Korupsi seolah sudah menjadi kanker yang menggerogoti seluruh sendi masyarakat kita. Gejalanya membudaya, dari kalangan bawah hingga ke kalangan atas. Dari jabatan rendah hingga menjerat pejabat dengan posisi tinggi di perusahaan atau pemerintahan. Terlebih dalam sektor pengadaan barang dan jasa.
Kita mungkin belum lupa kasus korupsi pengadaan peralatan Laboratorium Komputer untuk Madrasah Tsanawiyah dan Pengadaan Pengembangan Sistem Komunikasi dan Media Pembelajaran Terintegrasi untuk Jenjang Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag tahun 2011, yang melibatkan Undang Sumantri, mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di lingkungan Ditjen Pendis Kementrian Agama. (Bisnis.com, 4 Desember 2020)
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada saat penyerahan LHP-LKPP 2012 (Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat) pada Juni 2013, menyatakan dalam sambutannya bahwa selama sembilan tahun masa kepresidenannya, menemukan empat sumber penyimpangan keuangan negara, yaitu (1) pengadaan barang dan jasa, (2) bantuan sosial, (3) pajak, (4) perizinan.
Menurut Nawawi Pomolango, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kasus tindak pidana korupsi di sektor pengadaaan barang dan jasa lebih banyak jumlahnya dibanding sektor lain. Yakni sekitar 70 persen. Ibarat gunung es, yang terlihat baru yang berhasil terungkap saja, kenyataannya mungkin lebih banyak lagi. (Kompas.com, 26 Agustus 2020)
Akan tetapi, berkaitan dengan kasus korupsi pada sektor pengadaan barang dan jasa ini, tidak semua tersangka melakukan tindak korupsi karena memang ingin berlaku curang. Menurut Dewan Pembina IAPI (Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia) Pusat, Agus Rahardjo yang bertugas mendukung kinerja LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah), yaitu menyosialisasikan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, mengatakan bahwa hingga saat ini dari 80 persen kasus korupsi yang terungkap di sektor ini, terjadi karena kesalahan pada saat proses pelelangan pengadaan barang dan jasa tanpa sengaja karena tidak mengetahui dan memahami aturan main proses pelelangan.
Mengenal Tindak Pidana Korupsi
Menurut Kaufmann, pengadaan barang/jasa (PBJ) adalah aktivitas pemerintah yang dianggap paling rentan terhadap korupsi, dan ini terjadi di manapun di seluruh dunia (OECD, 2007: 9)
Untuk itu, agar para pihak yang bergerak di sektor pengadaan barang dan jasa tidak terlibat tanpa sengaja karena ketidaktahuan, perlu mengetahui dahulu definisi dari korupsi.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Dalam tiga belas pasal yang termaktub pada Undang Undang terdapat tiga puluh macam tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, Pasal 10 huruf c, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d , Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 huruf g, Pasal 12 huruf h, Pasal 12 huruf i, Pasal 12 B jo. Pasal 12 C, dan Pasal 13.
Ketigapuluh tindak pidana korupsi tersebut pada tindak pidana korupsi dapat diklasifikasikan menjadi tujuh jenis korupsi yaitu:
(1) Terkait keuangan negara / perekonomian
(2) Suap-menyuap,
(3) Penggelapan dalam jabatan,
(4) Pemerasan,
(5) Perbuatan curang,
(6) Benturan kepentingan dalam pengadaan dan
(7) Korupsi terkait gratifikasi.
Indonesia Procurement Watch (IPW) misalnya, telah mengidentifikasi faktor penyebab terjadi korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah, pertama, lemahnya kerangka hukum dan kelembagaan; kedua, lemahnya kapasitas pengelola pengadaan barang dan jasa pemerintah; dan ketiga, lemahnya kepatuhan terhadap peraturan, pengawasan dan penegakannya. Emil Salim mengidentifikasi titik rawan korupsi pengadaan barang dan jasa pemerintah di Indonesia adalah: Pertama, pada proses perencanaan yang dimulai dengan identifikasi proyek dan studi kelayakannya (feasibility study). Kedua, pada sistem yang dipakai. Ketiga, pada proses tender. Keempat, pada penggunaan wewenang pejabat. Kelima, pada pengisian Daftar-Isi-Proyek (DIP) dan pada pencairan DIP yang menjadi sasaran “disunat” (DR. Amiruddin, SH, MH)
Etika dan Prinsip Pengadaan Barang dan Jasa
Ketika bekerja atau pun berbisnis pada sektor ini, para pelaku bisnis hendaknya memiliki kontrol perilaku yang baik, karena sektor pengadaan barang dan jasa merupakan sektor yang rawan dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Maka perlu kiranya mematuhi etika pengadaan sesuai pasal 6 Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yaitu:
1. Melaksanakan tugas secara tertib disertai tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang dan jasa.
2. Bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang /jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa.
3. Tidak saling memengaruhi baik langsung ataupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat.
4. Menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak.
5. Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak terkait, baik langsung atau tidak langsung dalam proses pengadaan barang dan jasa.
6. Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang dan jasa.
7. Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; dan
8. Tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa.
Sedangkan prinsip pengadaan barang dan jasa yang wajib dipahami adalah:
1. Efisien, pengadaan barang dan jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas yang maksimum.
2. Efektif, pengadaan barang dan jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya.
3. Transparan, semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang atau jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh penyedia barang atau jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya.
4. Terbuka, pengadaan barang atau jasa dapat diikuti oleh semua penyedia barang atau jasa yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas.
5. Bersaing, pengadaan barang atau jasa harus dilakukan melalui persaingan yang sehat diantara sebanyak mungkin penyedia barang atau jasa yang setara dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh barang atau jasa yang ditawarkan secara kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam pengadaan barang atau jasa.
6. Adil, tidak diskriminatif, memberi perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang atau jasa dan tidak mengarah untuk memberikan keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
7. Akuntabel, harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan pengadaan barang atau jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Demikianlah beberapa etika dan prinsip yang harus dipahami pihak-pihak yang bergerak pada sektor pengadaan barang dan jasa agar terhindar dari tindak pidana korupsi.
Sumber:
1. Amiruddin, Pemberantasan Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa Melalui Instrumen Hukum Pidana dan Administrasi
2. Dr. H. Agus Kasiyanto, S.H., M.H., CLA., CPL., CTL., CRA., CPHL., Tindak Pidana Korupsi pada Proses Pengadaan Barang dan Jasa.
Ingin belajar