Reformasi birokrasi saat ini sangat diperlukan dalam rangka perbaikan kualitas aparatur sipil negara. Dari sudut pandang masyarakat, birokrasi selama ini dianggap sebagai sesuatu yang menyulitkan, berbelit-belit, dan tidak profesional. Dari sudut pandang pemerintah sendiri mulai merasa tidak nyaman dengan status aparatur sipil negara yang mempunyai predikat sewenang-wenang, koruptif dan tidak melayani. Pemerintah menghendaki adanya peningkatan pencitraan birokrasi dimata masyarakat, sehingga pemerintah sendiri juga menginginkan segera dilakukan perbaikan citra aparatur sipil negara melalui program reformasi birokrasi.
Reformasi birokrasi merupakan sebuah kebijakan yang dibuat untuk mengubah atau membuat suatu perbaikan dalam birokrasi pemerintahan Indonesia saat ini. Perubahan atau perbaikan yang ingin dilakukan dalam reformasi birokrasi mencakup struktur dan proses dalam penyelenggaraan pelayanan publik, serta perubahan pada mindset dan culturset pegawai. Reformasi birokrasi juga bertujuan untuk memperbaiki prosedur administrasi dibirokrasi pemerintah, perbaikan penggunaan keuangan negara dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Dasar hukum pelaksanaan kebijakan reformasi birokrasi ini tertuang dalam Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Penjabarannya dituangkan dalam Permenpan & RB No.20 Tahun 2010 dan Permenpan & RB No.11 Tahun 2015 tentang road map Reformasi Birokrasi.
Sistem birokrasi sangat diharapkan dapat menjalankan perannya secara optimal. Namun, dalam kenyataannya, keberadaan birokrasi dalam pemerintah sering kali dipandang secara dikotomis, selain dibutuhkan untuk melaksanakan urusan pemerintah sehari-hari, birokrasi juga sering kali dianggap sebagai sistem yang menyebabkan jalannya pemerintahan dan layanan publik tersendat dan bertele-tele. Gejala penyakit birokrasi seperti ini , tampak pula dalam sistem birokrasi pemerintahan di Indonesia. Berbagai kritik tentang in-efisiensi dalam sistem birokrasi Indonesia, kuantitasnya yang terlalu besar dan kaku sudan sering dinyatakan terbuka (Thoha, 1987; Dwiyanto, 2002). Sistem pencaloan yang merajalela, nepotisme serta terjadinya berbagai patologi birokrasi menyiratkan bahwa reformasi birokrasi pemerintah harus dilakukan.
Reformasi birokrasi pemerintah sangat mendesak untuk dilakukan ketika dikaitkan dengan berbagai perubahan dalam konteks global, antara lain perubahan paradigma kekuasaan yang terjadi dengan dinamis selama periode pertengahan abad 20 hingga awal abad 21. Gelombang demokratisasi yang ditandai dengan kemerdekan negara-negara bekas jajahan, peralihan kekuasaan dari rezim otoritarian, kecenderungan sentralistik dan runtuhnya komunisme membawa perubahan yang berarti dalam sistem kekuasaan menjadi lebih demokratis dan terdistribusi (desentralisasi).
Pada awalnya, penyelenggaraan pemerintahan secara sentralistik dipandang akan lebih efektif dan efisien, tapi asumsi ini mengalami perubahan ketika menghadapi tantangan dimasa kini yang menuntut pemerintah untuk makin responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Akan tetapi, berbagai penyimpangan yang terjadi sebagai dampak dari sentralisasi menyebabkan legitimasi pemerintah menurun dimata publik. Ketika negara tidak lagi cukup memiliki kemampuan untuk memaksakan kepatuhan masyarakat dan makin luasnya keterbukaan akses informasi publik, maka yang terjadi adalah fenomena kegagalan negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam jangka panjang, penurunan kapasitas negara ini akan berdampak negatif karna mengarah deligitimasi pemerintahan, apatisme publik, dan berpotensi memunculkan anarkisme. Kegagalan negara dalam arti pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarkat akan menimbulkan keraguan publik terhadap urgensi kehadiran negara dalam hal ini pemerintah. Kondisi ini bila dibiarkan akan mengarah kepada ketidakpastian dan pelemahan jaminan hukum bagi seluruh lapisan masyarakat.
Reformasi birokrasi pemerintah menjadi bagian dari upaya untuk memperkuat negara karena melalui reformasi birokrasi, peran dan lingkup intervensi negara dalam hal hal ini yaitu pemerintah didefinisikan ulang untuk menjawab tantangan zaman. Karena itu, reformasi birokrasi juga tidak sekedar menyederhanakan struktur birokrasi, tapi mengubah pola pikir (mind set) dan pola budaya (cultural set) birokrasi untuk berbagi peran dalam tata kelola pemerintahan. Birokrasi pemerintah merupakan unsur yang sangat vital dalam menentukan arah untuk mencapai keberhasilan suatu penyelenggaraan negara. Dengan kemajuan teknologi terutama teknologi informasi dan komunikasi yang demikian pesat serta persaingan global yang semakin ketat, masyarakat sangat peka terhadap kinerja birokrasi pemerintahan dan sangat peduli dengan peningkatan kualitas hidupnya. Baik atau buruk kinerja birokrasi pemerintah akan sangat menentukan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya.
Dalam kaitan penyelenggaraan pemerintahan, sifat dan lingkup pekerjaannya, serta kewenangan yang dimilikinya birokrasi menguasai aspek-aspek yang sangat luas dan strategis. Birokrasi menguasai kewenangan terhadap akses-akses seperti sumber daya alam, anggaran, pegawai, proyek-proyek, serta menguasai akses pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki pihak lain. Dengan posisi, kemampuan, dan kewenangan yang dimilikinya tersebut, birokrasi bukan saja mempunyai akses yang kuat untuk membuat kebijakan yang tepat secara teknis, tetapi juga untuk memperoleh dukungan yang kuat dari masyarakat dan dunia usaha. Selain itu, birokrasi dengan aparaturnya juga memiliki berbagai keahlian teknis terspesialisasi yang tidak dimiliki oleh pihak-pihak diluar birokrasi, seperti dalam hal perencanaan pembangunan, pengelolaan infrastruktur, penyelenggaraan pendidikan, pengelolaan transportasi transportasi dan lain-lain. Dalam konteks policy making process, birokrasi di Indonesia juga memegang peranan penting pada semua tahapan mulai dari tahap perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik, serta dalam evaluasi kinerjanya. Dari gambaran di atas nyatalah, bahwa birokrasi di Indonesia memiliki peran yang cukup besar. Besarnya peran birokrasi tersebut akan turut menentukan keberhasilan pemerintah dalam menjalankan program dan kebijakan pembangunan. Jika birokrasi buruk, upaya pembangunan akan dipastikan mengalami banyak hambatan. Sebaliknya, jika birokrasi bekerja secara baik, maka program-program pembangunan akan berjalan lebih lancar. Pada tataran ini, birokrasi menjadi salah satu prasyarat prasyarat penting keberhasilan pembangunan.
Peran birokrasi dengan fungsi administrasi negara dilakukan oleh birokrasi. Jadi birokrasi diartikan sebagai keseluruhan lembaga pemerintahan negara, yang meliputi aparatur kenegaraan, aparatur pemerintahan, serta sumber daya manusia birokrasi yang terdiri atas pejabat negara dan pegawai negeri.
Birokrasi secara leksikal berarti alat kelengkapan negara, terutama meliputi bidang kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian, yang mempunyai tanggung jawab melaksanakan roda pemerintahan seharihari. Secara umum, pembangunan birokrasi mencakup berbagai aktivitas terencana yang berkelanjutan yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan dalam menjalankan fungsi-fungsinya (Adi Suryanto, 2012).
Pembangunan birokrasi yang bersih dan bebas KKN menyangkut seluruh sendi birokrasi, bukan hanya PNS/birokrat, namun meliputi pembangunan struktur, sistem, business process, dan karakter/etika moral. Secara terencana pembangunan Birokrasi pun dilakukan melalui sebuah proses multidimensi yang disebut Reformasi Birokrasi. Secara khusus Presiden telah menetapkan Perpres No.81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025. Upaya penataan pembangunan birokrasi yang komprehensif seperti inilah yang secara substansi oleh Sofian Effendi (2010) disebut juga sebagai reformasi birokrasi. Kekuasan yang memusat mengakibatkan tidak adanya transparansi sehingga menyulitkan lahirnya pertanggung jawabab publik. Tidak adanya keterbukaan dikalangan instansi dan pejabat pemerintah, mengakibatkan akses melakukan kontrol rakyat menjadi buntu dan mampet. Selain itu reposisi dan restrukturisasi kelembagaan pemerintah perlu segera ditata ulang, yang memungkinkan adanya kejelasan antara posisi jabatan politik dan birokrasi karier. Dengan demikian pertanggung jabaran publik bisa didorong dengan melakukan desentralisasi kekuasaan, transparansi, reposisi dan restrukturisasi kelembagaan pemerintah. Struktur kelembagaan pemerintah warisan pemerintah Orde Baru perlu diperbaiki dan disempurnakan sesuai dengan perubahan strategis nasional kita di era reformasi ini. Selain itu dengan memperhatikan prinsip efisiensi, penghematan, kordinasi, integrasi dan rasionalitas maka perampingan susunan kelembagana birokrasi pemerintah perlu dipikirkan. Selain itu efisiensi, penghematan, kordinasi, integrasi dalam susunan kelembagaan pemerintahan perlu dilakukan sehingga tidak ada lagi kekembaran lembaga yang tugas dan fungsinya sama. (Thoha, 2002)
Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di Negara-negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Osborne dan Plastrik (1997) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh Negara-negara yang sedang berkembang seringkali berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju. Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi birokrasi di Negara-negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi yang dihadapi oleh para reformis di Negara-negara maju pada sepuluh dekade yang lalu. Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi, pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang, termasuk di Indonesia.