Apakah Inflasi Selalu Membawa Dampak Buruk Bagi Ekonomi?

Inflasi salah satunya diakibatkan karena meningkatnya permintaan masyarakat akan barang dan jasa-jasa.  Inflasi menghasilkan kenaikan harga yang akan merangsang para produsen menambah produksinya dan membuka lapangan kerja baru. Di dalam berita-berita ekonomi inflasi sering dijadikan kambing hitam bagi krisis ekonomi. Padahal inflasi tidak selalu buruk bagi perekonomian. Inflasi ringan yang nilainya kurang dari 10 persen dapat menjadi stimuli pertumbuhan ekonomi yang maksimal.

Wabah pandemik covid-19 yang sudah genap satu tahun melanda kesehatan masyarakat dunia  berdampak langsung pada merosotnya pertumbuhan ekonomi secara global. IMF telah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di tingkat global akan berkisar di angka minus 4.4 persen. Sementara di dalam negeri, wabah akibat virus yang berasal dari Wuhan tersebut telah menjatuhkan pertumbuhan ekonomi di kuartal II menjadi minus 5,32 persen. Dampak berantai yang ditimbulkan adalah meningkatnya angka pengangguran menjadi antara 4,03 juta hingga 5,23 juta orang dan naiknya angka kemiskinan di kisaran 3,02 juta hingga 5,23 juta orang.

Baru-baru ini badan Pusat Statistik merilis laporan yang menyatakan bahwa laju inflasi pada tahun 2020 sebesar 1,68 adalah yang terendah sepanjang sejarah perekonomian di Indonesia. Rekor pencapaian inflasi yang rendah ini  mungkin dianggap oleh masyarakat yang awam sebagai sebuah prestasi perbaikan ekonomi dan keberhasilan usaha pemerintah mengendalikan krisis akibat pandemi.  Namun di sisi lain rendahnya inflasi menjadi indikator yang harus diwaspadai bahwa daya beli masyarakat masih rendah akibat tingkat pengangguran yang masih tinggi dan sebagian golongan masyarakat lainnya menahan pengeluarannya karena terhambatnya aktivitas perekonomian akibat pembatasan kegiatan karena wabah pandemik covid-19.

Inflasi yang rendah  berarti sedikitnya permintaan  dari konsumen yang mengakibatkan produsen menahan produksinya, menghabiskan stok-stok barang yang ada dan mengurangi tenaga kerja  untuk efisiensi biaya.

Kebijakan Fiskal Ekspansif

Inflasi yang rendah tidak selalu menunjukkan sinyal yang baik untuk perekonomian. Disaat kriris ekonomi saat ini daya beli masyarakat yang rendah membuat permintaan agregat turun, produksi yang dihasilkan perusahaan tidak terserap pasar. Pemberian subsidi dan bantuan-bantuan kepada masyarakat akan menjaga uang tetap berputar. Peranan kebijakan fiskal menjadi penting untuk menaikan daya beli masyarakat yang terdampak ekonominya akibat Covid-19 dan mengembalikan kepercayaan investor untuk melakukan investasi, menjadi satu-satunya alat untuk menjaga pengeluaran agregat tidak merosot tajam, menjadi kebijakan andalan untuk memulihkan perekonomian dengan lebih cepat.

Rangkaian kebijakan fiskal ekspansif  yang telah dikeluarkan diantaranya realokasi anggaran di tingkat daerah untuk pengadaan barang dan jasa penangangan Covid-19 dengan diterbitkannya Inpres No. 4/2020. Di tingkat nasional  realokasi anggaran juga dilakukan untuk penanganan/pengendalian Covid-19, perlindungan sosial dan insentif dunia usaha. Diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan, PMK 23/2020 yang ditujukan untuk memberikan stimulus pajak kepada karyawan dan dunia usaha dengan ditanggungnya pajak penghasilan karyawan oleh Pemerintah dan pembebasan pajak penghasilan impor, pengurangan angsuran PPh pasal 25 dan insentif  pajak pertambahan nilai bagi yang terdampak covid-19. Ditambah lagi rangkaian kebijkan lainnya yang akan diluncurkan di tahun 2021.

Akan tetapi kebijakan fiskal ekspansif yang dijalankan bukan berarti tanpa konsekuensi. Membengkaknya hutang negara dan naiknya suku bunga menjadi konsekuensi dari kebijakan fiskal ekspansif. Di saat situasi ekonomi belum pasti kapan akan mengalami pemulihan di tambah dengan tingginya suku bunga akan menghambat keinginan orang untuk berinvestasi.

Interaksi Kebijakan Fiskal Moneter.

Interaksi kebijakan penting dilakukan untuk meminimalisir efek negatif dari kebijakan. Kebijakan fiskal digunakan sebagai pedal gas untuk mempercepat pemulihan dan kebijakan moneter digunakan sebagai kendali untuk memompa jumlah uang yang beredar melalui suku bunga dan insentif kredit untuk investasi maupun konsumsi, dan menjaga nilai tukar rupiah agar tetap bersaing untuk meningkatkan nilai ekspor. Meningkatkan belanja Pemerintah melalui kebijakan fiskal ekspansif akan memberikan dampak yang positif terhadap pengeluaran (Sahminan, Utama, Rahman, & Idham, 2016) sedangkan kebijakan moneter yang ekspansif akan mampu menjaga stabilitas sistem keuangan  (Harmanta, Purwanto, & Oktiyanto, 2014).

Di bidang kebijakan moneter BI mengeluarkan lima kebijakan. Pertama, meningkatkan intervensi di pasar keuangan dalam bentuk triple intervention yang bertujuan untuk menjaga kestabilan nilai rupiah di pasar spot, domestic non-delivery forward (DNDF) dan pembelian SBN di pasar sekurnder. Kedua, BI menurunkan rasio giro wajib minimum (GWM) valutas asing bank-bank umum konvensional menjadi 4 persen dari DPK dari sebelimnya 8 persen. Ketiga, BI memberikan kelonggaran GWM sebesar 50 bps  kepada perbankan yang melakukan kegiatan ekspor dan impor yang pelaksanaanya berkoordinasi dengan pemerintah. Penurunan GWM ini diharapkan dapat meningkatkan transaksi di neraca perdagangan sehigga dapat meningkatkan devisa negara. Keempat, BI memperluas jenis dan cakupan underlying transaction bagi para investor asing di dalam melakukan lindung nillai, termasuk juga DNDF. Dalam rangka meningkatkan investor global, BI memberikan kebebasan bagi investor untuk menggunakan bank kustodian  global ataupun domestik dalam melakukan investasi di Indonesia.

Inflasi sebagai suplemen pertumbuhan

Permintaan masyatakat secara total (permintaan agregat) memiliki peranan penting  terhadap naik dan turunnya  pertumbuhan ekonomi.  Produksi barang dan jasa yang dihasilkan produsen akan terserap pasar karena adanya permintaan agregat. Naiknya permintaan agregat akan merangsang produsen untuk menambah kapasistas produksinya. Naiknya kapasitas produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara, menujukkan negara tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif.

Disinilah dibutuhkan peranan inflasi untuk merangsang produsen melakukan investasi. Naiknya harga akan mengkompensasi naiknya suku bunga. Kebijakan fiskal dengan variabelnya yaitu pengeluaran pemerintah (government expenditure), subsidi langsung dan tidak langsung kepada rumah tangga dan perusahan lebih efektif memulihkan permintaan agregat di saat krisis. Kebijakan moneter secara tunggal tidak efektif dalam memulihkan krisis. Karena pada dasarnya keputusan sektor privat untuk melakukan investasi bukan atas dasar suku bunga, namun berdasarkan tingkat efisiensi modal (MEI). Permintaan investasi akan meningkat apabila keuntungan  yang diperoleh lebih besar dari suku bunga.

Pemerintah menargetkan inflasi di tahun 2021 sebesar 3 persen dengan target pertumbuhan ekonomi 5 persen. Angka pertumbuhan tersebut tentunya akan sulit dicapai apabila inflasi berada di bawah target. Menaikan daya beli agar inflasi mencapai target menjadi agenda penting untuk mencapai pertubuhan ekonomi yang diharapkan.

Inflasi yang membahayakan perekonomian adalah inflasi berat (hiper inflasi) seperti yang terjadi di Tanzania. Sedangkan inflasi yang rendah menjadi  dorongan bagi tumbuhnya ekonomi dan menyerap pengangguran, terutama pengangguran dari sektor pariwisata, hotel, restoran sebagai sektor yang paling terdampak dari Covid-19. Dikaryakannya para pengangguran akan mengurangi beban subsidi dan bantuan-bantuan sosial yang dikucurkan pemerintah untuk mempertahankan daya beli.

Beragam kebijakan-kebijakan dikeluarkan oleh Pemerintah  bersama Bank Sentral untuk memulihkan dan menjaga kestabilan perekonomian. Koordinasi kebijakan makro ekonomi merupakan hal yang sangat penting untuk agar kebijakan yang dikeluarkan mampu bersinergi memperbaiki keadaan (Al-Sharwaby & Mossallamy, 2019)  Pemulihan ekonomi hanya butuh berjalannya kembali aktivitas manusia secara normal. Dengan kembali normalnya keadaan, maka sektor pariwisata akan kembali bangkit, hotel-hotel akan kembali terisi penuh, restoran-restoran dan transportasi kembali melayani konsumennya dalam kapasitas penuh.

Referensi

Al-Sharwaby, S., & Mossallamy, M. E. (2019). Monetary-fiscal policies interaction and optimal rules in Egypt. Review of Economic and Political Science, 4(2), 138-157. doi:10.1108/REPS-03-2019-0033

Haliem, A. (2016). Coordination of monetary and fiscal policies: the case of Egypt. International Review of Research in Emerging Market and The Global Economy.

Harmanta, Purwanto, N. M., & Oktiyanto, F. (2014, July 1). Internalisasi Sektor Perbankan dalam Model DSGE. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 17(1), 23-60. Retrieved 12 11, 2020, from http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=943057&val=14631&title=INTERNALISASI%20SEKTOR%20PERBANKAN%20DALAM%20MODEL%20DSGE

Sahminan, Utama, G., Rahman, N. R., & Idham. (2016). Pengembangan Model DSGE Untuk Asesmen Dampak Reformasi Struktural terhadap Perekonomian Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia. Retrieved from file:///C:/Users/User/Downloads/WP-BI-No.3-2016-DSGE-Reformasi-Struktural.pdf.

Profil Penulis

Fahrul Riza, penulis adalah dosen di Program Studai Manajemen, Universitas Bunda Mulia, Jakarta.  Jenjang Pendidikan, Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Andalas (1999), Magister Ilmu Manajemen dari Pasca Sarjana Universitas Indonesia (2004)  dan  Doktor Ilmu Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti (2019). Bidang ilmu yang dikuasai adalah Ekonomi dan Manajemen Strategi. Penulis juga menjadi editor pada terbitan ilmiah berkala yang diterbitkan di Institusinya dan aktif menulis artikel-artikel penelitian yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Fahrul Riza

Dosen bidang ilmu ekonomi di Program Studi Manajemen Universitas Bunda Mulia, Jakarta.

Artikel: 5

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *