Pada era ini, manusia memiliki kecamuk pikirannya masing-masing yang berdampak pada kisah kebatinan dalam hidup, yang semua akan menjadi ilmu. Penghidupan di dunia dan kemajuan dunia dapat diumpamakan sebagai air mengalir. Tidak pernah kita turun mandi dua kali ke dalam air yang itu juga. Air yang kita masuki kedua kalinya sudah lain dari pada air yang pertama kali. Rupanya saja air itu air tadi, tetapi sebenarnya sudah berganti. Air yang lain sekarang meliputi tepi sungai itu. Demikian juga tak ada barang yang tetap seperti keadaannya bermula. Tiap-tiap barang tersedia akan berubah jadi keadaan sebaliknya.
Filsafat adalah metode yang mengatur bagaimana kita bijak dalam menggunakan sebuah ilmu. Menurut Henderson dalam Sadulloh, filsafat diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang sangat mendalam sampai ke akar-akarnya mengenai segala sesuatu yang ada. Garapan dalam kefilsafatan keilmuan, dibagi ke dalam beberapa komponen bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi. (1) Ontologi diartikan tentang bagaimana mencari hakikat kebenaran dan kenyataan dalam keilmuan mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari. Hakim dan Saebani menyebutkan bahwa ontologi adalah teori hakikat yang mempertanyakan setiap eksistensi yang dimana berperan sebagai basis pondasi bangunan dasar bagi keilmuan. (2) Epistemologi berfungsi bagaimana kebenaran itu diartikan dalam mencapai pengetahuan (ilmiah). Maka epistimologi berfungsi mengatur perbedaan pengartikulasian keilmuan ke dalam ruang-ruang keilmuan normatif. Normatif berarti menentukan norma atau tolak ukur, dan dalam hal ini tolak ukur kenalaran bagi kebenaran pengetahuan.yang nantinya akan dijadikan landasan berfikir. Sehingga penentuan ruang yang kita pilih akan menjadi akal, akal budi, pengalaman, atau komunikasi antara akal dan pengalaman, intuisi. (3) Akslologi berperan sebagai sistem yang mengatur pelaksanaan keilmuan ke dalam bentuk nilal-nilal (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan kehidupan pencarian keilmuan. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu yang wajib dipatuhi, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.
Alur hidup dalam pencarian keilmuan memang susah ditebak. Tapi, di dalam hidup, mukjizat terbesar yang bisa dirasakan manusia adalah kemungkinan-kemungkinan, terutama ketika salah satunya menjelma menjadi kebenaran dan kenyataan. Perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu. Fungsi dan manfaat yang diperoleh dari ilmu pengetahuan merupakan tujuan akhir dari semua pengetahuan, 5 kemudian menyangkut etik, etika dan estetika, bahkan sampai pada dimensi kebudayaan. Untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan. Saat ini manusia selalu berfikir instan dan hanya mau melihat hasil tanpa mau melihat bagaimana sebuah proses terjadi. Sehingga benturan pertama bagi sebuah paradigma untuk berjalan adalah dampak jangka-pendeknya. Atau dengan kata lain, problem survival yang akhirnya menuntut untuk meninggalkan pikiran-pikiran panjang. Paradigma pemikiran tentang pencarian keilmuan harus harus mampu berkayuh di antara gelombang panjang dan gelombang pendek, agar gelombang panjang yang akan kita lalui tetap terkejar dan gelombang pendek yang kita tempuh tidak cukup kuat untuk menghancurkan biduk kita yang rapuh.
Keilmuan mempelajari ilmu administrasi dalam penerapanya dilakukan dengan pendekatan yang harus diutamakan. Menurut Achmad ada dua pendekatan utama yakni pendekatan ilmu (scientific approach) dan pendekatan manusiawi (human approach). Untuk mencapai kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan modern harus mengutamakan pembinaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula dalam adminitrasi perlu pembinaan dan pengembangan, antara lain dengan menerapkan filsafat administrasi yang sesuai dengan faktor-faktor lingkungan, bangsa dan Negara. Maka sudah seharusnya paradigma keilmuan yang dibentuk harus menempati posisi yang sangat penting dalam pemandu-gerak keilmuan administrasi.
Meskipun selalu diawali dengan pembacaan realitas masalah yang demikian kompleks. Maka pembacaan realitas masalah dengan paradigma keilmuan administrasi harus mampu mencerminkan masalah sebenarnya yang tengah dihadapi. Tanpa diawali dengan pembacaan semacam ini, perdebatan paradigma pasti akan terjebak ke dalam impian dan nostalgia akan kebenaran yang sia-sia. Menurut Siagian, ilmu adminitrasi tergolong ke dalam ilmu-ilmu sosial dan malahan dapat dikatakan merupakan salah satu cabang terbaru dari ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu sosial mempunyai prinsip-prinsip, rumus-rumus dan dalil-dalil yang bersifat universal. Akan tetapi, di dalam penerapannya berlaku hukum adaptasi sebagai penerapan prinsip-prinsip, rumus-rumus dan dalil-dalil yang harus disesuaikan dengan situasi, kondisi, tempat, waktu, dan manusia itu sendiri agar mampu memberikan hasil yang diharapkan. Dalam ilmu-ilmu sosial satu-satunya kepastian adalah ketidakpastian. Memperhitungkan situasi, kondisi, tempat, waktu, dan manusia dalam ilmu administrasi disebut memperhitungkan faktor ekologis (lingkungan) yang akan disoroti.
Menurut Thoha, administrasi publik sangat perhatian terhadap terwujudnya tata kepemerintahan yang baik dan amanah. Tata kepemerintahan yang baik (Good Government) itu diwujudkan dengan lahirnya tatanan kepemerintahan yang demokratis dan diselenggarakan secara baik, bersih, transparan dan berwibawa. Tata kepemerintahan yang demokratis menekankan bahwa lokus dan fokus kekuasaan itu tidak hanya berada di pemerintahan saja, melainkan beralih terpusat pada tangan rakyat. Penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik terletak seberapa jauh konstelasi antara tiga komponen rakyat, pemerintah dan pengusaha berjalan secara kohesif, selaras, kongruen dan sebanding. Berubahnya sistem kesinambungan antara tiga komponen tersebut melahirkan segala macam penyimpangan termasuk korupsi, kolusi dan nepotisme berikut tidak ditegakannya hukum secara konsekuen. Administrasi publik juga dapat dilihat sebagai suatu okupasi, yakni pekerjaan apapun yang dilakukan birokrat; sebagai fisikawan, arsitek, dokter dan sebagainya. Mereka seringkali melihat diri mereka berdasarkan profesi tertentu. Meskipun mereka tidak melihat dirinya sebagai administrator dalam pandangan menjadi seornag manajer, akan tetapi mereka tetap memberikan pelayanan kepada publik.
Secara basis ontologi bahwa pengembangan keilmuan administrasi publik dalam konteks filsafat ilmu administrasi, adalah hakikat apa yang dikaji dari aspek bagaimana proses administrasi publik dikelola secara baik untuk mengatur, melayani dan melindungi kepentingan publik. Maka disini birokrasi pemerintah dan juga organisasi-organisasi non-pemerintah yang berperan terlibat dalam menjalankan fungsi pemerintahan, baik dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik maupun pembangunan ekonomi, sosial maupun bidang-bidang pembangunan yang lain secara kolektif. Menurut Suryadi, secara substansial wilayah kajian pekerjaan manajer memiliki variasi kepentingan dari pemerintahan dan masalah-masalah publik, mulai dari pertahanan dan keamanan sampai pada kesejahteraan sosial dan kualitas lingkungan, dari desain dan konstruksi jalan dan jembatan sampai eksplorasi ruang angkasa dan dari masalah pajak dan administrasi keuangan sampai manajeman sumber daya manusia. Administrasi publik menginginkan bagaimana memfokuskan pelayanan yang lebih baik kepada semua manusia warga Negara dengan kreativitas barunya. Kita harus memikirkan jalan terbaik untuk bekerja disemua tingkatan pemerintahan. Kita menghendaki dan mengembangkan kemitraan dengan institusi yang nirlaba dan organisasi-organisasi non-pemerintah (lembaga swadaya masyarakat). Kita harus mulai dengan pola pendekatan Millennium memiliki tingkat kehirauan dari sejumlah pertanggungjawaban dan yang diminta ditunjukan kepada kita sebagai petugas administrasi publik.
Pola pikir manusia seharusnya dibentuk dalam dua pola pikir. Pertama, bagaimana manusia masuk dalam proses penyelengaraan pelayanan publik, membantu membangun proses tersebut secara sistemik sampai kepada hasil yang maksimal. Kedua, manusia masuk ke dalam masyarakat, membantu menyadarkan terkait bagaimana pelayan publik sebetulnya sudah memberikan pelayanan yang terbaik. Sehingga tidak ada lagi saling benturan antara pelaksana penyelengaraan pelayan publik dengan penerima dari penyelengaraan tersebut. Ibrahim mengungkapkan, nampaknya perkembangan ilmu administrasi publik bertumpu pada kajian-kajian yang bersifat interdisipliner, yang lebih bermuara kepada studi-studi kasus dalam pencarian kebenaran yang didasarkan pada pengalaman atau upaya penerapannya, sesuai kondisi suatu Negara, bahkan Wilayah, akibat perkembangan prinsip Otonomi/Desentralisasi yang melanda seluruh bagian Dunia baik Negara-Negara maju maupun berkembang.