Banyak orang yang telah membangun rumah dan tinggal di atas tanah negara selama bertahun-tahun. Pertanyaannya, apakah kita besi mengalihkan hak milik atas tanah negara tersebut?
Beberapa orang mungkin tidak sadar bahwa rumahnya dibangun di atas tanah negara.
Risikonya, ketika pemerintah membutuhkan tanah tersebut untuk kebutuhan proyek pembangunan, tentu kita harus meninggalkan rumah yang telah kita huni selama bertahun-tahun.
Sebelum hal ini terjadi, beberapa orang yang sadar bahwa mereka tinggal di atas tanah negara berupaya mengalihkan hak kepemilikan atas tanah tersebut.
Melansir berbagai sumber, saya akan mencoba menguraikan sejumlah hal penting untuk mengalihkan kepemilikan hak atas tanah negara.
Hukum Tanah Negara

Secara umum kewenangan atas tanah negara tersebut dipegang oleh pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri.
Dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara (“PP 8/1953”), disebutkan bahwa Menteri Dalam Negeri memiliki sejumlah hak berikut:
1. Menyerahkan penguasaan itu kepada sesuatu Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra untuk keperluan-keperluan mereka dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh Menteri Dalam Negeri.[4]
2. Mengawasi agar supaya Tanah Negara tersebut dipergunakan sesuai dengan peruntukannya dan berhak mencabut penguasaan atas Tanah Negara dengan alasan:
a. Penyerahan penguasaan itu ternyata keliru atau tidak tepat lagi;
b. Luas tanah yang diserahkan penguasaannya itu ternyata sangat melebihi keperluannya;
c. Tanah itu tidak dipelihara atau tidak dipergunakan sebagai mana mestinya.
Lalu, bagaimana masyarakat sipil bisa menggunakan tanah negara?
Nah, ketentuan mengenai hal ini muncul dalam Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya.
Pada prinsipnya, masyarakat berhak menggunakan tanah negara dengan status Hak Pakai atau Hak Pengelolaan.
Menurut pasal 41 UUPA, hak pakai diartikan sebagai hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah.
Kemudian, pada Pasal 4 dan 5 Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965, disebutkan bahwa masyarakat dapat menggunakan tanah negara dengan status hak pakai.
Pasal 4
“Dengan menyimpang seperlunya dari ketentuan-ketentuan tersebut dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953, maka tanah-tanah Negara yang oleh sesuatu Departemen, Direktorat atau daerah Swatantra dimaksudkan untuk dipergunakan sendiri, oleh Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya akan diberikan kepada instansi tersebut dengan ‘hak pakai’ yang dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria,”.
Pasal 5
“Apabila tanah-tanah Negara sebagai dimaksud dalam pasal 4 di atas, selain dipergunakan oleh instansi-instansi itu sendiri, juga dimaksudkan untuk diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka oleh Menteri Agraria tanah-tanah tersebut akan diberikan kepada instansi tersebut dengan ‘hak pengelolaan’,”.
Lalu siapakah yang berhak menggunakan “Hak Pakai” tersebut?
Berdasarkan pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, pihak yang berhak memiliki Hak Pakai, di antaranya adalah:
- Warga Negara Indonesia;
- Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
- Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
- Badan-badan keagamaan dan sosial;
- Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
- Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
- Perwakilan negara asing dan pewakilan badan Internasional.
Dengan peraturan tersebut, masyarakat hanya berhak memakai tanah negara tanpa memilikinya.
Peralihan Hak Pakai menjadi Hak Milik
Meski tanah negara yang kamu tempati hanya bisa digunakan dengan status “Hak Pakai”, kamu masih bisa mengajukan peralihan hak kepemilikan melalui sejumlah ketentuan.
1. Mengajukan Peralihan Hak Kepemilikan Tanah Negara

Berdasarkan Keputusan Menteri Agraria/Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberan Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Tinggal, kamu masih bisa mengalihkan status kepemilikan tanah negara dengan luas di bawah 600 m² menjadi milik kamu.
Kemudian, sebelum meminta pengajuan peralihan hak kepemilikan atas tanah negara, pastikanlah dua hal berikut:
- Properti Hak Pakai belum beralih hak.
- Pengajuan peralihan hak kepemilikan tanah dilakukan sebelum jangka waktu penggunaan berakhir.
Jika kamu melalaikan kedua poin tersebut, kemungkinan besar hak kamu akan jatuh ke tangan orang lain.
Secara garis besar, berikut adalah prosedur yang harus kamu jalani untuk mengalihkan hak kepemilikan atas tanah negara:
- Membuat Surat Permohonan Hak Milik atas Tanah Negara ke kantor Badan Pertanahan Nasional terdekat.
- Lengkapi persyaratan berkas yang diperlukan.
- Menunggu keputusan Kantor BPN, apakah menyetujui pengajuan tersebut atau tidak.
- Jika Kantor BPN menyetujui pengajuan peralihan hak kepemilikan tersebut, kamu diwajibkan membayar biaya dalam jumlah yang ditentukan.
- Setelah administrasi selesai, kamu akan menerima Surat Keputusan Pemberian Hak atas Tanah.
-Daftarkanlah tanah dan bangunan tersebut ke Kantor BPN agar kamu menerima sertifikat.
Dokumen yang harus disiapkan:
- Sertifikat tanah yang dimiliki.
- Fotokopi Izin Mendirikan Bangunan.
- Surat Keterangan dari Kepala Desa atau Lurah yang menjelaskan bahwa tanah dan bangunan yang kamu tempati digunakan sebagai rumah tinggal.
- Untuk kamu yang menggunakan tanah dengan luas di atas 200 m², perlu melampirkan fotokopi SPPT PBB (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan).
- Bukti identitas (KTP).
- Pernyataan permohonan untuk mendapatkan Hak Milik atas tanah dan bangunan yang ditinggali.
- Jika properti dengan status “Hak Pakai” tersebut merupakan warisan, kamu juga perlu surat keterangan waris atau akta waris dan surat kuasa yang diberikan ahli waris kepada pemohon.
2. Tindakan Pemerintah

Poin pertama merupakan upaya yang bisa kita lakukan untuk mendapatkan Hak Milik atas tanah negara yang kita tempati.
Lalu, apakah yang dilakukan pemerintah untuk mengalihkan hak atas tanah negara tersebut?
Jika tanah negara tersebut adalah milik kementerian, kementerian terkait harus mengajukan permohonan usulan pemindatanganan Barang Milik Negara melalui Meneteri Keuangan.
Hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (“PP 27/2014”).
Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa,
“1. Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara adalah Pengelola Barang Milik Negara.
2. Pengelola Barang Milik Negara berwenang dan bertanggung jawab:
a. merumuskan kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman pengelolaan Barang Milik Negara;
b. meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan Barang Milik Negara;
c. menetapkan status penguasaan dan Penggunaan Barang Milik Negara;
d. mengajukan usul Pemindahtanganan Barang Milik Negara berupa tanah dan/atau bangunan yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”),“.
Biaya Peralihan Kepemilikan Tanah Negara
Telah disebutkan pada poin sebelumnya, bahwa kita harus membayar sejumlah uang dalam proses peralihan hak kepemilikan atas tanah negara.
Berikut adalah cara menghitung biaya peralihan hak kepemilikan tanah tersebut.
Biaya = 6% x luas tanah x harga NJOP.
Dengan begitu, biaya peralihan hak kepemilikan tanah yang dikuasai pemerintah akan berbeda-beda setiap daerahnya karena tergantung pada harga NJOP.
***
Itulah cara yang bisa kamu upayakan untuk mengalihkan hak kepemilikan atas tanah negara.
Semoga artikel ini bermanfaat untuk kamu ya!