Eksitensi Agama di Mata Dunia

Memperbincangkan masalah agama, atau lebih tepatnya agama-agama, dengan gerakan sosial merupakan upaya untuk mengurangi peran agama dalam transformasi sosial, menuju masyarakat yang lebih adil, damai, demokratis, dan beradab.

Fenomena keagamaan akhir-akhir ini seakan-akan menegaskan momen kritisnya (critical juncture) dalam menghadapi persoalan kemanusiaan. Bahkan, agama seolah-olah menjadi bagian pemicu persoalan, bukan menyelesaikan berbagai permasalahan.

Salah satu penyebabnya dalam banyak kasus, ajaran agama tampak ambigu antara konsep dengan relitasnya. Jalan keselamatan, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan tidak selaras dengan kenyataan sehari-hari. Agama seakan-akan mengandung unsur kebencian, sumber konflik, peperangan, bahkan pembantaian. Dimana dalam pengalaman keseharian, dapat disaksikan, agama seakan-akan telah kehilangan kekuatan dalam mengusung keadilan sosial bagi kemanusiaan. Realisasi ajaran agama dirasakan belum banyak memainkan peran pembebasannya bagi kemanusiaan dari berbagai permasalahan.

Untuk itu perlu dikembangkan kembali pemahaman keagamaan yang progresif dan pembebasan. Yaitu membangun sistem agama yang sensitif terhadap persoalan kemanusiaan kaum tertindas tanpa diskriminatif.

Diperlukan pembangunan sinergi lintas agama yang mengedepankan toleransi, saling kerja sama yang menguntungkan melalui dialog, baik itu dialog kehidupan, pengalaman iman, atau pun refleksi spiritual. Sehingga kehadiran agama di tengah umat menjadi penyelamat kemanusiaan, yang membebaskan manusia dari ketidakadilan dan ketertindasan.

Kehadiran agama seharusnya mampu membangun persatuan kemanusiaan sejati, yakni tanpa batas menuju kemanusiaan universal. maka diperlukan adanya penegasan batas antara realitas agama dan politik, hal ini dikarenakan habitat keduanya berbeda, yang tidak layak dicampuradukkan.
Diskursus tentang agama selalu sarat dengan muatan emosi, dimana tidak ada dialog atau diskusi yang lebih emosional dibandingkan dengan mendialogkan agama dan isu-isu keagamaan. Hal ini dikarenakan agama mempunyai klaim yang sangat radikal, dan tidak sama seperti klaim nilai lainnya. Salah satu ciri agama yang mendasarkan diri pada klaim keselamatan (discourse of salvation) ini sangat rentan memicu terjadinya benturan antaragama.

Kenyataan akan banyaknya agama, menjadi tantangan teologis dalam kehidupan yang semakin besar. Yakni ia harus mampu berteologis dalam konteks agama yang berbeda. Sebagaimana telah kita ketahui, umat beragama terjebak dalam sangkar permusuhan secara terbuka maupun terselubung, banyak nyawa yang tidak berdosa melayang, konflik berdarah di kawasan Timur Tengah (antar komunitas yahudi dan muslim), pertumpahan darah umat islam di India, dan lain-lain.
Dalam kondisi yang demikian, religiusitas yang semula sebagai energi spiritual yang membebaskan manusia dari kebodohan, tirani, dan ketertindasan, telah berubah menjadi seonggok simbol dan seikat ritual yang tidak memiliki ruh. Karena religiusitas tidak menyentuh problem rill kemanusiaan kaum tertindas, pekerja kasar, dan kaum marginal lainnya.

Dalam agama islam, yahudi, hindu, buddha, protestan, katolik dan apa pun nama agamanya, pasti akan dijumpai perilaku kekafiran. Perilaku ini menjelma dalam bentuk kejahatan sosial, seperti pengacau, pendusta, serta penindas.

Simbol-simbol seperti iman, takwa, shalih, dan amanah, bukanlah monopoli suatu kelompok agama, melainkan suatu kualitas hidup yang bisa dicapai oleh siapa saja, dan dari agama mana saja. Asalkan individu tersebut terpelihara dari kejahatan, tunduk pada aturan universal Tuhan dalam bentuk keadilan. Sebagai hukum kosmos, kejujuran, keselamatan, kesejahteraan, toleransi, serta kedamaian. Pada akhirnya, hanya dengan model keberagamaan yang lapang, tidak fanatik, dan mampu berdialog antar agama, itulah yang akan sanggup membangun jembatan rasa kemanusiaan sejagat dengan kedamaian dan toleransi.

Berangkat dari banyaknya kasus konflik dan pertikaian antaragama, sebenarnya musuh bersama umat beragama bukanlah agama A atau B. Melainkan ketidakadilan yang menjelma dalam bentuk kesenjangan sosial, ekonomi , dan bentuk diskriminasi kemanusiaan lainnya. Tegasnya, musuh agama bukanlah agama yang lainnya. Namun, ketidakadilan yang disebabkan oleh sistem ekonomi yang menindas, dan monopoli, yang menggunakan simbol-simbol agama sebagai merek dagangnya.

Kekerasan dalam agama muncul dalam tiga bentuk. Pertama, kekerasan internal, yakni ketika seseorang atau sekelompok orang yang melakukan autokritik terhadap hal-hal yang stagnan dalam agama. Dalam kondisi yang demikian, mereka akan berhadapan dengan status quo dalam agama. Pada akhirnya, terjadilah kebuntuan komunikasi yang akan memicu kekerasan.

Kedua, kekerasan akan muncul ketika ada ketidakadilan atau penguasa yang zhalim , dalam hal ini agama akan tambil sebagai pembebas. Seperti, teologi pembebasan Amerika Latin dan gerakan antiapartheid di Afrika Selatan. Ketiga, kekerasan berlabel agama yang muncul ketika satu agama merasa terancam oleh pengaruh agama yang lain.

Untuk mengatasi tindakan kekerasan dalam bentuk apapun, bukan terletak pada bagaimana memutus lingkaran kekerasan, karena dengan memutus lingkaran kekerasan akan berpotensi menumbuhkan kekerasan yang baru. Namun, mengatasi persoalan kekerasan adalah dengan merintis perdamaian melalui dialog yang lebih rasional.

Berbicara perdamaian nampaknya sederhana, namun perdamaian tidak mudah diimplementasikan di lapangan. Tidak jarang ketika isu perdamaian diapungkan sebagai wacana publik, maka akan muncul prasangka dan kecurigaan baru yang lebih dipengaruhi oleh unsur politis.

Dalam praktiknya, tidak banyak orang yang berhasil mengembangkan prinsip antikekerasan sebagai kebijakan moral, dalam hidup masyarakat yang sedang dilanda krisis sosial, ekonomi dan politik. Upaya mengembangkan budaya anti kekerasan bisa saja dicap menentang arus, melawan keadaan, pahlawan kesiangan, dan lainnya.

Terjadinya konflik sosial yang berlindung dibalik agama, dan etnis, sama sekali bukan justifikasi dari dokrin agama. Karena semua agama mengajarkan sifat mengasihi, toleransi, dan menghargai sesama. Jika kita perhatikan kondisi sekarang, sepertinya sulit mengharapkan kehadiran agama untuk mewujudkan peran tersebut.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Rina Aditia Dwi Astuti
Rina Aditia Dwi Astuti

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab, Jurnalis kampus, penulis buku, freelance writer, menyukai dunia sastra puisi dan cerpen.

Artikel: 9

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

58 + = 59