Optimalisasi Agribisnis di Indonesia Melalui Pemanfaatan Inovasi Technopreneurship dan Penerapan Dynamic Governance

On farm atau yang sering kita kenal dengan kegiatan di sektor pertanian, merupakan aktivitas yang tidak bisa lepas dari masyarakat Indonesia yang sebagian besar berprofesi sebagai petani. Data penduduk usia kerja menurut lapangan pekerjaan utama yang dikeluarkan BPS tahun 2017, menunjukkan ada sebanyak 35,9 juta tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan (BPS, 2017). Jumlah ini mengalahkan sektor industri yang  hanya mampu menyerap sebanyak 17 juta tenaga kerja, selain itu juga mampu mengungguli sektor perdagangan dan jasa kemasyarakatan yang masing-masing menyumbang sebanyak 28,1 juta dan 20,4 juta tenaga kerja (BPS, 2017). Namun, walaupun On farm menjadi sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dan diidentikkan dengan masyarakat desa, ternyata pekerjaan ini masih dianggap kurang mampu memberikan kesejahteraan serta kehidupan yang layak bagi masyarakat desa, terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai petani (Yudiarni,dkk, 2014). Hal ini dipengaruhi oleh beberapa penyebab, diantaranya on farm belum bisa menghasilkan kualitas produk yang tinggi, kurangnya efisiensi distribusi, lamban dalam memenuhi permintaan di pasar, dan harga produknya kurang mampu bersaing di pasar (Soekartawi, 2011). Hal inilah yang kemudian menjadi asal-muasal permasalahan dalam pengembangan agroindustri, yaitu lemahnya keterkaitan antar subsistem yang meliputi distribusi, penyediaan faktor produksi, proses produksi pertanian, pengolahan, dan pemasaran (Soekartawi, 2001).

Permasalahan dalam pengembangan agroindustri selain melibatkan subsistem juga memerlukan dukungan dalam bentuk sarana dan prasarana fisik, seperti contohnya lembaga keuangan yang berlokasi di pedesaan yang merupakan basis on farm (Pinstrup Andersen et al, 2001). Selain itu kualitas sumber daya manusia di pedesaan yang masih rendah, juga dapat menghambat dalam proses pengembangan agroindustri, sehingga diperlukan pelatihan profesionalisme usaha, pendidikan manajemen, pelatihan kemampuan penetrasi pasar, dan peranan lembaga finansial (Seokartawi, 2001).

Peran Technopreneurship dan Konsep Dynamic Governance dalam Mengembangkan Agroindustri

Pengembangan on farm menjadi agroindustri memiliki peluang besar untuk bisa menyediakan lapangan pekerjaan yang up to date terhadap perkembangan zaman, namun tidak mengancam  sektor utamanya yaitu pertanian. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga memiliki peran penting dalam pengembangan agroindustri, seperti contohnya penerapan konsep agroindustri berbasis technopreneurship.

Technopreneurship dibangun atas dua kegiatan, yaitu penelitian dan komersialisasi (Ono Suparno dkk, 2008). Yang dimaksud penelitian dalam technopreneurship adalah penemuan dan penambahan pada ilmu pengetahuan, sedangkan komersialisasi adalah pemindahan hasil penelitian atau teknologi dari laboratorium ke pasar dengan cara yang menguntungkan (Ono Suparno dkk., 2008). Lebih gampangnya, technopreneurship dipahami  sebagai sebuah inkubator bisnis berbasis teknologi yang memiliki wawasan untuk menumbuh-kembangkan jiwa kewirausahaan di kalangan generasi muda, khususya mahasiswa sebagai subyek keilmuan dan agen intelektual bagi masyarakat.

Salah satu contoh penerapan technopreneurship pada sektor agroindustri adalah dibuatnya platform jual beli online atau sering disebut dengan e-commerce. E-commerce merupakan pengembangan dari teknologi berbasis online dalam bentuk website yang memanfaatkan jaringan internet untuk menghubungkan antara penjual dan pembeli dalam suatu market online. Barang yang diperjual-belikan di e-commerce adalah barang jadi hasil pertanian yang sudah diolah, seperti contohnya makanan ringan, pakan hewan ternak, dan bahan makanan pokok sehari-hari (tepung, gula, sagu, dsb). Sehingga hadirnya e-commerce dapat memberi solusi terhadap permasalahan dalam subsistem agroindustri, yaitu pemasaran. Bahkan dengan e-commerce produk-produk hasil agroindustri dapat dipasarkan tanpa batasan wilayah dan memiliki pangsa pasar yang luas bahkan bisa mencakup internasional. Bukan hanya itu saja, e-commerce juga mampu mendorong masyarakat untuk membuka usaha di sektor pertanian dengan cara menawarkan kemudahan dalam pemasaran produk yang murah, efisien, dan kekinian. Dengan demikian, keberadaan e-commerce dapat mengubah pandangan masyarakat terhadap jenis pekerjaan petani yang selama ini dianggap terlalu kuno dan kurang trend, menjadi pekerjaan yang dianggap trend di zaman ini.

Konsep technopreneurship juga bisa diaplikasikan untuk mengatasi permasalahan proses produksi pertanian, seperti meramal cuaca, memantau kondisi geografis, dan kendala modal usaha. Dengan menggunakan technology satelit dan balon udara, serta didukung dengan alat barometer yang berfungsi untuk mengukur tekanan udara, anemometer untuk mengukur kecepatan angin, psychrometer untuk mengukur kelembaban, dan radar yang digunakan untuk menjangkau area yang spesifik dan sempit, petani akan dipermudah dalam memilih kesesuaian jenis tanaman yang akan ditanam dengan kondisi geografis dan juga dapat menentukan memulai masa tanam hingga panen dengan bantuan peramalan cuaca yang dilakukan oleh perusahaan technopreneurship. Sehinggga, adanya bantuan dalam meramal cuaca dan pemantauan kondisi geografis yang dilakukan oleh perusahaan yang memanfaatkan teknologi ini, hasilnya akan dapat memaksimalkan proses awal tanam hingga mencapai panen yang dilakukan oleh petani.

Peran Lembaga Financial Technology Sebagai Penyedia Modal Usaha

Kendala investasi juga dapat diatasi dengan memanfaatkan technology komputer yang dipadukan dengan internet, dengan membuat platform pinjam-meminjam dana antara petani dan investor. Sistem yang dijalankan adalah bersifat online, yang artinya petani dan investor tidak perlu bertatap muka, ketika mereka ingin meminjam dan berinvestasi. Semua proses mulai dari profiling bisnis, pencairan dana ke petani hingga pembagian keuntungan ke investor, yang mengurus adalah pihak ke tiga, yaitu perusahaan financial technology. Mekanisme kerja yang ditawarkan oleh perusahaan fintech adalah mempertemukan antara petani dan investor dengan jenis layanan pinjam-meminjam Peer to Peer Lending (perorangan), dan semua data petani yang mengajukan pembiayaan ke perusahaan fintech, profil dan prospek bisnisnya akan ditampilkan di website, sehingga para investor dapat memilih dan menyeleksi kepada petani siapa dan dengan jenis tanaman apa ia akan menginvestasikan dananya. Dengan demikian, adanya perusahaan fintech akan dapat membantu petani yang kekurangan modal yang ingin mengembangkan bisnis pertanian atau agroindustrinya.

Pengembangkan Sumber Daya Manusia Juga Tidak Kalah Penting

Peran technopreneurship seperti contoh di atas belum bisa menjamin keberhasilan dalam pengembangan agroindustri, pasalnya semua tergantung dengan kualitas sumber daya manusia yang ada di desa. Dibutuhkan pelatihan profesionalisme usaha, pendidikan manajemen, dan pelatihan kemampuan penetrasi pasar untuk bisa mengelola agroindustri yang berkelanjutan. Inilah PR (pekerjaan rumah) yang harus dikerjakan oleh Pemerintah sebagai pihak yang memiliki tugas dan wewenang dalam mengayomi masyarakat. Pemerintah memerlukan sebuah manajemen pemerintahan yang tepat dalam menjalankan birokrasinya, agar tugas dan wewenangnya dapat dimaksimalkan dalam membangun sektor-sektor ekonomi di Indonesia, yang salah satunya adalah agroindustri.

Dynamic governance adalah sebuah konsep manajemen birokrasi yang tepat untuk mendukung pengembangan agroindustri yang berkelanjutan di masyarakat pedesaan. Gagasan yang terkandung dalam konsep dynamic governance berisikan tentang peran pemerintah dalam mengeksekusi kebijakan dan menyediakan layanan publik, yang merupakan bentuk jawaban dalam  menghadapi tantangan perubahan dunia yang semakin dinamis, mengglobal, dan diiringi dengan percepatan perkembangan teknologi yang tiada henti. Kunci utama dari konsep dynamic governance adalah mengedepankan kapabilitas dan kultur. Pemerintah dituntut untuk dapat menghadapi ketidakpastian dunia, sebagai akibat dari perkembangan variabel-variabel yang begitu cepat dan kompleks, dengan kemampuan dan kecakapan serta pemelihaaraan dalam menghadapinya.

Perlunya peran Pemerintah dalam proses pengembangan agroindustri, tidak lain karena institusi Pemerintah berpengaruh terhadap persaingan ekonomi dan pembangunan sosial pada sebuah negara (Boon Siong Neo &Geraldine Chen, 2007). Persaingan ekonomi dan pembangunan sosial ditentukan oleh interaksi antara Pemerintah dan rakyatnya dalam memfasilitasi atau menghambat proses pembangunan. Akan terjadi hambatan, apabila Pemerintah menjalankan fungsi monopoli pasar untuk memproduksi barang dan jasa, dan berjalan dengan lancar apabila Pemerintah menjalin kerjasama dengan rakyat dengan cara melibatkan nilai-nilai kultur di masyarakat.

Neo dan Chen (2007) mengkonseptualisasikan dynamic governance ke dalam tiga kemampuan yang harus dimiliki Pemerintah. Pertama, think ahead, yaitu kemampuan menganalisa kondisi di masa depan yang penuh dengan tidak kepastian dari lingkungan eksternal dengan melihat peluang-peluang baru dan potensi ancaman yang ada. Kedua, think again, yaitu kemampuan mengevaluasi dan mengidentifikasi perubahan kebijakan yang telah ditetapkan agar memperoleh hasil dan kualitas yang lebih baik, sehingga intitusi dapat mengemukakan permasalahan dan isu yang dihadapi, dan melihat bagaimana cara untuk meningkatkan performa institusi tersebut. Ketiga, think across, yaitu kemampuan melintasi batas-batas tradisional untuk berpikir diluar batas,  juga untuk belajar dari orang lain apabila terdapat ide-ide bagus yang dapat diadopsi dan diadaptasi sebagai inovasi baru dalam pembuatan kebijakan.

Singapura adalah salah satu contoh negara yang telah berhasil dalam menerapkan konsep dynamic governance ke dalam birokrasinya. Salah satu nilai utama yang dijunjung negara tersebut dalam menciptakan pemerintahan berbasis dynamic governance adalah nilai meritokrasi, yaitu sistem yang mendukung terhadap pembangunan sumber daya manusia di sebuah negara yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam. Kemampuan orang-orang dalam bekerja sangat ditekankan dalam proses pembangunan ekonomi di Singapura, di sana sangat mengapresiasi terhadap kemampuan dan prestasi yang telah dicapai oleh seseorang dalam dunia kerjanya, sehingga budaya semangat belajar dan berlatih sudah melekat dikalangan masyarakatnya. Semangat belajar dan berlatih yang tinggi di Negara Singapura, tidak lain adalah karena Pemerintah sangat menekankan terhadap pembangunan sumber daya manusianya, sehingga budaya ini sangat dengan mudah diterima oleh rakyatnya.

Memberikan pelatihan profesionalisme usaha, pendidikan manajemen, dan pelatihan kemampuan penetrasi pasar juga merupakan beberapa bentuk dari penerpan konsep dynamic governance yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Dengan memberikan pelatihan dan pendidikan, artinya Pemerintah sudah menerapkan tiga kemampuan yang terkandung dalam konsep dynamic governance menurut Neo dan Chen. Sehingga terjadi hubungan yang terjalin antara masyarakat petani di desa dengan Pemerintah, melalui kapabilitas pemerintah dan institusionalisasi kebudayaan di masyarakat dalam memberikan jawaban terhadap perubahan dunia yang penuh ketidakpastian, terutama bagi masyarakat petani di desa yang merupakan basis utamanya agroindustri.

Dengan demikian proses pemecahan masalah dalam pembangunan agroindustri di Indonesia, dapat dimulai dengan langkah pengintegrasian antara petani, perusahaan technopreneurship, dan Pemerintah. Kehadiran inovasi perusahaan technopreneurship dengan memanfaatkan teknologi dapat mengatasi permasalahan utama on farm dan agroindustri, seperti e-commerce untuk membantu dalam pemasaran produk pertanian dan produk olahan pertanian, kemudian penggunaan satelit, barometer, anemometer, dan psycrometer dapat membantu dalam proses tanam dan pemilihan lahan, sedangkan perusahaan fintech dapat membantu petani dan pelaku agroindustri dalam menyediakan modal usaha bagi mereka.

Pemerintah juga memiliki peran dalam membangun kualitas sumber daya manusia yang bekerja di sektor pertanian dan agroindustri. Dengan menerapkan konsep dynamic governance pada birokrasinya, Pemerintah memiliki peluang untuk bisa memberikan pelayanan publik yang baik kepada para petani. Kapabilitas Pemerintah dalam think ahead , think again, dan think across serta menekankan pada nilai meritokrasi seperti yang dilakukan oleh Pemeirntah Singapura, menjadi nilai tambah tersendiri ketika bisa diaplikasikan dalam proses pembangunan sumber daya manusia di Indonesia, khususnya bagi mereka masyarakat petani di desa. Program seperti memberikan pelatihan profesionalisme bertani dan bisnis, kemudian pendidikan manajemen, dan pelatihan kemampuan penetrasi pasar kepada para petani, merupakan langkah yang dapat diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam membangun sumber daya manusia di sektor agroindustri. Dengan demikian, sektor agroindustri memiliki peluang untuk bisa menjadi leading sector Indonesia dalam menghadapi era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN).

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Rafiqafif

Mahasiswa Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta

Artikel: 8

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *