Selebriti Ditetapkan Sebagai Penerima Vaksin Perdana, Kebijakan Tepat atau Blunder Pemerintah?

Akhir-akhir ini, beredar berita terkait jajaran selebriti tanah air yang akan mendapatkan jatah vaksinasi pada periode awal vaksinasi nasional. Dilansir dari situs CNN Indonesia, beberapa selebriti dan figur publik seperti Raffi Ahmad, Bunga Citra Lestari, hingga Najwa Shihab dikabarkan masuk ke dalam daftar penerima vaksin COVID-19 perdana. Proses vaksinasi tersebut dijadwalkan akan berlangsung pada tanggal 13-15 Januari 2021.

Meskipun dari pihak Kementerian Kesehatan secara resmi membantah, namun banyak pihak sudah terlanjur percaya dengan keabsahan berita tersebut. Terlebih lagi ketika dikonfirmasi oleh Manajer Raffi Ahmad, Prio, dan Manajer Bunga Citra Lestari, Doddy, bahwa sebelumnya memang ada kontak dari pihak istana serta saat ini mereka sedang menunggu arahan lebih lanjut dari istana negara.

Banyak pihak yang menyayangkan keputusan tersebut. Mereka menilai bahwa vaksinasi seharusnya diprioritaskan bagi tenaga kesehatan yang saat ini berada di garda terdepan penanganan pandemi COVID-19. Karena akan menjadi suatu kemunduran besar jika mayoritas atau bahkan semua tenaga kesehatan tumbang disebabkan oleh vaksinasi yang salah sasaran. Maka dari itu, vaksinasi di periode pertama terhadap beberapa selebriti jika ditinjau dari skala prioritas adalah tindakan yang kurang tepat.

Masalah Kepercayaan Publik

Kendati demikian, saat ini pemerintah sedang dihadapkan dengan masalah kepercayaan publik, khususnya kepercayaan publik terhadap efektivitas vaksin untuk menangkal transmisi COVID-19 yang masih terbilang rendah. Apalagi setelah banyak beredar pendapat dari tokoh-tokoh publik maupun berita-berita, terlepas dari kredibilitas berita tersebut, yang menggarisbawahi kemungkinan efek samping dari vaksin terhadap tubuh. Bahkan, tidak sedikit yang mengasosiasikan vaksin COVID-19 dengan cerita-cerita fiksi di buku atau film terkait kegagalan fungsi otak serta kengerian transformasi fisik manusia setelah terinjeksi vaksin.

Jika kepercayaan terhadap vaksin rendah, maka dikhawatirkan akan terjadi penolakan yang tidak perlu dari masyarakat. Padahal di saat seperti ini, Indonesia perlu bersatu untuk menuntaskan perlawanan terhadap pandemi COVID-19.

Pemerintah memang sudah memberikan respon dengan menegaskan kembali Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan terkait pidana bagi orang yang tidak mematuhi atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Sanksi hukuman penjara paling lama 1 tahun atau denda maksimal Rp. 100 juta pun diatur bagi penolak program vaksinasi pemerintah.

Tapi sudah terlalu banyak kasus yang membuktikan inefektivitas hukum positif dalam mencegah terjadinya suatu peristiwa. Peraturan tentang Tindak Pidana korupsi sudah dirumuskan sejak tahun 1960 melalui Peperpu No. 24 Tahun 1960, namun tindak korupsi tetap saja terjadi dan bahkan meningkat dalam beberapa periode tertentu. Hukum beserta sanksi terkait perusakan fasilitas umum sudah secara jelas tertuang dalam Pasal 406 dan Pasal 170 KUHP, namun kasus perusakan fasilitas umum masih menjadi sorotan media setiap tahunnya.

Instrumen hard-power seperti hukum positif pastinya diperlukan untuk memberikan efek jera bagi pelaku tindak kriminal. Namun untuk memaksimalkan efeknya, hukum positif harus dibarengi dengan instrumen soft-power yang lebih bersifat humanis dan mengedepankan pendekatan konstruktivisme. Contoh dari instrumen soft-power tersebut, menurut hemat penulis, adalah pemanfaatan publik figur dalam kampanye kebijakan politik pemerintah, sebagaimana yang terlihat dalam kasus alokasi selebriti dalam vaksinasi periode pertama di Indonesia.

Kebijakan Politik dan Endorsement Selebriti

Hubungan yang erat antara kepentingan politik dan publik figur dalam penguatan pengaruh sudah menjadi rahasia umum. Bahkan diyakini oleh Jackson & Darrow dalam jurnalnya yang berjudul “The influence of celebrity endorsements on young adults’ political opinions”, bahwa terdapat penguatan relasi antara kepentingan politik dan praktik endorsement oleh selebriti dalam periode 15 tahun terakhir. Klaim tersebut juga pernah diutarakan oleh Grossman & Helpman dalam artikelnya “Competing for endorsements” tahun 1999 sebelum kembali dikuatkan oleh Ekant Veer dalam jurnalnya “If Kate voted Conservative, would you? The role of celebrity endorsements in political party advertising” tahun 2010.

Mereka menyimpulkan bahwa masyarakat, dengan adanya distraksi seperti berita bohong dan tingkat literasi yang rendah, tidak memiliki pemahaman yang komprehensif terhadap kepentingan atau kebijakan politik tertentu. Oleh karena itu, masyarakat biasanya akan mencari petunjuk atau arahan dari tokoh yang dipercaya untuk membimbing mereka dalam proses pengambilan keputusan. Temuan dari peneliti di bidang politik, sebegaimana yang diyakini oleh pakar politik di atas, adalah bahwa endorsement oleh publik figur menjadi rujukan populer dalam pengambilan keputusan masyarakat terkait kebijakan politik.

Dari penelitian tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa peran selebriti dalam memobilisasi masa, khususnya dalam mempengaruhi keputusan individu terkait pemutusan urusan politik, sangatlah signifikan. Hal ini berarti jika dimanfaatkan secara proporsional, pengaruh selebriti dapat digunakan sebagai instrumen politik demi kelancaran implementasi kebijakan politik pemerintah.

Sebaliknya, jika tidak ada upaya untuk mengontrol opini dari selebriti, maka akan timbul kekhawatiran adanya penyalahgunaan pengaruh oleh selebriti tersebut untuk melawan kepentingan politik pemerintah. Dalam hal ini, selebriti merupakan “Pisau Bermata Dua” yang harus ditangani dengan kehati-hatian.

Namun terlepas dari itu, narasi pisau bermata dua tidak boleh menjadi tiket bagi pemerintah untuk berlaku represif dengan terlalu mencampuri urusan individu masyarakat. Dalam setiap diskusi kenegaraannya, pemerintah harus menempatkan kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat secara umum sebagai prioritas utama.

Upaya Meningkatkan Kepercayaan Publik Terhadap Vaksin

Setelah mempelajari dari beberapa literatur politik, penempatan publik figur sebagai instrumen soft-power pemerintah dalam memaksimalkan implementasi kebijakan politik menjadi semakin rasional.

Dari sini dapat dilihat bahwa kebijakan untuk mengalokasikan selebriti sebagai pihak pertama penerima vaksin COVID-19 adalah bentuk upaya pemerintah untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap vaksin. Pemerintah menyadari bahwa pendekatan top-down yaitu pendekatan dari pemerintah ke publik perlu diikuti oleh pendekatan bottom-up yaitu pendekatan dari akar rumput guna menciptakan kesadaran dari masyarakat untuk melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara.

Melalui kebijakan ini, pemerintah memastikan bahwa selebriti sebagai instrumen pisau bermata dua berada di sisi yang sama dengan kepentingan dan kebijakan pemerintah. Jika selebriti mendukung pemerintah, maka, berdasarkan temuan peneliti politik di atas, masa yang dimiliki oleh selebriti tersebut akan secara otomatis terpengaruh untuk melakukan hal yang sama.

Langkah tersebut mungkin tidak akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap vaksin COVID-19 secara 100%. Hal ini dikarenakan belum ada penelitian khusus yang membuktikan bahwa Raffi Ahmad, Bunga Citra Lestari, dan Najwa Shihab memiliki basis pengaruh terhadap 267,7 juta total penduduk Indonesia.

Ketiga selebriti itu tentunya memiliki segmentasi pendukung masing-masing sehingga generalisasi menjadi tidak relevan. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa efektivitas kebijakan ini relatif bergantung pada jangkauan pengaruh yang dimiliki oleh selebriti yang ditunjuk.

Penulis berharap bahwa pemerintah memiliki perhitungan yang matang sebelum memutuskan untuk menunjuk selebriti yang disebutkan di atas. Meskipun pengaruh dari 3 selebriti yang ditunjuk tersebut tidak bisa menjangkau masyarakat Indonesia secara keseluruhan, namun mudah-mudahan pengaruhnya dapat menggerakkan hati mayoritas masyarakat Indonesia sehingga akan timbul efek domino secara peer-to-peer terhadap masyarakat yang lain.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Daniel Elifansyah S.Sos

Daniel Elifansyah adalah sarjana dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik yang memiliki rentang minat dari politik domestik hingga politik internasional, isu sosial hingga budaya, dan gender hingga lingkungan.

Artikel: 3

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *