebutuhan, dan pertanggungjawaban penggunaan anggaran.
Penting juga dipahami bahwa “darurat” bukan pembenaran mutlak untuk mengabaikan aturan. Ada kriteria yang harus dipenuhi agar pengadaan dikategorikan darurat, dan prosedur yang berbeda bergantung apakah pengadaan itu langsung berkaitan dengan penanganan keadaan darurat atau sekadar memenuhi kebutuhan yang muncul secara tak terencana tetapi mendesak. Artinya, setiap fasilitas kesehatan perlu mampu menjelaskan dan mendokumentasikan mengapa suatu pengadaan termasuk darurat agar tidak dianggap penyalahgunaan dana.
2. Landasan hukum utama yang mengatur pengadaan darurat
Di Indonesia, pengadaan barang/jasa pemerintah pada umumnya diatur oleh Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Untuk penanganan keadaan darurat, ada ketentuan khusus yang mengatur penyederhanaan prosedur dan tata cara pelaksanaannya. Peraturan Presiden tersebut memberi dasar bahwa penanganan keadaan darurat dilakukan untuk keselamatan atau perlindungan masyarakat serta harus dilaksanakan segera dan tidak dapat ditunda.
Selain Perpres, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) mengeluarkan peraturan teknis yang mengatur lebih rinci tata cara pengadaan dalam penanganan keadaan darurat – termasuk tata cara penetapan status darurat, metode yang boleh dipakai, serta kewajiban dokumentasi dan pelaporan. Peraturan LKPP yang lebih baru menggantikan aturan lama untuk menyesuaikan praktik dan pengalaman, terutama setelah pengalaman besar seperti pandemi COVID-19. Ketentuan-ketentuan ini menjelaskan jenis-jenis pengadaan darurat, siapa yang berwenang menetapkan, dan batas-batas kewenangan dalam memilih metode pengadaan singkat.
Selain itu, kementerian teknis (misalnya Kementerian Kesehatan) biasanya mengeluarkan panduan operasional untuk fasilitas kesehatan, yang menjelaskan implementasi pengadaan darurat dalam konteks layanan klinis, termasuk daftar prioritas barang/jasa dan langkah-langkah koordinasi lintas-instansi. Panduan ini berguna agar petugas rumah sakit tidak hanya mengacu pada aturan umum, tetapi juga pada praktik terbaik yang sesuai konteks medis.
3. Kapan fasilitas kesehatan boleh memakai prosedur darurat?
Fasilitas kesehatan dapat memakai prosedur pengadaan darurat apabila ada kondisi yang memenuhi kriteria:
- Ada ancaman terhadap keselamatan jiwa atau kesehatan masyarakat;
- Kebutuhan tidak dapat ditunda tanpa menimbulkan risiko nyata; dan
- Jenis, jumlah, atau waktu kebutuhan tidak terencana dan harus segera dipenuhi.
Contoh nyata: kehabisan stok oksigen selama lonjakan pasien, alat diagnostik rusak saat layanan kritis, atau kebutuhan mendesak untuk menyiapkan ruang isolasi saat terjadi wabah lokal.
Ada dua bentuk pengadaan terkait darurat yang sering dibicarakan. Pertama, pengadaan yang langsung berkaitan dengan penanganan keadaan darurat – seperti membeli ventilator saat wabah pernapasan atau membangun sementara ruang isolasi. Kedua, pengadaan yang muncul tidak direncanakan tetapi tidak selalu merupakan bagian langsung dari penanganan darurat – misalnya penggantian AC mendadak di kantor administrasi rumah sakit yang tidak langsung menyelamatkan nyawa tetapi mengganggu operasional. Regulasi biasanya membedakan keduanya karena tingkat urgensinya berbeda dan metode pengadaan yang dibolehkan juga bisa berbeda.
Dalam praktik, pejabat pengadaan dan pimpinan fasilitas harus bisa menjelaskan alasan darurat secara tertulis: apa risikonya jika tidak segera dibeli, estimasi waktu keterlambatan yang berbahaya, dan bukti bahwa alternatif (misalnya meminjam dari fasilitas lain) tidak memungkinkan. Tanpa justifikasi tertulis ini, pengadaan yang cepat bisa dipertanyakan kemudian oleh auditor. Oleh karena itu dokumentasi kriteria adalah kunci agar penggunaan prosedur darurat sah dan dapat dipertanggungjawabkan.
4. Metode pengadaan yang biasanya dipakai saat darurat
Pada saat darurat, aturan memberi opsi metode pengadaan yang disederhanakan agar proses berjalan cepat. Beberapa metode yang sering dipakai meliputi penunjukan langsung, pemilihan langsung melalui negosiasi terbatas, atau kontrak darurat dengan penyedia yang terbukti mampu memenuhi kebutuhan dalam waktu singkat. Namun setiap metode punya batasan yang harus diperhatikan.
Contohnya, penunjukan langsung diperbolehkan untuk pengadaan yang sangat mendesak, namun biasanya ada batasan nilai maksimum. Artinya, barang atau jasa bernilai besar tidak bisa semata-mata diadakan lewat penunjukan langsung kecuali ada dasar kuat yang mengizinkan penyimpangan. Selain itu, walau prosesnya cepat, umumnya tetap perlu melihat kualifikasi penyedia, harga wajar (market price), dan kemampuan pengiriman tepat waktu. Negosiasi harga tetap dianjurkan agar nilai uang negara tidak terbuang.
Regulasi nyerep pelajaran dari pengalaman seperti pandemi COVID-19 yang menunjukkan bahwa penyederhanaan prosedur rawan penyimpangan jika tidak diimbangi pengawasan. Oleh karena itu aturan modern menekankan transparansi: walaupun memilih penyedia secara cepat, alasan pemilihan dan dokumen kontrak harus jelas dan dapat diakses untuk audit. Hal penting lainnya: kontrak darurat sering kali bersifat sementara dan bisa dilanjutkan ke prosedur biasa jika kebutuhan menjadi jangka panjang.
5. Dokumentasi yang wajib: jangan remehkan bukti tertulis
Salah satu titik rawan pada pengadaan darurat adalah lemahnya dokumentasi karena semua dikerjakan cepat. Padahal dokumentasi menjadi tameng yang melindungi pejabat dan fasilitas jika ada pemeriksaan kemudian. Dokumen minimal yang harus disimpan meliputi: surat permintaan kebutuhan dari unit medis, alasan dan uraian keadaan darurat, daftar barang/jasa yang diperlukan (spesifikasi sederhana tapi jelas), surat penetapan metode pengadaan darurat, berita acara negosiasi atau penunjukan penyedia, kontrak atau perjanjian sederhana, bukti penerimaan barang/jasa, dan laporan penggunaan anggaran.
Dokumentasi juga harus menjelaskan bagaimana harga ditentukan: apakah melalui pembandingan harga pasar, penawaran dari beberapa penyedia, atau rujukan harga dari institusi sejenis. Meski proses singkat, nota perbandingan sederhana (mis. screenshot harga, dua atau tiga penawaran lisan yang dibuat tertulis) sudah membantu menunjukkan upaya menjaga nilai uang publik. Jika fasilitas menggunakan penyedia yang sudah pernah bekerja sama, lampirkan riwayat kinerja mereka.
Selain itu, catat komunikasi penting – misalnya pesan singkat dari pihak rumah sakit kepada atasan yang memberi persetujuan cepat, atau email dari penyedia yang menyatakan ketersediaan stok. Semua ini memudahkan audit dan menjadi bukti bahwa tindakan yang diambil memang perlu dan proporsional. Singkatnya: proses boleh cepat, tetapi bukti tertulis tidak boleh dikorbankan.
6. Akuntabilitas dan pengawasan: siapa bertanggung jawab?
Pengadaan darurat tetap berada dalam koridor akuntabilitas. Pimpinan fasilitas kesehatan (direktur rumah sakit, kepala puskesmas) dan pejabat pengadaan memiliki tanggung jawab utama: memastikan keputusan darurat tepat, proses pengadaan mengikuti aturan, dan dokumentasi lengkap. Di tingkat pemerintahan, ada kewajiban pelaporan pada unit pengadaan yang lebih tinggi atau pada LKPP, terutama untuk pengadaan dengan nilai tertentu atau yang berhubungan dengan penanganan bencana skala luas.
Pengawas internal seperti inspektorat rumah sakit, inspektorat daerah, atau tim audit internal wajib melakukan review setelah pelaksanaan darurat untuk memastikan tidak ada penyimpangan. Di level pusat, auditor eksternal atau lembaga pengawas dapat melakukan pemeriksaan ulang bila ditemukan indikasi penyimpangan. Oleh karena itu, kebijakan internal fasilitas harus memasukkan mekanisme pelaporan cepat sekaligus pasca-darurat: laporan lengkap yang berisi perincian pengeluaran, evaluasi kinerja penyedia, dan rekomendasi untuk langkah selanjutnya.
Transparansi publik juga dianjurkan – misalnya menempatkan ringkasan pengadaan darurat di website atau papan pengumuman rumah sakit setelah situasi stabil. Pendekatan ini membantu membangun kepercayaan masyarakat sekaligus mengurangi prasangka bahwa pengadaan cepat dilakukan tanpa dasar. Ingat: akuntabilitas bukan sekadar formalitas, melainkan upaya menjaga sumber daya publik dan reputasi fasilitas.
7. Tantangan nyata di lapangan dan cara mengatasinya
Di lapangan ada beberapa hambatan khas saat melakukan pengadaan darurat di fasilitas kesehatan. Pertama, keterbatasan anggaran atau alokasi yang belum siap bisa menghambat pembelian cepat. Solusi praktis: fasilitas perlu menyusun dana cadangan atau mekanisme realokasi cepat yang diatur secara internal dengan persetujuan pimpinan. Kedua, ketersediaan penyedia yang mampu memenuhi spesifikasi medis dalam waktu singkat sering menjadi masalah. Mengatasinya bisa lewat pemetaan pemasok lokal sebelumnya dan membuat daftar penyedia terverifikasi yang siap dipanggil saat darurat.
Ketiga, kualitas barang yang diterima tidak sesuai harapan karena proses pemilihan dipersingkat. Untuk meminimalkan risiko ini, buat spesifikasi minimum yang jelas (misalnya standar keselamatan atau sertifikasi dasar) dan sertakan klausul pemeriksaan saat penerimaan barang. Keempat, risiko penyalahgunaan atau kolusi meningkat di saat semua pihak terburu-buru. Pencegahannya adalah dengan menerapkan prinsip “two-eyes” (dua pihak yang menandatangani persetujuan), keterlibatan unit hukum atau pengawas internal walau secara singkat, dan publikasi ringkasan pembelian setelah situasi darurat mereda.
Terakhir, koordinasi antar-institusi kadang berantakan, misalnya antara rumah sakit, dinas kesehatan, dan pemerintah daerah. Membuat jalur komunikasi yang jelas dan kontak darurat terverifikasi membantu mempercepat proses alokasi sumber daya dan mencegah duplikasi pengadaan. Kuncinya: persiapan pra-darurat – seperti daftar penyedia, standar teknis sederhana, dan prosedur pelaporan singkat – akan memperkecil masalah ketika situasi darurat benar-benar terjadi.
8. Praktik terbaik: checklist singkat bagi fasilitas kesehatan
Daripada mencoba mengingat aturan panjang lebar saat panik, fasilitas kesehatan akan lebih efektif bila menyiapkan “checklist darurat” yang ringkas namun komprehensif. Checklist ini sebaiknya dibuat bersama antara unit medis, unit pengadaan, bagian keuangan, dan pimpinan, lalu dilatih melalui simulasi berkala.
Isi checklist minimal:
- Indikator pemicu pengadaan darurat (kapan dan siapa yang menetapkan),
- Daftar kebutuhan prioritas dan spesifikasinya,
- Daftar penyedia terverifikasi dan kontak darurat,
- Format dokumen justifikasi darurat,
- Format kontrak sederhana dan syarat penerimaan,
- Pola persetujuan internal (mis. siapa yang menandatangani),
- Prosedur pemeriksaan kualitas saat penerimaan, dan
- Template laporan pasca-pengadaan untuk audit dan evaluasi.
Indikator pemicu membantu staf mengenali kapan harus beralih ke prosedur darurat – ini menghindarkan penyalahgunaan kategori darurat. Daftar kebutuhan prioritas harus dibuat dengan bahasa medis yang mudah dimengerti oleh non-medis di tim pengadaan, sehingga tidak terjadi miskomunikasi. Daftar penyedia terverifikasi menghemat waktu; idealnya memiliki tiga opsi per jenis barang agar ada pembanding harga dan kinerja. Format dokumen justifikasi memudahkan perekaman alasan darurat secara seragam; ini penting saat audit. Format kontrak sederhana diperlukan agar kedua belah pihak jelas hak dan kewajiban, termasuk tenggat pengiriman dan sanksi keterlambatan. Prosedur pemeriksaan mutu saat penerimaan mencegah barang rusak atau tidak layak dipakai sampai terpasang. Terakhir, laporan pasca-pengadaan harus memuat pelajaran yang dipetik agar perbaikan prosedur bisa segera dilakukan. Dengan checklist ini, tindakan cepat tetap terjaga kualitasnya.
9. Contoh kasus singkat
Selama pandemi COVID-19, banyak fasilitas kesehatan mengalami lonjakan mendesak kebutuhan alat pelindung diri, oksigen, dan tempat tidur perawatan. Di beberapa fasilitas, pengadaan cepat berhasil menyelamatkan operasi layanan; di tempat lain, proses yang tidak tersistem menimbulkan kontroversi karena dokumen tidak lengkap atau harga yang jauh di atas pasaran. Pengalaman ini menunjukkan dua hal: pertama, kesiapan dan keteraturan dalam dokumentasi sangat menentukan; kedua, transparansi mengurangi risiko tuduhan penyimpangan.
Contoh lain: ada rumah sakit yang berhasil membangun ruang isolasi sementara dalam hitungan hari karena sebelumnya telah memiliki daftar penyedia konstruksi darurat dan template kontrak yang sudah disetujui secara internal. Lawan kasus: sebuah puskesmas yang membeli masker dari pemasok baru tanpa pemeriksaan kualitas dan menerima produk yang tidak sesuai standar, sehingga menimbulkan risiko bagi staf. Dari perbandingan ini, perencanaan pra-darurat (daftar penyedia, format kontrak, checklist penerimaan) muncul sebagai faktor pembeda antara keberhasilan dan masalah. Pelajaran praktisnya adalah: cermat dalam pemetaan risiko dan kesiapan administratif sebelum bencana datang.
10. Kesimpulan
Pengadaan darurat bukan “jalan pintas” yang lepas aturan. Ia adalah alat penting untuk menyelamatkan nyawa dan menjaga kelangsungan layanan jika dipakai dengan benar: cepat, terdokumentasi, dan bertanggung jawab. Dengan kombinasi aturan yang jelas, kesiapan administratif, dan transparansi, fasilitas kesehatan bisa merespons situasi kritis dengan efektif tanpa kehilangan akuntabilitas kepada publik.
![]()





