Perkara perebutan kekuasaan tengah ramai dikumandangkan di berbagai media Nasional maupun Internasional. Negara Myanmar yang saat ini tengah di ombang-ambing stabilitas politik, 1 Februari 2021 terjadi kudeta ketika Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Mynt dan beberapa pimpinan dari partai penguasa ditahan oleh Militer Myanmar. Beberapa jam kemudian, Angkatan Bersenjata Myanmar menyatakan keadaan darurat dan mengatakan bahwa kekuasaan telah di serahkan kepada Panglima tertinggi militer, Min Aung Hlaing. Hal ini berhubungan dengan Pemilihan Umum yang diadakan 8 November 2020 dimana dari hasil Pemilu partai Suu Kyi Liga Nasional untuk Demokrasi berhasil unggul, Militer mengklaim terjadi kecurangan terhadap pemungutan suara tersebut. Namun hal ini tidak membuat masyarakat diam. Sebagai penolakan dari kudeta, masyarakat turun ke jalan berdemonstrasi menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi.
Terlepas dari isu yang memanas di kancah Internasional, khususnya Asia Tenggara tersebut. Indonesia juga memberitakan isu yag hangat terkait akan adanya kudeta dalam ranah organisasi partai Demokrat atau yang disebut KLB (Kongres Luar Biasa). Presiden Jokowi yang telah menerima surat dari Ketua Umum Pimpinan Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengaku tidak perlu membalas surat tersebut dikarenakan hal itu berkaitan dengan urusan internal rumah tangga partai. Jokowi selaku Presiden Indonesia tidak ikut campur dalam urusan tersebut. Namun isu ini masih bergulir karena diduga persolan ini bukan hanya terkait dinamika internal Partai tetapi ada oknum eksternal yang ikut menggadang-gadangkan KLB.
Berdasarkan fakta sejarah Pengalihan kekuasaan yang terjadi selalu melibatkan Militer. Di Indonesia pada Masa Revolusi (1945-1949), Tentara selalu menjadi sasaran rebutan partai-partai politik. Ini dengan jelas mengindikasikan adanya ketakutan di kalangan para politisi di semua partai yang tidak percaya pada kekuatan-kekuatan politik lainnya. Maka, untuk berkuasa mereka memerlukan dukungan kekuatan bersenjata, tentara atau laskar bersenjata (milisia). Reaksi di pihak tentara terhadap incaran partai-partai tersebut ialah menjaga otonomi dengan cara menghindar dari posisi dikuasai pihak manapun diluar dirinya.
Menurut Harold Crouch, keterlibatan militer dalam politik disebabkan oleh faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal. Yang dimaksudkannya dengan faktor internal adalah:
1. Orientasi para pejabat militer yang merupakan hasil pengalaman historis militer.
Asal-usul dan peran awal militer membentuk tradisi dan tata nilai yang menjadi panutan bagi generasi perwira awal dan generasi selanjutnya. Ditinjau dari asal-usul mereka, Crouch mengidentifikasikan dua tipe angkatan bersenjata di Dunia Ketiga atau negara berkembang. Ada angkatan bersenjata yang dibentuk pada periode kolonial dan yang diindoktrinasi untuk menerima konsep Barat tentang profesionalisme apolitis dan supremasi sipil; angkatan bersenjata lain dibentuk dalam situasi di mana mereka tidak perlu setia terhadap prinsip tersebut. Yang termasuk kategori ini adalah angkatan bersenjata yang dibentuk untuk memerangi kolonialisme, militer negara-negara tradisional yang non-kolonial dan tidak pernah mengambil peran dalam perkara non-politik.
2. Kepentingan material militer.
Militer punya kebutuhan bersama yang jelas, seperti alokasi budget bagi penyediaan fasilitas maupun gaji yang memadai bagi para anggotanya. Ketika pemimpin politik gagal memenuhi kebutuhan ini, ada kecenderungan lebih besar bagi pihak militer untuk berpolitik dan melakukan intervensi dalam bidang politik
Selanjutnya faktor eksternal yang menyebabkan keterlibatan militer dalam politik adalah:
1. Kondisi sosio-ekonomis.
Pada umumnya dipercaya bahwa intervensi militer tidak terjadi di negara-negara yang sudah maju secara politik, ekonomi dan sosial dibandingkan dengan negara-negara yang kurang berkembang atau Dunia Ketiga. Pada umumnya ada ukuran-ukuran umum mengenai pembangunan dalam pengertiannya yang ketat—pendapatan nasioanal perkapita, produktivitas nasional kotor, tingkat industrialisasi dan konsumsi energi, dan tingkat melek huruf nasional. Walaupun faktor sosio-ekonomis merupakan faktor yang penting, apakah militer akan campur tangan atau tidak, dan kapan militer akan melakukan intervensi, terutama akan tergantung pada situasi politik.
2. Situasi politik.
Intervensi militer dalam politik adalah akibat ketidakstabilan otoritas sipil menjalankan pemerintahan secara efektif. Harold Crouch menyatakan:
“Kalaupun pernah, pihak militer jarang mengambil alih kekuasaan hanya untuk memenuhi ambisinya sendiri. Bahkan ketika pihak militer telah menyesuaikan diri secara politis ambisius, intervensi militer biasanya terjadi setelah kegagalan pemerintahan sipil untuk menjaga stabilitas politik dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang memuaskan. Kegagalan ini mengakibatkan hilangnya legitimasi yang membuat mereka rentan terhadap perubahan yang keras. Jadi kegagalan rezim-rezim sipil tidak hanya memberikan alasan tetapi juga kesempatan bagi suatu intervensi militer. Sebaliknya, pemerintahan sipil yang kuat dan efektif yang berhasil memelihara legitimasinya nampaknya sungguh-sungguh kebal terhadap kemungkinan kudeta militer.”
Walaupun korps militer ambisius dalam bidang politik, eksistensi para politikus sipil yang memikirkan diri sendiri, korup dan tidak punya kemampuan handal dan telah kehilangan kepercayaan masyarakat akan memberikan alasan yang sah bagi militer untuk menjadi semakin terlibat dalam politik, sebagaimana yang terjadi di sebagian besar negara Dunia Ketiga. Dalam situasi demikian, menurut Samuel Huntington, muncullah “praetorianisme”, yakni situasi di mana pengawal menempatkan dirinya pada tempat yang diduduki oleh orang yang mereka kawal.
Pretorianisme mengacu pada situasi dimana tentara tampil sebagai aktor politik utama yang sangat dominan secara langsung menggunakan kekuasaan dan mengancam dengan kekuasaan mereka. Istilah ini diambil dari salah satu contoh campur tangan militer yang pertama dan termasyhur. Pengawai-pengawai pretorian kerajaan Roma telah dibentuk sebagai satu unit tentera khusus yang bertugas melindungi mereka dan juga menggunakan kekuasaannya untuk menumbangkan raja dan menguasai pemilihan umum
source : Pixabay.com
3. Faktor-faktor internasional.
Banyak analis menuduh pihak militer melakukan intervensi atas perintah CIA (Central Intelligence Agency) untuk menggulingkan pemerintahan yang dianggap tidak responsif terhadap tuntutan-tuntutan kebijakan luar negeri Amerika. Intervensi militer dalam politik juga dihubungkan dengan pertumbuhan investasi asing dan integrasi ekonomi Dunia Ketiga dengan ekonomi internasional. Karena pertumbuhan ekonomi yang cepat sering mengakibatkan ketimpangan besar dalam penghasilan—sehingga menimbulkan kemarahan massa terhadap dominasi ekonomi asing dan pada akhirnya juga kemarahan terhadap pemerintahan sipil yang memulai kebijakan ekonomi semacam itu—dalam situasi ini, bisa saja militer terdorong melakukan intervensi.
Mengutip perkataan oleh Salim Haji Said dalam bukunya “Ini Bukan Kudeta” dimana dia bersama para tokoh yang mengamati politik militer seperti Alexis de Tocqueville. Mengungkapkan bahwa persoalan-persoalan dalam militer tidak bisa ditemukan akarnya dalam militer sendiri. Persoalan itu bersumber dalam masyarakat. Tidak jauh berbebeda dengan de Tocqueville, pendapat Samuel P. Huntington, ilmuwan politik terkemuka dari Harvard University. Menurut Huntington, masuknya tentara ke dalam politik pada dasarnya sama saja dengan keterlibatan politik sejumlah kekuatan politik lainnya seperti Mahasiswa, ulama, buruh, petani, maupun gerakan wanita. Hal demikian dimungkinkan, menurut Huntington, oleh rendahnya tingkat institusional (pelembagaan) dalam negara. Itulah yang menyebabkan terbukanya ruang bagi semua kekuatan sosial politk melakukan intervensi ke dalam politik. Militer hanya salah satu di antara kekuatan tersebut.
Amos Perlmutter lebih jelas dan lebih menjelaskan potensi dan keterlibatan militer ke dalam politik. Mengelaborasi pemikiran de Tocqueville dan Hutington, Perlmutter menyebut rendahnya pelembagaan dan kelemahan struktur organisasi negara, ketidakberdayaan kelas menengah, pertentangan di antara kelompok-kelompok masyarakat, semua secara bersama merupakan kondisi yang mempermudah intervensi militer ke dalam politik. keadaan masyarakat yang demikian yag disebut Perlmutter sebagai Praetorian Society. Dalam masyarakat yang praetoria terdapat praetorian militery yang setiap saat selalu siap merebut kekuasaan dari tangan penguasa sipil.
Akhirnya, terlepas dari fakta sejarah yang menjelaskan perihal perebutan kekuasaan. Hal ini bisa dilakukan oleh siapa saja baik oknum sipil maupun militer. Kecenderungan berkuasa setiap pribadi memiliki latar belakang masing-masing individu. Oleh karenanya mengutip A. Hasnan Habib, “Dengan demikian tidak ada kesimpulan yang tegas dan absah bagi semua kasus yang dapat ditarik tentang baik-buruknya atau untung-ruginya suatu rezim militer. Tidak ada jaminan bahwa rezim sipil akan lebih baik atau lebih berhasil daripada rezim militer. Terdapat contoh-contoh rezim militer yang cukup berhasil setelah kegagalan rezim sipil yang digantikannya, tetapi yang sebaliknya pun ada.”
Sumber :
Said, Salim Haji. 2018. Ini Bukan Kudeta : Reformasi Militer Indonesia, Mesir, Thailand, dan Korea Selatan. Bandung: Mizan.
Saipuddin, Aisyah. 2013. “Pasang Surut Hubungan Sipil-Militer dalam Perpolitikan Pakistan”. Jurnal Interdependence. Th. 1, Vol. 1, Januari-April 2013, hal 55-71.