Media sosial kini menjadi suatu hal yang primer bagi kebanyakan manusia. hal itu merupakan fenomena yang wajar mengingat manusia sendiri adalah makhluk sosial. Media sosial merajalela di segala sisi kehidupan manusia, dari mulai menjadi wadah komunikasi, wadah berekspresi, hingga wadah untuk bisnis. Saking merajalelanya, media sosial bahkan sampai di titik dimana dapat menjarah pikiran seseorang. Dimana pandangan hidup seseorang dipengaruhi oleh setiap postingan di beranda sosmednya. Tidak menjadi persoalan bilamana setiap orang mempunyai filter (Saring) atas postingan-postingan yang muncul di beranda sosial medianya. Sebaliknya, menjadi persoalan bilamana terdapat sebagian orang yang tidak mempunyai filter atas postingan-postingan tersebut. Sebab tanpa filter, seseorang akan lebih mudah terperangkap dalam militansi buta atas suatu pandangan.
Sebagai contoh, orang akan menelan mentah-mentah sebuah postingan mengenai informasi bahwa hutang Indonesia sangatlah besar, kemudian berkoar-koar “Pemerintah bodoh, pemerintah tidak becus”. Mengapa demikian ? sebab orang tersebut tidak mempunyai filter, sehingga ia tidak sadar bahwa sebenarnya ia digiring oleh provokasi politis untuk kebencian terhadap pemerintah, ia tidak tahu kalau pandangan tersebut diutarakan dengan tendensi emosional bukan tendensi rasional. Berbeda dengan orang yang mempunyai filter, ia akan selalu mengawali sikapnya dengan sebuah pertanyaan “apakah benar pandangan di postingan tersebut ?”. Kemudian ia menggali informasi dari beberapa sumber dan didapatkanlah informasi bahwa hutang Indonesia berkisar di angka 3.000 – 4.000 Triliun, setelah dilakukan pencarian informasi dan dilakukan analisa secara mendalam, ia kemudian menyimpulkan bahwa angka tersebut memang merupakan angka yang besar jika dibandingkan dengan isi dompet, tetapi jika dibandingkan dengan hutang negara-negara lainnya, hutang Indonesia tersebut masih sangatlah kecil atau dalam bahasa keuangan masih Prudent. Alhasil, berdasarkan filterisasi yang ia lakukan tersebut membuatnya tidak terpengaruh sedikitpun oleh postingan tersebut, yang secara otomatis membuatnya tidak ikut terprovokasi dalam militansi buta untuk membenci bahkan menghina pemerintah Indonesia.
Nah, dari contoh diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa betapa pentingnya filterisasi sekaligus betapa berbahayanya bermain sosial media tanpa dibekali kemampuan filterisasi. Setiap orang harus memiliki filter di dalam dirinya supaya dapat menyikapi segala informasi yang masuk kepadanya. Sehingga orang tidak mudah terperangkap dalam militansi buta yang dapat menyebabkan lahirnya kebencian.
Filterisasi informasi atau menyaring informasi dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, langkah yang harus kita lakukan untuk menyaring sebuah informasi ialah dengan mencermati maksud dan tujuan dibalik informasi tersebut. Misalnya seperti contoh diatas, apakah informasi mengenai hutang Indonesia disampaikan hanya sebatas menampilkan data-data faktual hutang Indonesia, ataukah ada penekanan lain selain pemaparan data hutang Indonesia seperti menyatakan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang dianggap bersalah atas besarnya hutang Indonesia. Cermatilah maksud dan tujuan dari informasi tersebut lalu simpulkan hasilnya. Kedua, cek kebenaran data yang dipaparkan dalam informasi tersebut. Kita dapat mencari tahu kebenaran data tersebut dari sumber-sumber lain yang terjamin kebenarannya seperti website resmi pemerintah atau media-media besar yang memiliki kredibilitas tinggi.
Semakin sering kita terbiasa untuk menyaring terlebih dahulu informasi yang masuk kepada kita melalui postingan sosial media ataupun media lainnya, semakin kecil pula kemungkinan kita untuk termakan informasi hoax yang menyesatkan yang akan membuat kita salah dalam menilai sesuatu.