Pertanian-dan-Perubahan-Iklim

Adaptasi dan Mitigasi Pertanian Terhadap Perubahan Iklim

Variabilitas dan perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global (global warming) merupakan salah satu tantangan terpenting pada milenium ketiga. Sejumlah bukti baru hasil dari berbagai studi mutakhir memperlihatkan bahwa faktor antropogenik, terutama perkembangan industri yang sangat cepat selama 50 tahun terakhir telah memicu terjadinya pemanasan global secara signifikan. Perubahan iklim berdampak terhadap kenaikan frekuensi maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim, perubahan pola hujan, serta peningkatan suhu dan permukaan air laut.

Hasil kajian the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC 2007) menunjukkan bahwa sejak tahun 1850, tercatat ada 12 tahun terpanas berdasarkan data suhu permukaan global. Di banyak tempat di dunia, frekuensi dan intensitas bencana cenderung meningkat. Banjir dan badai mengakibatkan 70% dari total bencana, dan sisanya 30% disebabkan kekeringan, longsor, kebakaran hutan, gelombang panas, dan lain-lain. Laporan IPCC juga menunjukkan bahwa kegiatan manusia ikut berperan dalam pemanasan global sejak pertengahan abad ke-20.

Pemanasan global akan terus meningkat dengan percepatan yang lebih tinggi pada abad ke-21 apabila tidak ada upaya menanggulanginya. Banjir adalah bencana yang paling sering terjadi (34%), diikuti longsor (16%). Kemungkinan pemanasan global akan menimbulkan kekeringan dan curah hujan ekstrim, yang pada gilirannya akan menimbulkan bencana iklim yang lebih besar (IPCC 2007). Laporan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA) mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap bencana akibat perubahan iklim.

Dampak Perubahan Iklim Terhadap Pertanian

Perubahan iklim diyakini akan berdampak buruk terhadap berbagai aspek kehidupan dan sektor pembangunan, terutama sektor pertanian, dan dikhawatirkan akan mendatangkan masalah baru bagi keberlanjutan produksi pertanian, terutama tanaman pangan. Pada masa mendatang, pembangunan pertanian akan dihadapkan pada beberapa masalah serius, yaitu:

  1. Penurunan produktivitas dan pelandaian produksi yang tentunya membutuhkan inovasi teknologi untuk mengatasinya,
  2. Degradasi sumber daya lahan dan air yang mengakibatkan soil sickness, penurunan tingkat kesuburan, dan pencemaran,
  3. Variabilitas dan perubahan iklim yang mengakibatkan banjir dan kekeringan, serta 4) alih fungsi dan fragmentasi lahan pertanian.

Perubahan iklim merupakan proses alami yang bersifat tren yang terus-menerus dalam jangka panjang. Oleh karena itu, strategi antisipasi dan penyiapan teknologi adaptasi merupakan aspek kunci yang harus menjadi rencana strategis Kementerian Pertanian dalam rangka menyikapi perubahan iklim dan mengembangkan pertanian yang tahan (resilience) terhadap perubahan iklim.

Besarnya dampak perubahan iklim terhadap pertanian sangat bergantung pada tingkat dan laju perubahan iklim di satu sisi serta sifat dan kelenturan sumber daya dan sistem produksi pertanian di sisi lain. Untuk itu, diperlukan berbagai penelitian dan pengkajian tentang perubahan iklim dan dampaknya terhadap sektor pertanian, baik sumber daya, infrastruktur, maupun sistem usaha tani/agribisnis dan ketahanan pangan nasional.

Penelitian variabilitas dan perubahan iklim yang dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian dan perguruan tinggi masih terbatas, serta belum terintegrasi dan bersinergi dengan baik sehingga hasilnya belum dapat menjawab tantangan dan permasalahan secara efektif. Di sisi lain, persepsi dan pemahaman tentang perubahan iklim dari berbagai kalangan masih beragam karena adanya senjang informasi antara peneliti/ilmuwan dengan para pemangku kebijakan, penyuluh, dan petani. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian dan pengkajian yang komprehensif dan terpadu terhadap dampak perubahan iklim, serta strategi antisipasi dan teknologi adaptasinya.

Adaptasi dan Mitigasi dalam Pertanian

Adaptasi pada perubahan iklim adalah kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan diri dengan adanya perubahan iklim. Caranya yaitu dengan mengurangi kerusakan yang ditimbulkan, mengambil manfaat atau mengatasi perubahan dengan segala akibatnya (Surakusumah, 2012). Adaptasi terhadap perubahan iklim adalah salah satu cara penyesuaian yang dilakukan dengan spontan ataupun terencana yang bertujuan memberikan reaksi terhadap perubahan iklim.

Adaptasi terhadap perubahan iklim sangat potensial dalam mengurangi dampak perubahan iklim dan meningkatkan dampak manfaat. Strategi adaptasi terhadap perubahan iklim dapat memberikan manfaat baik itu jangka pendek maupun jangka pandang. Hambatan yang seringkali terjadi ada pada proses implementasi dan kefektifan adaptasi. Penyebab hambatan tersebut dikarenakan daya adaptasi dari tiap-tiap daerah, negara, maupun kelompok sosial-ekonomi berbeda-beda. Sedangkan untuk mitigasi adalah usaha menekan penyebab dari perubahan iklim.

Upaya mitigasi yang dilakukan di Indonesia pada bidang energi contohnya dapat dilakukan dengan cara melakukan efisiensi dan konservasi energi, mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan, efisiensi penggunaan energi minyak bumi melalui pengurangan subsidi dan mengoptimalkan energi pengganti minyak bumi, dan penggunaan energi nuklir (Surakusumah, 2012).

Upaya adaptasi pada sektor pertanian adalah dengan melihat kondisi cuaca tiap harinya. Apa saja tanaman yang dapat ditanam sesuai dengan cuaca yang dialami. Ketika proses tanam telah disesuaikan dengan kondisi cuaca dan lahan, kemungkinan hasil tanam yang didapat berkualitas dan tidak menghasilkan emisi yang berlebihan yang menyebabkan perubahan iklim. Proses adaptasi ini memiliki kekurangan yaitu proses ini dilakukan tergantung dari cuaca yang dialami tiap harinya. Ketidakpastian ini membuat proses adaptasi tidak berjalan dengan baik. Proses untuk mengatasi perubahan iklim yang merupakan alternatif terbaik adalah proses mitigasi.

Proses Mitigasi Sektor Pertanian

Proses mitigasi pada sektor pertanian dilihat paling efektif, karena mitigasi sendiri adalah proses untuk mencegah terjadinya perubahan iklim. Selama ini pertanian menggunakan pupuk berbahan kimia yang menyebabkan polusi air dan terjadinya erosi tanah. Proses mitigasi pada sektor pertanian terdiri dari berbagai cara. Contoh pertanian yang dapat diterapkan di Indonesia tanpa memerlukan bahan kimia antara lain:

  1. Pertanian Organik
    Pertanian organik adalah pertanian yang tidak menggunakan bahan kimia pertanian (tanpa pestisida dan pupuk sintesis), pupuk yang dipakai menggunakan kotoran hewan. Pertanian organik pun menggunakan metode-metode alami misalnya rotasi tanaman dan produk-produk yang didapat dari alam, misalnya pestisida organik untuk mengontrol tanaman.
  2. Pertanian Terintegrasi
    Pengoptimalan kualitas lingkungan dan keuntungan ekonomi pada pertanian menggunakan kombinasi metode pertanian konvensional dan organik. Contohnya adalah tanah diberi kompos dan kotoran hewan, tetapi juga ditambah dengan pupuk sintetis. Selain itu mengkombinasikan praktik kontrol hama secara biologi, kultural dan mekanikal, dengan penggunaan pestisida sintetis dan alam.

Dari kedua contoh pertanian tersebut, untuk pertanian organik menurut Ir. Nursanti Widi Arimbi yang merupakan aktivis Kelompok Kerja Pemberdayaan Agrotani (KKPA) dan Pengurus Daerah Keluarga Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta (PENGDA), memiliki peluang besar di Indonesia. Pada segi permintaan masyarakat yang sadar pangan dan kesehatan makin bertambah. Hal ini disebabkan dengan gaya hidup yang semakin lama semakin tidak sehat. Sedangkan pada segi produksi, ragam komoditas yang potensial dibudidayakan secara organik cukup besar. Serta jumlah petani yang mulai memahami pertanian organik makin bertambah.

Pertanian organik memiliki manfaat yang besar untuk masyarakat tetapi pada prakteknya masih mengalami hambatan. Hambatan tersebut terletak pada praktek pengadaan produk pertanian organik yang rumit, serta semakin banyaknya klaim organik di pasaran yang seringkali disebut sebagai praktek penipuan dagang dengan mengatasnamakan produk organik. Baik itu konsumen maupun petani organik mengalami kerugian. (Zulfiyah, 2013)

Pembangunan-berkelanjutan
Ilustrasi: studiobelajar.com

Proses adaptasi dan mitigasi pada sektor pertanian bertujuan untuk mengatasi perubahan iklim sebagai salah satu pembangunan berkelanjutan. Proses adaptasi dan mitigasi yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan adalah pada pembangunan berkelanjutan menggunakan pendekatan integratif. Proses ini dinilai tepat dikarenakan mengutamakan keterkaitan antara manusia dengan alam, manusia mempengaruhi alam dengan cara yang bermanfaat atau merusak.

Proses adaptasi dan mitigasi tersebut dinilai tepat untuk memanfaatkan alam sebaik-baiknya tanpa merusak alam. Masyarakat menjadi aspek utama untuk melancarkan proses adaptasi dan mitigasi pada pertanian untuk mengatasi perubahan iklim. Program yang diberikan sudah bagus bagi masyarakat dan alam. Tetapi, seringkali masyarakat masih belum mengerti bagaimana program tersebut dilakukan. Maka dari itu perlu adapelatihan dan keterampilan untuk masyarakat, agar dalam pelaksanaannya dapat berjalan dengan lancar. Tidak hanya menguntungkan bagi masyarakat secara ekonomi, tetapi perubahan iklim pun dapat dikurangi atau diatasi.

Referensi:

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Reva Almalika

Seorang mahasiswa Agribisnis yang sedang berada pada tahun terakhir perkuliahan. Suka menuangkan pemikiran ke dalam suatu tulisan.

Artikel: 27

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *