Mengenal perbedaan bentuk negara Archipelagic State dan Coastal State dalam Kasus Sengketa Internasional Blok Ambalat (Indonesia – Malaysia)

Hukum Laut Internasional merupakan salah satu cabang Hukum Internasional yang tertua. Pada zaman Romawi walaupun belum ada kodifikasi internasional, laut telah diatur melalui prinsip-prinsip internasional seperti Res Communis dan Res Nullius. Selain itu ada pendapat-pendapat dari Ahli Hukum Internasional yaitu Hugo Grotius (Belanda) yang mengemukakan Mare Liberum dan Selden (Inggris) yang mengemukakan Mare Clausum. Yang terakhir dalam menentukan batas laut teritorial suatu negara terdapat beberapa ahli yang mengemukakan pendapatnya seperti Anzuni yang mengemukakan batas laut yaitu 3 mil dan Von Marten dalam pendapatnya bahwa 1 League merupakan 3 mil. Hingga pada tahun 1982 kodifikasi Hukum Laut Internasional telah dibuat, ditandatangani dan dinamakan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982). Walaupun telah ada kodifikasi UNCLOS 1982, prinsip dan pendapat ahli-ahli hukum internasional masih diberlakukan dan dapat dipakai sebagai sumber hukum internasional dalam menyelesaikan suatu sengketa sesuai dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional. Prinsip dan pendapat ahli-ahli hukum tersebut juga merupakan suatu landasan terbentuknya UNCLOS 1982. Hemat kata penulis, UNCLOS 1982 menjadi dasar hukum internasional yang mengatur hak dan kewajiban suatu negara untuk menentukan bentuk negara secara geografis, batas-batas atau zona laut, aktivitas-aktivitas di laut yang diperbolehkan, larangan serta penyelesaian sengketa jika terjadi perselisihan antar negara.

Kita telah mengenal sedikit mengenai dasar hukum laut internasional, sekarang penulis akan menjelaskan mengenai bentuk negara secara geografis yang diakui menurut UNCLOS 1982. Hanya ada 2 bentuk negara yang diakui oleh UNCLOS 1982 yaitu Coastal State (Negara Pantai) dan Archipelagic State (Negara Kepulauan).

Bentuk Archipelagic State merupakan bentuk negara yang tergolong masih baru namun telah diakui secara internasional. Salah satu inisiator agar Archipelagic State diakui dalam UNCLOS 1982 yaitu Mantan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Prof. Mochtar Kusumaatmadja melalui dasar Deklarasi Djuanda 1957. Prof. Mochtar mengemukakan berdasarkan deklarasi tersebut bentuk Negara Indonesia merupakan negara yang terdiri dari gugusan pulau-pulau sehingga penentuan batas laut territorial Indonesia yaitu 12 mil dan pengukuran tidak dapat memakai garis pangkal normal (normal straight baseline) melainkan memakai garis pangkal kepulauan (Archipelagic Straight Baseline). Peraturan khusus mengenai penentuan bentuk Archipelagic State terdapat di dalam Pasal 46–54 UNCLOS 1982.

Definisi Archipelagic State terdapat dalam Pasal 46 dikatakan:

For the purposes of this Convention:
(a) “archipelagic State” means a State constituted wholly by one or more archipelagos and may include other islands;
(b) “archipelago” means a group of islands, including parts of islands, interconnecting waters and other natural features which are so closely interrelated that such islands, waters and other natural features form an intrinsic geographical, economic and political entity, or which historically have been regarded as such.

Sementara Coastal State merupakan bentuk negara yang telah lama diakui oleh negara-negara lainnya jauh sebelum adanya Archipelagic State dan kodifikasi UNCLOS 1982. Definisi Coastal State tidak dijelaskan secara tertulis dalam UNCLOS 1982. Namun secara implisit Pasal 46 dan Pasal 47 mempunyai poin-poin penting yang dapat membedakan antara Archipelagic State dan Coastal State:

1. Archipelagic State merupakan suatu negara yang terdiri dari satu atau beberapa kepulauan termasuk pulau-pulau yang ada di dalamnya. Sedangkan Kepulauan yang dimaksud merupakan suatu gugusan pulau, termasuk “bagian pulau” (parts of islands), perairan dan wujud alamiah merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi, dan politik atau secara histori dianggap demikian. “Bagian pulau” yang dimaksud yaitu pulau yang tidak hanya dimiliki oleh satu negara saja seperti contoh Pulau Kalimantan (Borneo Island) yang dimiliki oleh Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Pulau Papua yang dimiliki oleh Indonesia dan Papua New Guinea serta Pulau Timor yang dimiliki Indonesia dan Timor Leste.

2. Archipelagic State berada di tengah-tengah laut. Jadi jika negara dengan daerah utamanya menyatu dengan benua tidak dapat disebut Negara Kepulauan walaupun negara tersebut mempunyai beberapa pulau. Contoh Amerika Serikat yang mempunyai beberapa pulau seperti Pulau Hawai, tidak dapat dikatakan negara Kepulauan karena negara utamanya berada di benua Amerika Utara dan menyatu atau berbatasan dengan negara lain yaitu Kanada dan Mexico. Portugal dengan Pulau Madeira tidak dapat dikatakan berbentuk Negara Kepulauan karena negara utama Portugal berada di benua Eropa dan berbatasan dengan negara Spanyol.

3. Oleh karena bentuk Archipelagic State berada di tengah-tengah laut, maka penentuan perbandingan rasio daratan dan lautan menggunakan garis pangkal kepulauan (Archipelagic Straight Baseline) dimana menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar termasuk di dalamnya yaitu pulau-pulau utamanya. Garis pangkal kepulauan ini yang akan menentukan batas-batas atau zona-zona laut seperti Territorial Waters, Contiguous Zone, Economic Exclusive Zone (EEZ), serta Continental Shelf (Ps 48). Hasil perbandingan rasio antara daratan dan lautan harus memiliki nilai minimal 1:1 hingga 1:9 (Pasal 47 (1)). Jadi jika rasio daratan suatu negara lebih besar dibandingkan dengan luas perairan yang dikuasai, maka negara tersebut akan dianggap sebagai negara pantai biasa.

Sebelum kasus sengketa Blok Ambalat dimulai, sebenarnya Indonesia telah lama mengakui bahwa blok tersebut dibawah kedaulatannya baik secara aspek geografi, ekonomi, serta politik. Ketiga aspek tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan Indonesia sebagai Archipelagic State sesuai Pasal 46. Sebagai bukti yaitu pada tahun 1961, Indonesia memberikan konsensi eksplorasi minyak dan gas bumi (migas) di Blok Ambalat kepada Perusahaan ENI (Italia) serta dilakukan penandatanganan pada tahun 1968. Pada waktu yang bersamaan, Indonesia juga menghadapi sengketa internasional Pulau Sipadan dan Ligitan. Malaysia tidak melakukan protes terhadap Indonesia atas Blok Ambalat. Sebaliknya Malaysia melakukan protes secara giat terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan. Menurut penulis pemberian konsensi tersebut merupakan langkah yang tepat dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia. Pemberian konsensi migas merupakan upaya Pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan sumber daya alam dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia sehingga mempunyai nilai ekonomi.

Kasus Blok Ambalat dimulai pada saat Malaysia mengeluarkan Peta Nasional (Peta Pentas Benua) tahun 1979 dimana mencantumkan bahwa Ambalat di bawah kedaulatan Malaysia dengan menamakan Blok Y (ND6) dan Blok Z (ND7). Oleh karena belum ada kodifikasi UNCLOS 1982, Malaysia menyatakan bahwa penarikan garis pangkal sesuai dengan Geneva Convention 1958 dan titik pangkal hanya diketahui oleh pihak Malaysia. Pendapat penulis, jika titik pangkal hanya diketahui oleh satu pihak, hal ini akan merugikan negara-negara tetangganya seperti Indonesia karena tidak ada publikasi yang jelas bagaimana Malaysia menentukan titik teritorialnya serta cara penarikan garis pangkal. Dampak signifikan yaitu adanya tumpang tindih dalam penentuan zona-zona laut antara Malaysia dan Indonesia. Aktivitas-aktivitas seperti eksplorasi migas atau perikanan Indonesia akan sangat terganggu. Oleh karena itu Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri RI memberikan nota diplomatik protes kepada Malaysia sebagai bentuk nyata upaya pemerintah dalam melawan klaim sepihak tersebut. Selain Indonesia, ada beberapa negara yang memprotes peta tersebut yaitu Filipina, Brunei Darussalam, serta Singapura. Dari sisi politik internasional protes suatu negara merupakan langkah lazim dalam mempertahankan kedaulatan suat negara. Jika tidak ada protes sama sekali, maka Indonesia serta negara-negara lain akan dianggap mengakui kedaulatan Malaysia atas wilayah tersebut.

Penulis akan menghubungkan sedikit kasus Blok Ambalat dengan kasus Sipadan dan Ligitan. Kasus tersebut merupakan kasus sengketa pulau. Dalam kasus Sipadan dan Ligitan, Mahkamah Internasional pada tahun 2002 memberikan kemenangan kepada Malaysia atas penguasaan kedua pulau tersebut dengan salah satu dasar yaitu Effective Occupation. Dasar ini digunakan oleh Malaysia untuk mengklaim Blok Ambalat melalui penggunaan garis pangkal kepulauan Sipadan dan Ligitan dan memberikan konsensi eksplorasi migas Blok Ambalat kepada Shell pada tahun 2005. Padahal Malaysia secara geografis tidak termasuk dalam Archipelagic State melainkan hanya negara pantai biasa. Klaim Malaysia bertentangan dengan definisi Pasal 46 karena Mainland Malaysia berada di Benua Asia dan berbatasan langsung dengan Negara Thailand (Peninsular Malaysia). Berbeda dengan Negara Indonesia yang terdiri dari gugusan pulau-pulau dimana daratan negara Indonesia tidak menyatu atau berbatasan langsung dengan benua Asia. Hal inilah yang membuat Indonesia unik dan disebut Negara Kepulauan.

 

Source: Mayor Jenderal TNI Burhanuddin Siagian. 2011. Kajian Triwulan IV Penyelesaian Sengketa Ambalat Ditinjau dari Perspektif Hubungan Internasional Dalam Rangka Memperkuat Sistem Pertahanan Negara, hal: 50

Dilihat dari sisi hukum, sebenarnya Indonesia telah menyebut Ambalat sebagai kedaulatannya dalam UU No. 4 Tahun 1960. Selanjutnya pada tahun 1969 antara Indonesia dan Malaysia telah menandatangani Perjanjian Tapal Batas Kontinen. Untuk memperkuat langkah Indonesia dalam mempertahankan kedaulatannya, perjanjian itu diratifikasi oleh Keputusan Presiden RI Nomor 89 Tahun 1969. Pengakuan internasional terhadap gagasan Archipelagic State dalam UNCLOS 1982 juga memperkuat Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan maritimnya.

Menurut penulis pada intinya, agar dapat disebut sebagai Archipelagic State, suatu negara harus terdiri dari satu gugusan pulau-pulau yang sama sekali daratannya tidak menyatu atau berbatasan langsung dengan suatu benua. Satu gugusan pulau-pulau ini harus saling menghubungkan setiap aspek baik dari sisi segi ekonomi, politik, geografis, sejarah bahkan hingga hukum. Hingga saat ini ada beberapa negara terkenal yang memenuhi persyaratan Archipelagic State seperti Indonesia, Filipina, Bahama, Fiji, serta Papua New Guinea. Ada pula negara yang seharusnya secara yuridis dapat mengklaim sebagai Negara Kepulauan seperti contoh Inggris, Jepang, dan Selandia Baru namun negara-negara tersebut dalam praktik tidak memilih jalan tersebut. Lagi pula salah satu kelemahan UNCLOS 1982 yaitu tidak ada penjelasan secara tegas apakah suatu negara yang secara geografi disebut negara kepulauan wajib menarik garis pangkal kepulauan (Archipelagic Straight Baseline) dalam menentukan laut teritorialnya.

Source: www.nationsonline.org

Referensi:
United Nations Convention on the Law of the Sea 1982
Summaries Judgement of International Court of Justice, Case Concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia v. Malaysia), on December 17, 2002 (downloaded on January 27, 2021)
Kusumaatmadja, Mochtar. 1978. Hukum Laut Internasional. Bandung: Bina Cipta.
Sunyowati, Dina, Enny Narwati. 2019. Buku Ajar Hukum Laut. Surabaya: Airlangga University Press.
Mayor Jenderal TNI Burhanuddin Siagian. 2011. Kajian Triwulan IV Penyelesaian Sengketa Ambalat Ditinjau dari Perspektif Hubungan Internasional Dalam Rangka Memperkuat Sistem Pertahanan Negara 1979. (diunduh di Seskoad.mil.id pada 26 Januari 2021)
Aziz Ikhsan Bakhtiar, Penyelesaian Sengketa Antara Indonesia dan Malaysia di wilayah Ambalat Menurut Hukum Laut Internasional. (diunduh di media.neliti.com pada 26 Januari 2021)
Charlotte Ku. 1991. The Archipelagic State Concept and Regional Stability in the Southeast Asia (Vol. 23, Issue 3). Case Western Reserve University, School of Law.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Debora Clara Octaviani, S.H.
Debora Clara Octaviani, S.H.

An author who is interested in International Law

Artikel: 10

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *