Kata desa sengaja ditulis jamak karena tentu mengartikan bahwa desa tidak hanya satu ataupun sebuah kawasan pada suatu pulau saja di Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 menyebutkan bahwa saat itu jumlah desa pun telah mencapai ± 75.436 desa yang meliputi 74.517 desa dan 919 nagari hanya khusus wilayah Provinsi Sumatera Barat. Tentu dengan jumlah sebanyak itu, pemerintah pusat membutuhkan pengelolaan yang cukup optimal mengingat penduduk di dalam wilayahnya juga sangat banyak dan beragam dari segi identitas maupun latar belakangnya masing-masing.
Hadirnya pemerintah daerah pada era kontemporer saat ini jelas menjadi ujung tombak bagi pemerintah pusat dengan jargon desentralisasi. Pemerintah desa pun dengan hak otonominya membuat berbagai peraturan lagi untuk dapat dioperasionalkan kepada pemerintah desa. Secara sosiologi, fenomena alur pemerintahan dari pusat, daerah, dan desa dapat terlihat sebagaimana adanya sistem hierarki atau jenjang untuk menentukan pelayanan publik yang positif dengan kehadirannya; terlepas dari kepentingan politis atau tidak.
Kini, kompleksitas pengelolaan pemerintahan dari pusat hingga ke desa melalui desentralisasinya harus serba digital mengingat perangkatnya sudah hadir secara masif dimanapun. Pemerintahan dalam level apapun wajib melakukan tugas pokok dan fungsinya melalui perangkat digital dengan harapan alur yang hierarki tersebut dapat mewujudkan e-government yang memuaskan publik. Teknisnya; upaya untuk melakukan tujuan itu sangat jelas tidak mudah.
Klaus Schwab sebagai seorang Founder and Executive Chairman of the World Economic Forum menyebutkan bahwa di era kini dengan masifnya perangkat digital, pemerintah dalam level apapun tak bisa menghindarkan dirinya dari pihak-pihak luar yang ingin terlibat dalam sistem pemerintahannya. Pihak-pihak tersebut seperti Non Government Organization (NGO), private sector, civil society, academics sector yang memang dapat diajak kolaborasi untuk memecahkan masalah dan mengembangkan inovasi demi optimalnya pelayanan publik. Oleh karena itu, bila dikaitkan dengan makna e-government, maka fokus pemerintahan saat kini telah harus bergeser ke makna e-governance mengingat makna sebelumnya cenderung sempit dan mengabaikan pihak-pihak luar yang seharusnya dapat diajak kolaborasi.
Berkaitan dengan e-governance berikut dengan beberapa pemangku kepentingan (stakeholders), perangkat digital, serta desa di Indonesia, keempat poin tersebut telah seharusnya menjadi fokus utama apabila tata kelola pelayanan publik ingin optimal. Ketertinggalan akan terjadi pada Indonesia jika hanya tata kelola konvensional yang dikedepankan. Namun, di balik fokus utama tersebut terdapat suatu hal yang menjadi catatan sesuai kondisi desa saat ini.

Tentu yang utama diperhatikan apabila ingin menerapkan e-governance ialah soal ketersediaan perangkat digital, jaringan, dan sistem operasinya. Ketersediaan perangkat digital tersebut pun harus meliputi level individu penduduk hingga birokrat pemerintahan desanya sebagaimana tugas saling mengakoormodir kebutuhan masyarakat setempat. Desa-desa di Indonesia sendiri mengalami perbedaan kondisi sosial-ekonomi dibandingkan dengan kota. Soal kesenjangan kepemilikkan perangkat digitalnya dapat membawa masalah baru bila e-governance harus diseragamkan ke seluruh pedesaan di Indonesia.
Terkait dengan jaringannya, tentu saat siapapun yang sedang berada di desa kekhawatiran tidak ada sinyal pasti sempat dirasakan semua orang, termasuk penduduknya. E-governance sudah pasti lebih tidak akan terwujud bila sinyal pun tersendat atau bahkan tidak ada. Soal pengadaan dan kerja sama kemudian yang harus menjadi solusi dari ketersediaan perangkat digital maupun jaringannya. Memang sejatinya, pemerintah pun pasti membutuhkan pihak lain jika pelayanan publik berbasis digital ingin dioptimalkan.
Terakhir mengenai sistem operasinya, sistem operasi dalam wadah dapat disebut sebagai platform yang mampu memberikan pelayanannya langsung terhadap publik. Ketersediaan dan dukungan untuk memaksimalkan pelayanan atas waktu dan ruang harus hadir karena harapan penggunaan perangkat digital dalam tata kelola harus hemat dari kedua sisi tersebut. Berikut juga dengan pengadaan server dan penyimpanan data di dalamnya, privasi siapapun harus terlindungi ketika mengaksesnya.
Kehadiran catatan sebelumnya memang memberikan pengertian bahwa pengadaan dari perangkat digital harus dilakukan terlebih dahulu jika e-governance ingin dilakukan. Kecenderungannya yang selama ini hadir memberikan makna umum bahwa dari menggunakan perangkat digital masalah efisiensi dapat tertangani. Namun, makna tersebut kembali lagi ke aset dari desa masing-masing wilayahnya. Jika dapat menangani ketersediaan melalui pengadaan pada perangkat digital, jaringan, dan sistem operasinya, maka kemajuan dari segi birokrasi dapat dirasakan. Hal tersebut sesuai amanah yang tertuang juga dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, keikutsertaan pada sistem informasi akan mengembangkan kawasan desa maupun sekitarnya.
Soal ketersediaan dan pengadaan telah menjadi catatan. Akan tetapi mengenai sumber daya manusia dalam menggunakan perangkat digitalnya untuk melakukan birokrasi berbasis digital menjadi babak baru yang harus disikapi. Selain soal akses dan kepemilikkan tadi, terdapat hal lain yang dapat ditingkatkan dari setiap individu sebagai pengguna perangkat digitalnya.
Keterampilan penggunaan perangkat digital tentu berbeda-beda di setiap individu, baik pada satu wilayah desa maupun berbeda wilayah. Hal tersebut tentu dipengaruhi oleh latar belakang, pandangan, pengetahuan, dan tindakan terhadap perangkat digital yang dimilikinya. Bila dikaitkan dengan e-governance, maka tentu soal perbedaan ini harus menjadi kesenjangan yang perlu diatasi. Hal tersebut mengingat juga bahwa pelayanan publik konvensional masih sangat melekat dan menjadi kebiasaan sebelum masuknya perangkat digital. Tentu membutuhkan waktu yang lama mengatasinya.
Penerapan e-governance yang tidak melihat perbedaan keterampilan pengguna perangkat digital di penduduknya, akan membawa perbedaan kemanfaatan dan tentunya bahkan akan memunculkan kecemburuan sosial satu sama lain. Pengguna perangkat digital yang terampil akan mendapatkan kelebihan manfaat atas e-governance yang dihadirkan di desa. Baik soal birokrasi, administrasi, maupun aduan bahaya semua tentu saja akan berbeda hasilnya dibandingkan dengan pengguna perangkat digital yang kurang terampil.
Solusi dari catatan mengenai sumber daya manusianya, akan dapat ditingkatkan melalui literasi digital. Pengadaan dan pelatihan keterampilan dalam mengakses perangkat digital dapat diterapkan untuk masyarakat pedesaan meskipun latar belakangnya beragam. Dimulai dengan tujuan kebutuhan dalam menggunakan perangkat digitalnya dalam e-governance hingga program-program pemberdayaan dari birokrat desa untuk masyarakatnya, semua dapat dimasukkan dalam literasi digital tersebut. Sehingga, pemerataan keterampilan dalam kemampuannya menggunakan perangkat digital dapat hadir sesuai pengadaan e-governance selama ini.
Catatan dari kedua sisi, yakni ketersediaan perangkatnya (termasuk jaringan dan sistem operasi) dan sumber daya manusianya telah dihadirkan sesuai kondisi desa di Indonesia kini. Meskipun e-governance hadir untuk melayani publik dan dapat mengajak kolaborasi antarpihak, dilihat dari runtutannya, pemerintah pusat, daerah, dan desa sangat bertanggung jawab untuk menghadirkan tata kelola berbasis digital tersebut. Nampaknya hal itu juga telah menjadi kewajiban bagi pemerintahan pada level apapun, mengingat saat ini sumber daya finansial, manusia, alam, berikut dengan peraturan-peraturannya hanya dirinya yang mampu mengakses untuk kebaikan publik sebagai sasaran pelayanannya. Oleh karena itu, inisiatif untuk memulai e-governance tak terbantahkan lagi bila harus timbul dari dirinya terlebih dahulu selaku pemerintah dibandingkan pemangku kepentingan lain/ stakeholders.
Rujukan:
Schwab K. 2019. Revolusi Industri Keempat. Penerjemah Farah Diena & Andi Tarigan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.