Pandemi COVID-19 telah merubah banyak hal di tahun 2020. Mulai dari kebiasaan masyarakat yang diwajibkan memakai masker hingga sulitnya perekonomian akibat resesi ekonomi, semua telah mengalami perubahan di tahun 2020. Disaat negara lain beranjak melakukan pemulihan, Indonesia masih bergelut dengan wabah yang mengancam nyawa manusia ini. Di tahun 2021 pandemi COVID-19 masih menjadi trending topic di beberapa acara berita televisi nasional. Per tanggal 10 Januari 2021 COVID-19 telah menginfeksi sebanyak 818.386 orang di Indonesia. Kasus ini meningkat sebesar 8,93% dari hari sebelumnya. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk bisa menekan jumlah korban positif COVID-19. Misalnya dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) baik secara ketat maupun longgar. Namun kondisi empiris berkata lain. Jumlah kasus harian terus mengalami peningkatan, terutama di awal tahun 2021 ini. Selain PSBB, pemerintah juga menyiapkan anggaran khusus untuk pemulihan ekonomi melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Total anggaran yang digelontorkan pemerintah tidak tanggung-tanggung. Sejumlah 695,2 triliun rupiah dikeluarkan dari kantong pemerintah untuk program ini. Dari total tersebut sebesar 17,75% atau sekitar 123,46 triliun rupiah digunakan untuk pemulihan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
Pentingnya Pemulihan UMKM di Masa Pandemi COVID-19
Survei International Labour Organization (ILO) terhadap 571 UMKM di Indonesia menunjukkan bahwa sebanyak 380 UMKM berhenti beroperasi di masa pandemi ini. Survei yang dilakukan pada bulan April 2020 ini bertepatan dengan masa awal penerapan PSBB di Indonesia. Jika pada masa awal saja sudah lebih dari 50% yang berhenti beroperasi, bagaimana jika survei dilakukan sekitar bulan september-oktober, mungkin hasilnya lebih memprihatinkan. Hal ini mengingat program bantuan UMKM yang langsung diberikan kepada pelaku UMKM (BPUM) baru bisa cair di bulan desember. Pentingnya pemulihan UMKM tidak lain karena sektor ini merupakan sektor kunci perekonomian Indonesia. Kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berkisar antara 50-60%, terbesar diantara sektor lainnya. Masih minimnya keterkaitan dengan rantai perekonomian global juga menjadikan UMKM patut untuk diperhatikan sebagai sektor yang dapat memimpin pemulihan ekonomi di masa pandemi COVID-19 ini.
Kontribusi yang besar UMKM terhadap PDB Indonesia juga diimbangi dengan penyerapan tenaga kerja yang dihasilkan sektor ini. UMKM menyediakan lapangan kerja bagi 116.978.631 orang di Indonesia. Jika dipersentasekan maka UMKM mampu menyumbang sebesar 97% terhadap total pekerja di Indonesia. Luar biasa memang kontribusi UMKM terhadap perekonomian Indonesia. Bisa dibayangkan jika di masa pandemi ini UMKM mengalami keterpurukan, sehingga harus melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawannya. Perekonomian Indonesia bisa-bisa diambang kehancuran. Ternyata hal ini sudah terjadi. Hasil lain dari survei yang dilakukan ILO terhadap UMKM di Indonesia yang penulis sebutkan di awal, dari total 571 UMKM sebesar 63% atau 360 UMKM telah mem-PHK karyawannya. Sementara laporan yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa pandemi COVID-19 telah menyebabkan sebanyak 2,67 juta orang kehilangan pekerjaan. Data ini belum ditambah lagi dengan laporan yang dikeluarkan oleh KADIN Indonesia yang mencatat jumlah karyawan terkena PHK per Oktober 2020 sebanyak lebih dari 6,4 juta orang. Catatan statistik ini sudah menjadi bukti betapa pentingnya UMKM di masa pandemi COVID-19. Pemerintah harus memberikan perhatian lebih terhadap sektor kunci perekonomian Indonesia yang satu ini. Sehingga dengan dukungan yang diberikan pemerintah, UMKM Indonesia mampu bertahan di tengah pandemi COVID-19.
Beberapa Hal yang Harus Diperhatikan oleh Pemerintah dan Penerima Manfaat Dana PEN UMKM
Penyaluran bantuan kepada UMKM oleh pemerintah dilakukan melalui berbagai program, seperti Bantuan Pelaku Usaha Mikro (BPUM), subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan non-KUR, suntikan dana pemerintah untuk Bank Umum, imbal jasa penjaminan, pinjaman kredit modal kerja, penanggungan PPh final UMKM (DTP), dan pembiayaan investasi kepada koperasi melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi UMKM (LPDB). Semua program ini merupakan implementasi kebijakan stimulus fiskal yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan. Pemerintah memberikan relaksasi dalam penyaluran dana bantuan UMKM. Diantara bentuk relaksasi tersebut adalah pemangkasan proses administrasi yang berbelit dari pihak birokrasi Kemenkeu sendiri, Harapannya dengan pencairan dana yang mudah, PEN untuk UMKM dapat berjalan dengan optimal.
Bagi masyarakat yang telah penerima manfaat program bantuan UMKM, mereka tidak lantas senang begitu saja. Sehingga menggunakan bantuan tersebut untuk keperluan atau konsumsi yang sifatnya tidak bermanfaat untuk pemulihan UMKM di masa pandemi ini. Menurut Windraty Ariane Siallagan selaku Kepala Bidang PPA II kanwil DJPB DKI Jakarta, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat penerima manfaat program bantuan UMKM, agar program yang dijalankan dapat optimal memulihkan UMKM di masa pandemi ini.
Pertama, masyarakat penerima bantuan harus memahami tujuan dari pemberian bantuan tersebut. Untuk itu diperlukan peran pemerintah selaku pemilik program dalam memberikan sosialisasi program kepada masyarakat penerima manfaat. Sosialisasi harus dilakukan secara massif, agar tujuan program benar-benar tersampaikan kepada masyarakat penerima manfaat. Selain mensosialisasikan program, pemerintah juga bisa mensosialisasikan prosedur pencairan dana yang disesuaikan dengan kondisi pandemi saat ini. Hal ini perlu dilakukan mengingat saat ini pemerintah kembali menerapkan kebijakan PSBB ketat di berbagai daerah. Sehingga sangat penting bagi pemerintah untuk membuat prosedur pencairan dana yang sesuai dengan protokol kesehatan. Karena jika melihat pencairan dana pada tahap pertama, kesannya masih kurang standar protokol kesehatan. Sebab terlihat di berbagai daerah masih banyak yang memicu kerumunan di cabang-cabang bank yang ditunjuk sebagai mitra untuk pencairan dana BPUM. Menurut Windarty “Sosialisasi harus dilakukan secara berjenjang dan bersama-sama, mulai dari kementerian teknis terkait, bank penyalur, pemda dan unit terkait lainnya”.
Kedua, pelaksanaan program dilakukan dengan prosedur yang sederhana dan tidak berbelit-belit. Hal ini perlu dilakukan agar program dapat segera memberikan stimulus fiskal yang kondisinya sedang lesu. Memburuknya sektor UMKM selain berdampak terhadap penurunan PDB juga mengurangi jumlah pendapatan pajak yang diterima pemerintah dari sektor ini. Walaupun sebenarnya kontribusinya masih rendah mengingat hanya mampu menyumbang sekitar 2-3 persen dari total penerimaan Pajak Penghasilan (PPh). Namun keberlanjutan UMKM adalah prioritas yang lebih utama daripada kontribusinya terhadap pajak nasional tersebut. Sehingga program stimulus fiskal yang ditujukan untuk UMKM adalah bertujuan untuk menjaga eksistensi sektor ini di tengah hantaman badai COVID-19. Sebab jika hal ini tidak dilakukan akan lebih banyak terjadi PHK masal di sektor UMKM. Menurut Windarty untuk menyederhanakan prosedur “pemerintah melalui Kementerian Keuangan perlu menciptakan koordinasi intensif dengan kementerian/lembaga teknis pengelola belanja PEN”.
Ketiga, bantuan yang sudah tersalurkan perlu dilakukan monitoring. Upaya ini dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan bantuan oleh masyarakat penerima manfaat. Selain itu, kegiatan monitoring juga dapat digunakan untuk evaluasi kebijakan. Diketahui bahwa bantuan UMKM seperti BPUM diberikan secara bertahap. Setiap tahapan tentu ada kelemahan-kelemahan. Adanya evaluasi diperlukan untuk lebih menguatkan bagian-bagian yang lemah. Seperti misalnya prosedur pencairan dana yang sebelumnya terkesan kurang mentaati protokol kesehatan kemudian dirubah agar lebih sesuai protokol kesehatan. Misalnya melalui perantara jasa kurir yang langsung datang kerumah atau juga bisa dibuat secara terjadwal dengan pembatasan maksimal jumlah kunjungan orang yang datang ke Bank di setiap hari kerjanya.
Terakhir adalah pendampingan program. Kegiatan ini juga dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan bantuan dan mengoptimalkan bantuan yang diberikan agar keefektivitasan tujuannya dapat tercapai. Menurut Windarty, “program ini diperlukan karena tidak semua UMKM sebelumnya berurusan secara langsung dengan pemerintah dan tidak terbiasa dengan prosedur anggaran pemerintah yang transparan dan akuntabel”. Hal ini terbukti dengan masih minimnya kontribusi sektor UMKM terhadap Pajak Penghasilan (PPh). Dengan kata lain masih banyak UMKM yang belum tercatat sebagai wajib pajak PPh. Penyebabnya bisa karena skala usaha yang masih kecil atau juga malas berurusan dengan pemerintah karena anggapan kurang efisiennya sistem birokrasi yang ada. Sehingga di masa pandemi ini pendampingan merupakan tantangan yang besar bagi pemerintah untuk bisa mesukseskan program bantuan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) UMKM. Mengingat besarnya anggaran yang dikeluarkan dan peran sentral UMKM terhadap perekonomian, maka kerjasama antara pemerintah dan masyarakat melalui program pendampingan ini sangat diperlukan untuk mensukseskan stimulus fiskal yang diinginkan oleh pemerintah. Keempat hal ini apabila terealisasi, maka harapannya kondisi fiskal Indonesia segera membaik. Sebab jika ingin pulih 100% ini adalah hal yang sulit untuk dicapai.