Analisis Peristiwa Korupsi di Indonesia dengan Pendekatan Legalistik dan Sistemik

Korupsi  di  Indonesia  telah  menggerogoti  hampir  seluruh  segi  kehidupan  (Rahardjo, 2006: 126) sehingga tindak pidana korupsi telah dipandang sebagai kejahatan serius. Untuk menggambarkan akibat yang disebabkan oleh korupsi, prognosisnya Syed Hussein Alatas menyatakan bahwa korupsi sebagai parasit yang mengisap pohon akan menyebabkan pohon itu mati dan saat pohon itu mati maka koruptor pun akan mati karena tidak ada lagi yang akan dihisap (Rahardjo, 2006: 136). Jadi, korupsi hanya akan menggerogoti habis dan menghancurkan masyarakatnya sendiri. Realitas ini membuat penanganan korupsi di Indonesia menjadi begitu extraordinary. Tidak hanya dari sisi produk hukumnya, tetapi juga dari penegak hukumnya. Bahkan presiden secara resmi mencanangkan dan masuk dalam agenda kerjanya untuk memberantas korupsi. Namun, upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia seolah-olah tidak berarti. Produk hukum yang ada, komisi yang dibentuk, kesadaran masyarakat akan bahaya korupsi, tetap saja tidak merubah keadaan, korupsi tetap menjadi common enemy (musuh bersama) bagi masyarakat Indonesia.

Hal itu terjadi, karena perilaku korupsi juga telah melanda para penegak hukum bahkan menembus ranah peradilan. Istilah mafia peradilan digelontorkan untuk menyebut para penegak hukum yang “berdagang hukum”. Penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam  menghadapi  korupsi  justru  gagal  dalam  membawa  nilai  keadilan  dan  kemanfaatan bagi masyarakat. Peradilan yang seharusnya menjerakan para koruptor, justru malah memberi kelegaan. Bahkan Daniel Kaufmann dalam laporannya menyebutkan bahwa tingkat korupsi di peradilan Indonesia ialah yang paling tinggi di antara negara-negara sebagai berikut: Ukraina, Rusia, Venezuela, Kolombia, Yordania, Turki, Malaysia, Brunei, Afrika Selatan dan Singapura (Sudirman, 2007: 2). Korupsi yang terjadi di peradilan diakibatkan oleh tindakan-tindakan yang menyebabkan ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum. Tumpulnya peradilan sebagai benteng terakhir dari keadilan lebih disebabkan oleh ukuran yang digunakan ialah menguntungkan atau tidak menguntungkan dari segi ekonomi dan politik saat menentukan pihak mana yang layak mendapat keadilan, dan mekanisme itu sah apabila itu telah sesuai prosedur. Mekanismenya ialah standar legal formal. Hal ini mengakibatkan masyarakat akan semakin termarginalkan bahkan menjadi korban dari sistem dan proses peradilan yang eksklusif bagi pelaku korupsi. Demi mengakhiri hal ini, hakim tidak boleh hanya mementingkan prosedur dan menyandarkan dirinya pada undang-undang. Pandangan yang luas, keinginan untuk menggali nilai-nilai yang ada di masyarakat harus dikedepankan. Tetapi yang paling penting ialah hakim harus juga menggunakan hati nurani.

Pemahaman hukum di Indonesia masih didominasi cara berpikir positivistik-legalistik. Hukum lebih dipahami dalam tataran formil, akan disebut hukum apabila telah dituangkan dalam perundang- undangan yang merupakan hasil bentukan dari penguasa. Akibatnya, hukum cenderung diartikan sebatas teks dalam dokumen resmi negara yang disebut perundang-undangan. Hukum dalam teks akan diterapkan dalam peristiwa konkrit oleh para penegak hukum. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto perihal penegakan hukum, bahwa diperlukan substansi dalam artian aturannya, kemudian aparat penegak hukumnya, sarana dan prasarana serta budaya masyarakat. Aparat penegak hukum akan mempengaruhi proses dari penegakan hukum, aparat yang benar akan menegakkan hukum secara benar tidak mencederai nilai keadilan (Soekanto, 2004: 8-9). Kualitas dan kredibilitas aparat penegak hukum di Indonesia tengah menjadi sorotan publik. Tentu saja, ini menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan, aparat yang seharusnya menegakkan hukum dan keadilan justru malah menyalahgunakan hukum. Kekhawatiran ini semakin menjadi ketika pengadilan yang seharusnya sebagai benteng terakhir penegakan hukum, justru malah menjadi lembaga untuk menyalahgunakan kekuasaan yudisial. Putusan yang diambil hanya sekadar menegakkan undang-undang, menyalin teks atau dengan kata lain menjadi corong undang-undang.

Selama ini hakim dalam menangani kasus korupsi, cenderung hanya memenuhi keadilan prosedural. Bahkan, banyak tindak pidana korupsi yang diputus bebas oleh hakim. Tindak pidana korupsi tidak dapat dibiarkan, karena akan menghambat pembangunan bangsa, sehingga korupsi memerlukan penanganan yang luar biasa oleh semua aparat penegak hukum, tidak hanya hakim tetapi juga jaksa, advokat dan polisi. Penanganan luar biasa terhadap korupsi diperlukan karena korupsi merupakan tindak pidana fenomenal yang dampaknya tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, yang mengancam cita bangsa untuk mensejahterakan masyarakatnya. Itulah sebabnya, di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapat perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya (Hartanti, 2005: 1). Apabila dibenturkan dengan pendapat Mahfud MD., maka tugas dari hakim melalui putusannya ialah menegakkan keadilan.

Pola pikir ini hanya mengedepankan keadilan prosedural, namun belum tentu untuk keadilan substansial. Dalam pandangan dasar mahzab positivisme hukum tata hukum suatu negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial melainkan karena mendapat bentuk positifnya dari suatu institusi yang berwenang, dan hukum hanya dikenal sebagai hukum formal, sehingga hukum dalam pola pikir positivisme hukum ialah undang-undang yang telah dibentuk melalui prosedur teknis. Dengan penerapan undang-undang, hakim dianggap telah memenuhi keadilan prosedural. Pola pikir semacam ini sangat mengutamakan nilai kepastian hukum dibandingkan nilai keadilan dan kemanfaatan. Padahal, nilai terpenting dari hukum adalah nilai keadilan.

Melalui pola pikir positivisme hukum, hakim cenderung puas dengan hal-hal yang berbau prosedural, tanpa bermaksud lebih jauh mendekati horison keadilan. Terlebih lagi, bagi hakim yang memiliki integritas rendah, tidak jujur serta tidak profesional, hukum akan lebih mudah dimanfaatkan untuk memenangkan kasus yang sedang ditanganinya karena telah berkolaborasi dengan pihak yang melakukan kejahatan. Padahal dalam Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/104A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim, hakim itu harus berperilaku adil, berperilaku jujur dengan tidak mencerminkan keberpihakan, berintegritas tinggi sehingga mampu menolak berbagai godaan dan segala bentuk intervensi, serta berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila, sehingga putusan yang dihasilkannya pun bernilai Pancasila. Hakim dalam mengambil putusan pun harus bersikap profesional, yang artinya mengedepankan keahlian, pengetahuan, keterampilan dengan didukung oleh wawasan yang luas. Pola pikir positivisme hukum yang menjadikan undang-undang sebagai satu-satunya acuan juga membatasi penanganan tindak pidana korupsi hanya dengan cara-cara yang konvensional. Kegagalan dalam penanganan tindak pidana korupsi, salah satunya disebabkan oleh peran lembaga peradilan melalui hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap para terpidana korupsi. Penjatuhan pidana terhadap para koruptor cenderung ringan bahkan membebaskan. Seperti dalam perkara korupsi dalam Nomor 207/PID.B/2008/PN.MPW, meskipun tidak membebaskan para terdakwa, namun putusan hakim dinilai terlalu rendah dan tidak mengakomodasi nilai keadilan substansial serta kemanfaatan. Padahal tindak pidana korupsi ini dilakukan dengan modus penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Modus penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan dalam pandangan penulis merupakan modus operandi tindak pidana korupsi yang paling munafik, karena berlindung di balik kekuasaan yang telah diamanatkan oleh rakyat untuk mencuri dan merugikan rakyat. Pelakunya menggunakan kekuasaan atau wewenang yang telah diamanatkan kepadanya untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi.

Hakim dalam menangani perkara luar biasa seperti korupsi masih menggunakan pola pikir positivisme hukum klasik. Cara berpikir konvensional terlihat bagaimana hakim menekankan penafsiran “monolitik” terhadap makna norma-norma itu sendiri.   Salah satu contoh perkara tindak pidana korupsi yang menggambarkan bahwa hakim cenderung mengusung pola pikir positivisme hukum pada Perkara Nomor 207/PID.B/2008/PN.MPW. Dalam perkara ini hakim menjatuhkan pidana yang lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum, dengan pertimbangan sebagaimana bunyi ketentuan dalam Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hakim masih menggunakan metode berpikir positivistik yang lazim dipakai menangani masalah “biasa” dalam masyarakat yang keadaannya stabil. Padahal bangsa ini sekarat karena korupsi sehingga perlu upaya luar biasa pula untuk memberantas korupsi.

Hakim dalam perkara ini jelas hanya sekedar menerapkan bunyi undang-undang. Ketika unsur dalam undang-undang sudah terpenuhi, hakim menganggap nilai keadilan telah terpenuhi, padahal hukum tidak identik dengan keadilan, meski mungkin saja keadilan bisa “didekati” dari apa yang legal. Jika hukum diasumsikan identik dengan keadilan, maka mengandung konsekuensi pencarian keadilan di luar hukum akan dihentikan karena pencarian keadilan hanya bersumber pada hukum semata, bahkan lebih sempit lagi: undang-undang. Keadilan selalu di depan hukum, dan memprovokasi hukum untuk selalu mendekatinya. Untuk memperjelas duduk persoalan, perlu juga dibedakan antara “peraturan” (gesetz, wet, rule), ”kaidah” (recht, norm), dan keadilan (ius). Kelemahan ajaran positivisme hukum klasik hanya melihat hukum hanya sebagai kumpulan pasal-pasal yang tidak mengandung tujuan, dimensi filosofis, moral, dan lepas dari konteks kemasyarakatannya. Hakim seharusnya lebih jauh menyelam ke dalam spirit, asas, dan tujuan hukum. Berhenti pada pembacaan undang- undang sebagai peraturan bisa menimbulkan kekeliruan besar karena kaidah dan tujuan yang mendasari peraturan itu menjadi terlupakan. Dalam kasus-kasus yang luar biasa seperti korupsi, hakim seharusnya menafsirkan hukum secara kreatif, tidak submisif, demi untuk menyelamatkan bangsanya dari keambrukan karena korupsi.

Sumber Referensi:

Rahardjo, Satjitpto. 2009. Hukum dan Perilaku: Hidup Baik Adalah Dasar Hukum yang Baik.

Jakarta: Kompas Gramedia.

Sudirman, Antonius. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioural Jurispudence) Kasus Hakim Bismar Siregar. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Arwin Kurniansyah
Artikel: 9

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *