Sejak kemunculannya di Indonesia pada bulan Maret 2020, Covid-19 telah mengakibatkan perubahan signifikan pada berbagai aspek kehidupan. Pandemi tidak hanya berdampak kepada sektor kesehatan saja, akan tetapi hampir seluruh sektor merasakan dampaknya. Sektor ekonomi juga mengalami dampak serius akibat pandemi Covid-19. Berbagai kebijakan yang dilakukan untuk menekan penyebaran Covid-19, seperti penutupan sekolah dan beberapa kegiatan bisnis, dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berpengaruh terhadap penurunan tingkat konsumsi dan investasi masyarakat kita.
Terpuruknya berbagai sektor penunjang perekonomian Indonesia, sektor pertanian menjadi pengecualian. Sektor pertanian merupakan sektor yang paling kuat bertahan dan tangguh dari dampak pandemi Covid-19 disaat sektor pariwisata, jasa dan manufaktur menjadi sektor yang paling terpukul.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pertanian tetap tumbuh meskipun pandemi masih berlangsung. Kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) bahkan menjadi yang tertinggi dengan angka 12,84% pada kuartal I dan mencapai 16,24% (q to q) pada kuartal II tahun 2020. Subsektor tanaman pangan sendiri tercatat tumbuh 9,23% pada kuartal II dan 7,14% pada kuartal III.
Tren positif yang terjadi pada sektor pertanian, tentunya membutuhkan usaha dan kerjasama dari pihak-pihak yang terlibat. Kementerian Pertanian (Kementan) terus mengupayakan berbagai cara agar sektor pertanian dapat bertahan dalam menghadapi pandemi.
Dalam hal peningkatan produksi, Kementan melakukan beberapa upaya dengan memberikan bantuan sarana produksi, alat pra panen dan pascapanen. Kementan juga terus mendorong para petani untuk menggunakan fasilitas kredit usaha rakyat (KUR) dan pengembangan pertanian berbasis korporasi dan klaster.
Pencapaian yang luar biasa pada sektor pertanian tidak hanya dalam hal kontribusi terhadap PDB saja, akan tetapi juga terhadap Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP). BPS mencatatkan NTP nasional pada bulan Juli 2020 sebesar 100,09 sedangkan NTUP nasional Juli 2020 sebesar 100,53. Selain itu, nilai ekspor komoditi pertanian juga mengalami peningkatan. Nilai ekspor produk pertanian pada bulan April 2020 tumbuh sebesar 12,66 persen dan nilai ekspor pada bulan Juni meningkat sebesar 18,9.%.
Mengutip pernyataan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo pada laman website AgroIndonesia bahwasanya untuk mendukung penuh pembangunan pertanian agar terus berada pada tren yang baik, Kementan bekerja sama dengan berbagai Kementerian dan Lembaga lainnya.
“Kami menggerakkan seluruh komponen dan pelaku usaha untuk mendorong pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan pertanian, serta mendorong keterlibatan swasta dan BUMN dalam mengamankan ketersediaan dan distribusi pangan strategis” tuturnya.
Kementan juga memperkuat sistem logistik pangan melalui kelembagaan distribusi pangan yang dikelola oleh BUMN sebagai nasional hub dan BUMD sebagai regional hub yang dilakukan dengan pengendalian bersama oleh stakeholder terkait. Penguatan sistem logistik pangan sangat penting guna menjamin kelancaran distribusi pangan yang terjangkau dan merata ke seluruh wilayah Indonesia.
Segala capaian luar biasa yang ditorehkan oleh sektor pertanian tidak serta merta turut memberikan dampak positif bagi pelaku usahatani. Ini merupakan permasalahan mendasar yang selalu menghantui petani kita, dimana produktivitas dan kontribusi yang tinggi dari sektor pertanian belum menjamin kesejahteraan bagi petani. Fakta di lapangan banyak sekali terjadi kerugian imbas dari pandemi. Mengapa demikian? Yuk simak beberapa faktor yang menjadi penyebabnya berikut ini.
Harga Anjlok
Selama pandemi Covid-19, banyak portal berita yang menginformasikan anjloknya harga komoditi pertanian, khususnya produk holtikultura seperti sayuran dan cabai. Penurunan harga secara drastis ini disebabkan karena kondisi ekonomi yang sedang terpuruk, sehingga daya beli masyarakat turun. Tak sedikit petani yang akhirnya memilih untuk membiarkan hasil tanamannya yang sudah siap untuk dipanen menjadi membusuk dan mengering. Hal ini dikarenakan pendapatan yang akan diterima nantinya tidak sebanding dengan biaya tenaga kerja yang harus dikeluarkan untuk proses panen.
Sebenarnya, harga anjlok merupakan hal yang wajar dan sering terjadi. Akan tetapi, di masa pandemi ini terasa lebih berat dan lebih parah dari sebelumnya karena keterpurukan ekonomi terjadi secara masif dan merata.
Salah satu kasus yang saya temukan adalah anjloknya harga ubi jalar kuning di Kabupaten Banyuwangi. Kisaran harga ubi jalar kuning per kilo nya berada di angka Rp2500/kg, kemudian turun ke harga Rp700/kg di bulan Agustus dan pada bulan November harganya hanya Rp300/kg. Penurunan harga ini disebabkan oleh musim panen raya yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi. Petani tetap melakukan pemanenan dengan menjadikan hasil panennya sebagai upah untuk tenaga kerja yang memanen ubi jalar.
Lain cerita dengan petani sayur di Magelang yang memilih membagikan hasil panennya ke warga daripada menjualnya ke pasar. Pembagian sayur ini dilakukan oleh para petani dan beberapa komunitas, seperti komunitas Pembibitan Kremun Merapi, Forum Merapi Merbabu Hijau (FMMH), pendaki pensiun, dan relawan.
Mengandalkan Pasar Tradisional
Seperti yang kita ketahui bersama, selama pandemi masih berlangsung maka selama itu pula anjuran pemerintah untuk stay at home akan berlaku. Akibatnya, di beberapa daerah menerapkan aturan ketat seperti Jakarta dengan PSBB nya. Aturan-aturan seperti ini membuat aktivitas menjadi terbatas.
Pasar tradisional yang biasanya ramai akan penjual dan pembeli menjadi tak lagi seperti sebelumnya. Tak ada aktivitas pasar berarti tak ada pula tempat bagi petani untuk dapat menjual hasil panennya, apabila petani tersebut hanya mengandalkan pasar tradisional saja.
Hotel dan Restoran Tidak Beroperasi Sepenuhnya
Tak sedikit petani yang melakukan mitra dengan restaurant dan hotel. Jika pembatasan aktivitas dan penurunan ekonomi seperti sekarang ini masih terjadi, siapa sih yang terpikir untuk makan di restoran dan menginap di hotel?
Sebagai contoh kita tengok Bali yang merupakan destinasi wisata dengan ribuan bahkan ratusan ribu wisatawan yang datang setiap harinya. Tak heran apabila semua sektor mengandalkan pariwisata untuk dapat bertahan, termasuk pertanian. Sebagian besar produk pertanian yang dihasilkan petani Bali akan terserap ke restoran dan hotel karena adanya Peraturan Gubernur Bali Nomor 99 Tahun 2018 yang mengharuskan restoran, hotel, dan catering untuk menyerap minimal 30% hasil pertanian.
Akan tetapi ketika saat ini Bali tidak lagi ramai oleh wisatawan baik domestik maupun mancanegara, sektor pertanian turut terseok-seok. Petani tomat di daerah Kintamani misalnya, memilih membiarkan cabai yang sudah siap panen tetap di pohonnya hingga membusuk dan akhirnya mengering. Ini karena tomat yang biasanya dapat terserap ke restoran atau hotel menjadi sepenuhnya harus terjual ke pasar yang lebih kecil penyerapannya.
Hal yang demikian ini tentunya membuat miris bukan? Materi, waktu, dan tenaga yang dikerahkan petani selama masa tanam yang biasanya mencapai waktu berbulan-bulan seperti tidak ada harganya. Belum lagi jika petani yang bersangkutan mengandalkan pinjaman modal kepada lembaga-lembaga ekonomi. Kira-kira ada tidak ya upaya yang dapat kita lakukan agar petani bisa turut merasakan dampak positif dari pertumbuhan sektor pertanian di masa pandemi ini?
Referensi:
Agroindonesia.co.id. Pertanian Penyangga Perekonomian Nasional di Masa Pandemi
Kompas.com. Petani Merugi Saat Sektor Pertanian Tumbuh di Tengah Pandemi Corona, Apa Masalahnya?