Sistem Peradilan Pidana untuk anak di Indonesia saat ini masih menjadi perdebatan banyak pihak. Faktanya masih banyak yang ragu dengan penegakkan hukum terhadap anak. Hal tersebut dipicu dengan faktor dilema perihal psikologi dan masa depan sang anak yang menjadi pelaku pidana. Dimana perlu kita ketahui bersama Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak sendiri adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Secara spesifik Sistem Peradilan Pidana Anak didalamnya ada anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, anak yang menjadi saksi tindak pidana dan semua yang berhubungan dengan Sistem Peradilan Pidana Anak. Perlu diperjelas yang dimaksud anak di sini merupakan warga negara Indonesia yang berumur dibawah 18 tahun. Hal ini dilakukan karena Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip pelindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dengan UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disahkan Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 30 Juli 2012 di Jakarta. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mulai berlaku pada tanggal diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012 oleh Menkumham Amir Syamsudin dan ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153. Penjelaan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332 , agar seluruh rakyat Indonesia mengetahuinya.
Kepentingan Terbaik bagi Anak pada Aturan Batas Usia
Pertanggungjawaban Pidana Anak dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012
Penetapan batas usia pertanggungjawaban pidana anak yang baru dalam UU SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak), sudah seharusnya dapat mencerminkan kepentingan terbaik bagi anak. Dimana perlu kita sadari bahwa anak merupakan cikal bakal harapan suatu negara. Prinsip kepentingan terbaik bagi anak ini terus ditegaskan dalam pembahasan RUU SPPA. Prinsip kepentingan terbaik bagi anak ini tercermin dari:
- Penentuan batas usia pertanggungjawaban pidana yang semula diatur dalam UU Pengadilan Anak 8 tahun hingga belum berumur 18 tahun, bergeser menjadi telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 dalam UU SPPA. Tidak ada lagi batas “belum kawin” sehingga tidak bersifat diskriminatif.
- Ketentuan dalam UU SPPA menyatakan bahwa anak berumur 12 tahun hanya boleh diperiksa sebagai dasar pengambilan keputusan oleh Penyidik untuk memberi tindakan, bukan bagian dari proses peradilan pidana.
- Pidana baru dapat dijatuhkan untuk anak yang berusia 14 tahun hingga
18 tahun. Pasal 69 Ayat 2 tersebut otomatis menjelaskan bahwa hanya anak berumur 12 tahun hingga anak berumur di bawah 14 tahun lah yang dapat dikenai tindakan. Sehingga bila mengacu pada batas usia pertanggungjawaban pidana anak yang ada dalam UU SPPA, maka anak yang dapat dikenai pidana adalah anak berumur 14 tahun hingga 18 tahun. - Berlakunya upaya pendekatan Keadilan Restoratif dan Diversi, yang semakin memperkecil kemungkinan si anak untuk dapat dipidana. ketentuan batas usia pertanggungjawaban pidana anak yang semakin
meningkat, adanya pendekatan Keadilan Restoratif dan upaya diversi semakin memperkuat pernyataan bahwa UU SPPA mengutamakan deprivation of liberty is the last measure dan kepentingan terbaik anak. Atas hal tersebut menyebabkan kemungkinan pemidanaan pada anak semakin mengecil.
Begitulah pembahasan terkait sistem peradilan pidana pada anak. Tentunya hukum peradilan di indonesia untuk segala lapisan, terutama terhadap anak, harus selalu dijunjung tinggi keadilannya.