Sebagaimana kita ketahui bahwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menyatakan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat,” yang mana makna dari ketentuaan pasal tersebut dalam pengelolaan kekayaan Negara yang bersumber dari hal-hal yang termuat didalam isi pasal tersebut serta pasal tersenut mengatribusikan kewenangan kepada subjek hukum, yang mana Negara merupakan subjek hukum yang berbentuk badan hukum publik untuk melakukan pengelolaan dan melakukan perbuatan hukum terhadap bumi, air, serta kekayaan yang terkandung di dalam bumi.
Hak menguasai Negara atas sumber daya alam yang dimaksudkan didalam pasal tersebut di atas dalam pengelolaannya tidak akan terlepas melihat bagaimana hubungan manusia dengan sumber daya alam tersebut. Ilham Arisaputra menyatakan bahwa, “sebagai bentuk hubungan antara manusia dengan sumber daya alam , dimana manusia membutuhkan sumber daya alam untuk diolah dan dimanfaatkan dalam mempertahankan kehidupaannya, hanya saja terkadang manusia mempunyai perbuatan yang berlebihan dalam pengelolaan sumber daya alam sehingga sehinggga keseimbangan lingkungan mengalami gangguan.” Pasal tersebut mengatur secara garis besar mengenai penguasaan Negara atas sumber daya alam, yang pengaturan pelaksanaannya diatur berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan. Salah satu peraturan perundang yang lahir mengatur sumber daya alam adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Pokok Agraria (UUPA).
Prinsip yang terkandung di dalam UUPA yaitu hak menguasai Negara dimaknai bahwa Negara diberi wewenang sebagai organisasi kekuasaan tertinggi dari bangsa untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,,penggunaan ,persediaaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa dan juga mengatur hubungan –hubungan hukum antara antara orang dan perbuatan perbutan hukum dengan mengenai bumi,air dan ruang akgkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi. Hak menguasai tersebut tujuannya sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Berdasarkan UUPA banyak melahirkan undang-undang sektoral salah satunya Undang-Undang Republik Indonesia I7 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air (UU SDA). Undang-undang ini adalah pengganti dari undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan setelah itu di ganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Undang-undang ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, dikarenakan masih terdapat banyak kekurangan dan belum dapat mengatur secara menyeluruh mengenai pengelolaan sumber daya air sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat sehingga undangn-undang ini perlu diganti, didalam UU SDA ini menjelaskan mengenai pengakuan hak ulayat yang harus diatur dengan peraturan daerah. Sesuai dengan perintah UU SDA bahwa setiap daerah harus membuat peraturan daerah untuk mengakui tentang keberadaan hak ulayat masyarakat adat tentang Sumber Daya Alam.
Namun dalam UU SDA ini hanya mengatur mengenai perizinan dimana ketentutan tentang perizinan dan izin yang diberikan sebelum keluarnya undang-undang ini bahwa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang ketentuan pelaksana sebagaimana diperintahkan undang-undang ini belum keluar. Ketentuan mengenai pengelolaan dan pengunaan air juga diatur didalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai. Ketentuan pasal tersebut memberikan pengertian bahwa fungsi sungai sangat urgen karena selain sumber kehidupan bahwa sungai juga sebagai sarana untuk menyimpan dan menampung air dan mengalirkan air dari curah hujan. Fungsi sungai ini seharusnya terpelihara dan dikelolala dengan baik.,bahkan sungai bisa sebagai tempat daerah wisata bagi masyrakat. Sungai yang merupakan sumber kehidupan karena manusia hidup bersumber karena adanya air dan sungai sebagai salah satu sarana penampungan air yang harus terjaga eksistensinya, akibat adanya pasang naik dan pasang surut aliran sungai bahwa di pinggir sunggai timbul onggokan tanah yang sering di manfaatkan oleh masyarakat.
Konsep tanah timbul yang di kutib dari artikel Rudiansyah Pulungan, dalam bahasa Inggris tanah timbul ini disebut dengan istilah deltaber atau channelbar, di dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah aanslibbing, sedangkan di dalam bahasa Indonesia biasanya disebut dengan tanah tumbuh atau tanah timbul. Secara khusus terjadinya tanah timbul ini dapat diketahui dengan mempelajari Sedimentologi yaitu ilmu yang mempelajari sedimen atau endapan, sedangkan sedimen atau endapan pada umumnya diartikan sebagai hasil dari proses pelapukan terhadap suatu tubuh batuan, yang kemudian mengalami erosi, tertansportasi oleh air, angin, dan lain-lain, hingga pada akhirnya terendapkan atau tersedimentasikan.
Roestandi dalam Rofi Wahanisa dan Arif Hidayat yang di kutip Rudiansyah menjelaskan bahwa tanah timbul disebut dengan istilah tanah oloran yaitu tanah yang timbul di tepi sungai akibat endapan lumpur yang terbawa oleh alur sungai. Selanjutnya dalam Urip Santoso yang di kutip Rudiansyah menyebutkan dengan istilah lidah tanah yaitu tanah yang timbul atau muncul di tepi arus sungai yang berbelok, tanah ini berasal dari endapan lumpur yang makin meninggi dan mengeras,timbulnya tanah ini bukan karena kesengajaan dari seseorang atau pemilik tanah yang berbatasan, melainkan terjadi secara alamiah.Sementara itu, berdasarkan dari berbagai penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa masyarakat setempat lebih mengenal tanah timbul dengan istilah tanah datang.
Secara yuridis formal pengertian tanah timbul dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang menyatakan bahwa tanah timbul adalah daratan yang terbentuk secara alami maupun buatan karena proses pengendapan, di sungai, danau, pantai dan atau pulau timbul. Berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Rudiansyah Pulungan di Daerah Aliran Sungai di Kabupaten Indra Giri memberikan kesimpulan antara lain bahwa status terhadap penguasaan tanah timbul sampai saat ini masih berdasarkan hukum adat/kebiasaan setempat. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya warga masyarakat yang memperoleh izin secara langsung dari aparat pemerintah yang berwenang untuk itu yaitu Kepala Kantor Pertanahan setempat. Menurut persepsi masyarakat setempat, tanah timbul merupakan tanah desa, sehingga apabila ada pihak (warga desa) yang ingin memanfaatkan dan mengerjakannya, maka yang bersangkutan cukup memberi tanda batas yang jelas diatas tanah tersebut, dengan adanya kesaksian tetangga sempadan dan aparat desa setempat.
Berkaitan dengan hal tersebut sejauh pengamatan dan analisis penulis tanah yang selama ini terdapat pada pinggiran Sungai banyak dimanfaatkan oleh warga untuk bercocok tanam tanpa adanya upaya legalitas terhadap penguasaan tanah tersebut. Masyarakat banyak melakukan pemanfaatkan tanah timbul untuk dialihfungsikan menjadi lahan pertanian dan bercocok tanam saat air sungai mengalami penurunan (surut). Hal ini terjadi dikarenakan sempitnya lahan yang berada di pada masing-masing wilayah dan didorong dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk menyebabkan keberadaan pendudukan tanah timbul di piggiran sungai makin meningkat. Dalam hal ini apabila tanah timbul/tanah negara tersebut mau dikelola berarti harus mendapat hak bagi sipengelola yaitu disebut hak pakai/hak guna usaha/hak garap atas tanah timbul/tanah negara.
Masyarakat yang melakukan pemanfaatan terhadap lahan telah melakukan kegiatan bercocok tanam tersebut semenjak nenek mereka masih ada dahulu (turun temurun). Kejadian ini merupakan sebuah kebiasaan yang mana timbul dikarenakan perbuatan manusia mengenai hal tertentu yang dilakukan secara berulang-ulang. Namun pada Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah menyatakan bahwa tanah timbul adalah daratan yang terbentuk secara alami maupun buatan karena proses pengendapan, di sungai, danau, pantai dan atau pulau timbul. Adapun tanah timbul yang dimanfaatkan oleh masyarakat tersebut digunakan sebagai lahan pertanian.