PERSPEKTIF INDONESIA MENGENAI HAK ASASI ANAK

Hak-hak asasi manusia merupakan hak yang secara hakiki dimiliki oleh manusia, karena martabatnya sebagai manusia yang dimilikinya sejak lahir. Dengan begitu hak-hak asasi manusia juga dimiliki oleh anak. Berdasarkan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM), khususnya dalam Pasal 25 ayat (2), disebutkan antara lain bahwa ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan khusus. Selain itu, juga disebutkan bahwa semua anak, baik yang dilahirkan di dalam dan di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsep hak-hak asasi anak tidak berdiri sendiri, tetapi dikaitkan dengan hak-hak asasi ibu. Konsep ini berlaku pula bagi pengaturan perlindungan hak anak dalam Konvensi Jenewa 1949 yang sering dijadikan satu dengan perlindungan baik dengan perempuan pada umumnya maupun ibu hamil dan baru melahirkan.

Sementara itu, Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) yang untuk selanjutnya disingkat dengan KHA sudah diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1990 dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Sebagai anggota masyarakat dunia, Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari segala ketentuan yang berlaku dalam masyarakat internasional berdasarkan Hukum internasional. Banyak perjanjian/persetujuan/konvensi internasional yang mengatur perilaku negara dan individu, khususnya yang menyangkut hukum hak-hak asasi manusia dan hukum humaniter. Sebagai contoh, dalam suasana perang misalnya anak dan perempuan pada umumnya digolongkan sebagai penduduk sipil atau non-combatant yang tidak boleh dijadikan sasaran perang. Hal ini banyak diatur dalam Konvensi Jenewa (KJ). Sebelum KJ disetujui, masyarakat internasional melalui Majelis Umum Bangsa-bangsa (MU PBB) telah menyepakati DUHAM. Selanjutnya, United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) telah mensponsori disusunnya Konvensi Anti Diskriminasi dalam Pendidikan 1960. Disusul kemudian oleh ILO yang telah menghasilkan Konvensi ILO Nomor 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja.

Kemudian MU PBB berhasil menyusun Konvensi tentang Hak-Hak Anak 1989. Sepuluh tahun kemudian ILO mensponsori dibentuknya Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Sementara itu, Indonesia mempunyai undang-undang terkait yang mengatur hak anak, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sementara itu, Indonesia mempunyai undang-undang terkait yang mengatur hak anak, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Sementara itu, Indonesia mempunyai undang-undang terkait yang mengatur hak anak, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu kewarganegaraan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Pembahasan hak-hak asasi anak tergantung dari sisi mana pengkaji melihatnya. Karya tulis ini mendiskusikan perspektif Indonesia mengenai hak-hak asasi anak Indonesia dengan cara menggali nilai-nilai hak-hak asasi anak sebagaimana tertuang baik dalam Undang-Undang maupun Konvensi-konvensi Internasional yang telah disebutkan di atas. Walaupun undang-undang dimaksud sering tidak mengatur hak-hak asasi anak secara eksplisit, namun norma-norma yang dirumuskan didalamnya mengandung pengakuan atas hak-hak asasi anak.

Menurut Pasal 14 KJ IV Tahun 19492, anak berhak mendapat perlindungan dari akibat-akibat perang. Selanjutnya Pasal 17 mengatur bahwa pihak yang bertikai diminta untuk membuat persetujuan-persetujuan yang memungkinkan pemindahan orang-orang tertentu termasuk anak-anak dari daerah diserang atau terkepung. Melalui Pasal 23 Konvensi Jenewa para peserta Konvensi diwajibkan untuk mengizinkan lalu lintas yang bebas bagi semua kiriman berapa bahan makanan esensial, pakaian, dan obat-obat penguat badan yang diperuntukkan bagi anak-anak di bawah lima belas tahun, wanita hamil, dan wanita yang baru melahirkan. Berikutnya berdasarkan Pasal 24 para pihak dalam pertikaian harus mengambil tindakan-tindakan menjamin bahwa anak-anak di bawah lima belas tahun, yatim piatu atau yang terpisah dari keluarganya sebagai akibat perang, tidak dibiarkan pada pelaksanaan ibadah, dan pendidikan mereka selalu akan mendapat bantuan.

Pendidikan mereka sejauh mungkin harus dipercayakan kepada orang-orang dari tradisi kebudayaan serupa. Pihak-pihak dalam pertikaian harus membantu usaha penerimaan anak-anak demikian di negeri netral selama berlangsungnya pertikaian. Kemudian untuk perlindungan anak di daerah pendudukan diatur dalam Pasal 50. Dapat dikatakan bahwa kekuasaan pendudukan, dengan bantuan penguasa-penguasa nasional dan lokal, harus membantu kelancaran bekerja semua lembaga yang bertujuan melakukan perawatan dan pendidikan anak-anak. Kekuasaan pendudukan harus mengambil segala tindakan yang perlu untuk memudahkan identifikasi anak-anak dan pendaftaran dari asal usul mereka.

Kekuasaan pendudukan bagaimanapun juga, tidak boleh mengubah kedudukan pribadi mereka, atau kesatuan-kesatuan atau organisasi-organsasi kekuasaannya. Apabila lembaga-lembaga setempat tidak mencukupi untuk tujuan itu, maka Negara Pendudukan harus mengatur pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yatim piatu atau anak-anak yang terpisah dari ibu bapaknya sebagai akibat peperangan, dan dan yang tidak dapat dipelihara baik oleh korabat atau kawan. Pemeliharan dan pendidikan ini jika mungkin dilakukan oleh orang-orang yang sama kebangsaan, agamanya. Kekuasaan pendudukan tidak boleh menghalang-halangi diadakannya tindakan-tindakan istimewa mengenai makanan, pengobatan, dan perlindungan terhadap akibat-akibat perang yang mungkin telah diadakan sebelum pendudukan dan yang telah diadakan untuk manfaat anak-anak di bawah lima belas tahun, wanita hamil, dan ibu-ibu dari anak-anak di bawah tujuh tahun. Selanjutnya, dalam Pasal 51 antara lain disebutkan bahwa kekuasaan pendudukan tidak boleh memaksa orang-orang yang dilindungi untuk bekerja, kecuali mereka itu sudah berumur delapan belas tahun. Dengan kata lain, penguasa pendudukan tidak memperkerjakan anak-anak di bawah usia delapan belas tahun.

Salah satu pihak yang telah menaruh kepedulian terhadap perlindungan pekerja anak adalah International Labour Organization (ILO). ILO juga telah menghasilkan konvensi yang mengatur perlindungan pekerja anak. Berkaitan dengan perihal diperbolehkannya memperkerjakan anak atau tidak berikut ini dibahas Konvensi ILO yang relevan. Pertama, Konvensi ILO Nomor 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja. Kedua, Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Berdasarkan Konvensi ILO Nomor 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja, negara-negara didorong untuk menetapkan kebijakan nasional untuk menghapus praktek memperkerjakan anak dan meningkatkan usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Konvensi tersebut, ketika Indonesia meratifikasi Konvensi tersebut, Indonesia melampirkan deklarasi yang menyatakan bahwa usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 Tahun 1973 tersebut dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999. Berdasarkan Pasal 2 Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, yang dimaksud dengan anak ialah semua orang yang berusia di bawah 18 tahun. Selanjutnya dalam Pasal 3 diklasifikasikan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Pertama, segala bentuk perbudakan atau praktek praktek sejenis perbudakan, seperti kerja ijon (debt bondage) dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak-anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata.

Kedua, pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno. Ketiga, pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan. Keempat, pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dapat membahayakan kesehatan atau moral anak-anak. Selanjutnya dalam Pasal 6 disebutkan bahwa setiap anggota ILO wajib merancang dan melaksanakan program aksi untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak sebagai prioritas (Pasal 6 ayat (1)). Program-program aksi tersebut wajib dirancang dan dilaksanakan melalui konsultasi dengan lembaga pemerintah dan organisasi pengusaha dan pekerja terkait, dengan memperhatikan pandangan kelompok-kelompok terkait sebagaimana perlunya (Pasal 6 ayat (2)).

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

syafika razi
syafika razi

Saya syafika, saya seorang pekerja keras dan bertanggung jawab

Artikel: 14

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 63 = 66