Memahami Makna Civil Society

Apa itu Civil Society?

UNDP mendefinisikan Civil Society sebagai sektor ketiga yang ada mendampingi dan berinteraksi dengan negara dan sektor privat. Civil society menurut pandangan John Locke, kehadiran civil society adalah untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Mengingat sikapnya yang demikian itu, civil society tidaklah absolut dan harus membatasi perannya pada padawilayah yang dapat dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan proposional.

Civil society menurut pandangan Marcus Tullius Cicero, Cicero mengistilahkan masyarakat sipil dengan societies civilies, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain dengan tradisi politik kota (city) sebagai komponen utamanya. Istilah yang digunakan Cicero lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state),yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota, dan bentuk korporasi lainnya yang menjelma menjadi entitas yang terorganisir. Berbasis pada keberadaan kota sebagai pusat peradaban kaum pendatang, rumusan Cicero ini lebih menekankan konsep civility kewargaan dan urbanity, atau budaya perkotaan. Kota, dalam pengertian itu, bukan hanya sekedar sebuah konsentrasi penduduk, tetapi sebagai pusat kebudayaan dan pusat pemerintahan.

Civil Society sering kali di definisikan berbeda oleh para  ilmuan, tetapi penulis memilih definisi dari CIVICUS, yaitu sebagai arena di luar keluarga, negara, dan pasar, yang diciptakan oleh tindakan individu dan kolektif, organisasi, dan lembaga untuk memajukan kepentingan bersama. Definisi tersebut dipilih penulis karena dianggap paling mewakili dari keberadaan Civil Society.

Larry Diamond (1994) mengatakan bahwa civil society memberikan kontribusi yang cukup besar bagi tumbuhnya demokrasi. Pertama, civil society menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk menjaga dan mengawasi keseimbangan negara. Asosiasi independen dan media yang bebas memberikan dasar bagi pembatasan kekuasaan negara melalui kontrol publik. Kedua, beragam dan pluralnya dalam masyarakat sipil dengan berbagai kepentingannya, bila diorganisasi dan dikelola dengan baik, maka hal ini dapat menjadi dasar yang penting bagi persaingan yang demokratis. Ketiga, akan memperkaya peranan partai-partai politik dalam hal partisipasi politik, meningkatkan efektivitas politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan (citizenship). Keempat, ikut menjaga stabilitas negara. Dalam arti bahwa civil society, karena kemandiriannya terhadap negara, mampu menjaga independensinya yang berarti secara diam-diam mengurangi peran negara. Kelima, sebagai wadah bagi seleksi dan lahirnya para pemimpin politik yang baru. Keenam, menghalangi dominasi rezim otoriter.

Asal-usul Perkembangan Civil Society

Perkembangan sosial legal dan sosial kultural civil society sesungguhnya bermula dari tradisi pemikiran Barat. Civil society yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan masyarakat sipil, merupakan sebuah konsep yang tidak memiliki kaitan dengan ‘pemerintah militer’ seperti yang sering diperbincangkan masyarakat secara umum. Konsep ini, sebenarnya merupakan lawan dari konsep ‘masyarakat negara’ (state society) atau masyarakat politik (political society), konsep ini mulamula dimunculkan di Eropa sebagai produk sejarah masyarakat Barat, karena civil society tidak lahir dari suasana vakum. Sebaliknya, civil society merupakan produk dari suatu masyarakat tertentu yaitu sosial budaya dan politik di Barat.

Konsep ini pertama kali lahir dan dapat dilacak akar katanya sejak zaman Yunani kuno. Oleh karena itu, gagasan civil society bukanlah wacana baru. Ernest Gellner, seperti yang disadur Adi Suryadi Culla, menyebutkan bahwa Gellner menelusuri akar gagasan ini ke masa lampau melalui sejarah peradaban Barat (Eropa dan Amerika) dan yang menjadi perhatiannya adalah ketika konsep ini dipopulerkan secara serius oleh seorang pemikir Skotlandia, Adam Ferguson (1723- 1816), dalam sebuah karya klasiknya “an Essay of Civil Society” (1767) baru kemudian konsep civil society dikembangkan lebih lanjut oleh kalangan pemikir modern seperti John Locke, Rousseau, Hegel, Marx dan Tocqueville sehingga upaya menghidupkan kembali di Eropa Timur dan Barat di zaman kontemporer. Selain Gellner, Jean L. Cohen dan Andreo Arato (1992) juga melacak akar muncul civil society sejak zaman Yunani kuno. Mereka mengungkapkan bahwa persepsi awal konsep ini sebenarnya berasal dari Aristoteles, ketika Aristoteles mengungkapkan istilah politike koinonia dalam bahasa Latin societas civilis yang berarti masyarakat politik/komunitas politik (political society/community) yang merujuk pada polis. Istilah politike koinonia dari Aristoteles ini dipergunakan untuk mneggambarkan suatu masyarakat politik dan etis dimana warga negara didalamnya berkedudukan sama di depan hukum.

Terminologi masyarakat madani di Indonesia sesungguhnya bermula dari gagasan Dato Anwar Ibrahim, yang ketika itu tengah menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia. Dalam kunjungannnya ke Indonesia, ia membawa oleh-oleh terminologi masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society. Terminologi tersebut mula-mula ia perkenalkan dalam sebuah ceramah pada acara simpsium nasional dalam rangka Festival Istiqlal, 26 September 1995.

Terminologi masyarakat madani pun sebenarnya tergolong baru, yakni hasil pemikiran Naquib Al-Attas, seorang filosof kontemporer dari negeri jiran Malaysia dalam studinya baru-baru ini.2 Hasil pemikiran tersebut kemudian mendapatkan respon positif dan legitimasi dari berbagai kalangan intelektual Muslim Indonesia, termasuk Nurcholish Madjid yang segera melakukan rekonstruksi konsepsi masyarakat madani dalam sejarah Islam, yang hasilnya dituangkan dalam artikelnya “Menuju Masyarakat Madani”.

Gagasan masyarakat madani yang diperkenalkan oleh Anwar Ibrahim berangkat dari realitas pahit yang dialami oleh mayoritas umat Islam. Ia menangkap adanya fenomena kemunduran dan keterbelakangan yang menghiasi wajah umat Islam. Ia kemudian memandang bahwa kemelut yang diderita oleh umat Islam seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan kebodohan merupakan manifestasi yang negatif dari bangunan masyarakat madani. Lima prinsip dasar yang melandasi bangunan masyarakat madani, yakni supremasi moral, keadilan, kesetaraan, musyawarah dan kebebasan telah hilang dari kehidupan umat Islam. Ia kemudian menegaskan bahwa ide pokok dari gagasan masyarakat madani sesungguhnya adalah menjadikan agama sebagai sumber peradaban. Masyarakat madani megandaikan sebuah tatanan masyarakat perkotaan yang kosmopolit dan tunduk dibawah aturan perundang-undangan. Pengertian masyarakat madani kemudian dapat disederhanakan menjadi sebuah tatanan masyarakat yang dibangun di atas pilar agama, peradaban dan kosmopolitan.

Fenomena tuntutan kuat untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih menjadi daya tawar tersendiri bagi keharusan mewujudkan masyarakat madani. Sebab keduanya memiliki keterkaitan yang saling membutuhkan. Di satu sisi, pemerintahan yang bersih menjadi prasyarat bagi pertumbuhan dan perkembangan masyarakat madani yang sehat, pada sisi lain, pertumbuhan dan perkembangan masyarakat madani tentu akan menuntut performance pemerintahan yang bersih, efesien, efektif dan profesional. Dari sisi, makna demokrasi kemudian menjadi sebuah kunci bagi solusi yang harus diwujudkan, dalam rangka menentukan proses pertumbuhan pemerintahan yang bersih sekaligus perkembangan masyarakat madani.

Masyarakat madani juga dikenal dengan karaktetistiknya sebagai masyarakat yang beradab, berkeadaban atau masyarakat yang berperadaban. Peradaban bisa diartikan sebagai sebuah proses, yakni sebuah perkembangan yang memiliki suatu arah tertentu, bahkan mempunyai suatu tujuan, suatu norma yang mencerminkan suatu tata nilai yang ideal. Artinya, sebuah peradaban sesungguhnya menggambarkan suatu konstruksi yang final, baik yang sudah tercapai ataupun yang masih diharapkan.sini dapat dikembangkan bahwa suatu peradaban yang besar adalah peradaban yang sanggup menciptakan lingkungan yang kondusif secara sosial, politik, ekonomi, kultural dan sanggup mengantarkan manusia untuk mengamalkan perintah Tuhan dalam segenap aktivitas kehidupan, tanpa harus dihalangi dengan berbagai konstitusi-konstitusi kemasyarakatan yang kontradiktif dengan keyakinan keagamaan. Bagaimanapun, kemajuan sebuah peradaban haruslah dilengkapi dengan suatu sistem keimanan dan pengabdian kepada Tuhan. Dalam konteks ini, suatu bentuk peradaban diharapkan mampu menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sekaligus nilai-nilai ketuhanan, menonjolkan dimensi matrial sekaligus dimensi spiritual.

Civil society dalam perkembangannya di Indonesia memberikan dampak yang baik dalam proses demokratisasi, meskipun dalam beberapa hal ada kekurangan. Dalam konteks ini maka tidak sepenuhnya civil society sudah sangat mendukung demokratisasi, ada sebuah masalah bersama yang harus diselesaikan. Masalah itu kemudian akan bisa teratasi atau bisa terselesaikan dengan beberapa rekomendasi yaitu. Pertama, harus ada sebuah kesadaran dalam pemerintah akan adanya Politic of recognation artinya pemberdayaan civil society tidak hanya berkaitan dengan kesedian pemerintah untuk menghormati kelompok-kelompok mayoritas dalam masyarakat tetapi juga kelompok minoritas. Seperti yang telah dijelaskan diatas untuk kelompok minoritas masih kurang ada pengakuan dan penghormatan dari pemerintah. Kedua, untuk membuat kesadaran mengenai Politic of recognation diperlukan sebuah pendidikan yang baik guna menanamkan kesadaran tersebut. Dimana dalam program pendidikan tersebut perlu adanya kurikulum yang dapat menjelaskan pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses politik serta adanya penghormatan yang sebesar-besarnya terhadap perbedaan dengan meningkatkan kualitas mengenai kewarganegaraan. Ketiga, untuk mencampai pembentukan masyarakat sipil yang kuat perlu adanya sebuah reformasi total. Dalam hal ini reformasi total adalah upaya guna menciptakan iklim yang lebih demokratis , serta “pembersihan” praktek-praktek feodalisme seperti KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) di dalam tubuh pemerintahan serta perlu adanya sebuah lembaga hukum yang kuat untuk menciptakan supremasi hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar Effendy, Masa depan civil society di Indonesia: memeriksa akar sosio religius. Jurnal Refleksi Pemikiran dan Kubudayaan, Tashwirul Afkar, Edisi No.7 Tahun 2000-ISSN: 1410-9166, 2000, Jakarta.

Culla, A.S. 1999. Masyarakat Madani Pemikiran Teori dan Relevansinya dengan Cita-Cita Reformasi. Jakarta: Raja Grafindo.

Diamond, Larry. 1994. Rethinking Civil Society: Toward Democratic Consolidation. Jurnal of Democracy.

Firdaus, A. Civil Society Menurut Pandangan Mereka.

Ibrahim, A. Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani.  dalam Aswab Mahasin (eds.), Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: Wacana Antar Agama dan Bangsa.

Jean L.Cohen and Andrew Arato. 1992. Civil Society and Political Theory. Cambridge: MIT Press.

Madjid, N. 1996. Menuju Masyarakat Madani. Ulumul Qur’an, No. 2.

Mahasin, A. 1996. Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: Wacana Antar Agama dan Bangsa. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal.

Moh. Mahfud MD. 1999. Supremasi Hukum dan Masyarakat Madani. Makalah, Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa Tingkat Menengah: (BEM IKIP Yogyakarta, 19 Mei 1999).

UNDP.(2005). A Guide to Civil Society Organizations: Working on Democratic Governance. Volume:140.

VanDyck, Charles Kojo. 2017. Concept and Definition of Civil Society Sustainability. CSIS:Washington DC.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
rizkimhrani

Rani, Master of Political Science.

Artikel: 4

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *