Restrukturalisasi Manajemen Pendidikan sebagai Upaya Pemerataan dan Peningkatan Pendidikan Indonesia

Kurikulum pendidikan di Indonesia lambat laun mengalami perubahan. Tantangan terbesar yang dihadapi tentunya pluralisme budaya serta penyebaran pulau-pulau di Indonesia menjadi tembok tebal dalam memeratakan pendidikan itu sendiri. Dibuatkan kebijakan desentralisasi pendidikan, memberikan angin segar dalam pemerataan pendidikan. Oleh karena itu, hal ini menyebabkan pusat pengembangan pendidikan diberikan langsung kepada pemerintah daerah dengan tetap memfokuskan kebijakan sesuai dengan yang telah diterbitkan oleh pusat. Otonomi khusus diberikan kepada pemerintah daerah untuk dapat mengaudit proses pendidikan yang ada pada masing-masing sekolah sesuai dengan kebutuhan daerah.

Semangat dan gelora untuk membangkitkan nuansa pendidikan yang kondusif sehingga dapat dinikmati oleh berbagai kalangan masyarakat tentunya menjadi titik pokok tujuan dalam pendidikan seperti termuat dalam sila kelima pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tentunya dengan desentralisasi pendidikan menjadi sumber penyegaran ataupun secercah harapan dalam peningkatan mutu pendidikan. Berbasis kebutuhan yang ada pada tiap-tiap kabupaten menjadikan berbagai lingkungan maupun daerah memiliki ciri khas atau kebiasaannya masing-masing. Fokus peningkatan mutu pendidikan melalui desentralisasi manajemen berbasis sekolah mempunyai harapan untuk meningkatkan efisiensi, relevansi, pemerataan serta mutu atau kualitas pendidikan di daerah tersebut. Segala sumber yang berhubungan dengan pendidikan sebaiknya dilibatkan dalam pengambilan kebijakan desentralisasi yaitu manajemen sekolah, lingkungan, partisipasi orang tua dan pengoptimalan sarana dan prasaran pembelajaran.

Langkah nyata yang dapat diambil untuk dapat mewujudkan desentralisasi adalah dengan restrukturisasi penyelenggaraan pendidikan terutama menyangkut struktur kelembagaan pendidikan, mekanisme pengambilan kebijakan, dan manajemen pendidikan di pusat, daerah dan sekolah. Dalam Balitbang Depdiknas tahun 1999, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan bentuk alternatif sekolah dalam rangka desentralisasi bidang pendidikan, yang ditandai adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi, tetapi masih dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat. Masyarakat dituntut partisipasinya agar mereka lebih memahami pendidikan, membantu, serta mengontrol pengelolaan pendidikan. Sedangkan kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah harus pula dilakukan oleh sekolah. Dalam MBS, sekolah dituntut memiliki “accountability” baik kepada masyarakat maupun pemerintah. MBS menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai bagi para siswa. Adanya otonomi dalam pengelolaan merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan. Otonomi sekolah juga berperan dalam menampung konsensus umum yang meyakini bahwa sedapat mungkin, keputusan seharusnya dibuat oleh mereka yang memiliki akses paling baik terhadap informasi setempat, mereka yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kebijakan, dan mereka yang terkena akibat-akibat dari kebijakan tersebut.

Peningkatan manajemen mutu yang ada pada sekolah turut berperan dalam proses peningkatan kualitas pendidikan yang terdapat pada sekolah tersebut. Diharapkan sekolah mengoptimalkan peran manajemen mutu untuk dapat mengevaluasi proses pembelajaran, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dalam hal ini guru, orang tua, siswa dan masyarakat. Sehingga mendapatkan input dari berbagai stakeholder yang berperan aktif dalam proses pendidikan itu sendiri. Ditinjau dari segi struktur lembaga, banyaknya lembaga, mekanisme pengambilan keputusan, dan kewenangan yang dimiliki oleh kepala sekolah tampaknya manajemen sekolah sangat rumit dan kompleks sehingga tidak efektif dan efisien bagi sekolah. Manajemen sekolah juga tidak berlangsung dengan baik karena adanya kendala internal yaitu kepemimpinan kepala sekolah yang belum memadai yang disebabkan oleh minimnya pelatihan dan penataran yang dimiliki oleh kepala sekolah, sehingga penyelenggaraan pendidikan di sekolah belum optimal. Secara umum tingkat partisipasi orangtua siswa dalam membantu penyelenggaraan pendidikan di sekolah masih rendah. Partisipasi orangtua siswa yang rendah adalah mencakup partisipasi dalam menentukan dan mengawasi kebijakan dan program sekolah, pertemuan rutin di sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, dan dalam pengawasan mutu sekolah.

Pemerataan mutu pendidikan yang termuat dalam Permendikbud Nomor 22 Tahun 2020 Tentang Renstra Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa berbagai upaya telah dilakukan yaitu:

  1. Menjamin mutu pendidikan melalui akreditasi sekolah dan lembaga pendidikan lainnya. Pemerintah terus berupaya agar semua sekolah maupun lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia dapat ditingkatkan kualitas serta mutu sekolah atau lembaga tersebut melalui proses akreditasi. Akreditasi lembaga pendidikan dan sekolah dijalankan oleh dua badan yang terpisah yaitu BAN S/M untuk sekolah dan madrasah, dan BAN PAUD-PNF untuk lembaga PAUD, lembaga kursus dan pelatihan (LKP), dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat. Dari jenjang PAUD, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah hingga pada Perguruan Tinggi menunjukkan angka peningkatan akreditasi dari tahun 2015 hingga 2019.
  2. Meningkatkan mutu guru secara berkelanjutan melalui sertifikasi guru. Penambahan guru yang tersertifikasi diharapkan dapat berdampak terhadap peningkatan hasil pembelajaran siswa. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, pola sertifikasi guru dalam jabatan diubah menjadi Pendidikan Profesi Guru (PPG). Dibandingkan dengan pola sertifikasi sebelumnya, PPG membutuhkan waktu yang lebih lama (bertambah panjang dari 10 hari menjadi 6 bulan) dan memerlukan biaya per unit yang lebih tinggi (dari Rp2.500.000,00 menjadi Rp7.500.000,00). Pendidikan Profesi Guru melibatkan LPTK sebagai pelaksananya dan disertai dengan Uji Tulis Nasional (UTN) sebagai syarat kelulusan. Dengan demikian, mutu dan profesionalisme guru dapat lebih terjamin. Meskipun biaya PPG membesar, selama periode 2015-2019, jumlah guru yang telah tersertifikasi terus bertambah.

Salah satu isu yang berkontribusi terhadap rendahnya proses pembelajaran seperti termuat dalam Renstra Kementrian Pendidikan dan kebudayaan adalah tata kelola pendidikan Indonesia yang belum mendukung secara maksimal hasil pembelajaran peserta didik. Ada indikasi bahwa anggaran yang dialokasikan untuk pelatihan guru dan bantuan sekolah tidak menunjukkan korelasi yang berarti dengan peningkatan kualitas pembelajaran. Guru dan kepala sekolah tidak diberikan insentif nyata untuk meningkatkan hasil pembelajaran. Adapun sejumlah besar guru honorer dibayar di bawah upah minimum regional.

Proses restrukturisasi pendidikan Indonesia tentunya tidak akan mudah. Terdapat beberapa kendala yang tentunya masih sering dijumpai dalam hal disparitas mutu pendidikan secara geografis, keadaan sosio-ekonomi siswa, serta sarana maupun fasilitas yang belum terlalu memadai yang menunjang pelaksanaan kebijakan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah harus tetap dipacu sehingga dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Pemerintah perlu meningkatkan alokasi anggaran pendidikan untuk sekolah, melakukan restrukturisasi penyelenggaraan pendidikan terutama berkenaan dengan struktur kelembagaan pendidikan; melakukan perubahan dalam mekanisme pengambilan keputusan; manajemen pendidikan di pusat, di daerah, dan di sekolah; dan pengelolaan anggaran serta administrasi pertanggungjawaban penggunaan anggaran agar lebih sederhana dan efisien sehingga lebih sesuai dengan kebutuhan riil sekolah. Lebih lanjut, pemerintah perlu menjadikan negara-negara maju menjadi referensi dalam pendidikan khususnya negara dengan sistem pendidikan yang sudah maju sehingga memangkas birokrasi maupun kebijakan yang terkadang dirasakan belum optimal. Hal ini guna memacu peningkatan Sumber Daya Manusia yang unggul dan berintegritas sehingga dapat berdiri sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Jaya Indonesiaku, Maju Terus Bangsaku.

Sumber:

https://muhammadalmustofa.wordpress.com/2011/04/03/restrukturisasi-penyelenggaraan-pendidikan-studi-kapasitas-sekolah-dalam-rangka-desentralisasi-pendidikan/

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2020 Tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Florianus Nay

Seorang pegiat literasi dan berkecimpung dalam dunia pendidikan serta penelitian. Sekarang mengajar pada sebuah kampus swasta di Kupang Nusa Tenggara Timur. Mempunyai spirit dalam bidang pendidikan matematika dan matematika serta passion dalam menulis.

Artikel: 13

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *