Di tengan kegalauan dunia berkaitan dengan belum adanya kepastian kapan masa Pandemi COVID-19 ini akan berakhir, tentunya ini menjadi pemikiran tersendiri bagi setiap negara untuk segera “keluar” dari musibah yang telah banyak menelan korban di segala aspek kehidupan . Seluruh segmen kehidupan manusia di bumi terganggu, tanpa kecuali di bidang pendidikan. Banyak negara memutuskan menutup sekolah, perguruan tinggi maupun universitas, termasuk Indonesia. Krisis benar-benar datang tiba-tiba, pemerintah di belahan bumi manapun termasuk Indonesia harus mengambil keputusan yang pahit menutup sekolah untuk mengurangi kontak orang-orang secara masif dan untuk menyelamatkan hidup atau tetap harus membuka sekolah dalam rangka survive para pekerja dalam menjaga keberlangsungan ekonomi.
Ada dua dampak bagi keberlangsungan pendidikan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19. Pertama adalah dampak jangka pendek, yang dirasakan oleh banyak keluarga di Indonesia baik di kota maupun di desa. Di Indonesia banyak keluarga yang kurang familier melakukan sekolah di rumah. Bersekolah di rumah bagi keluarga Indonesia adalah kejutan besar khususnya bagi produktivitas orang tua yang biasanya sibuk dengan pekerjaannya di luar rumah. Demikian juga dengan problem psikologis anak-anak peserta didik yang terbiasa belajar bertatap muka langsung dengan guru-guru mereka. Seluruh elemen pendidikan secara kehidupan sosial “terpapar” sakit karena covid-19. Pelaksanaan pengajaran berlangsung dengan cara online. Proses ini berjalan pada skala yang belum pernah terukur dan teruji sebab belum pernah terjadi sebelumnya. Tak pelak di desa-desa terpencil yang berpenduduk usia sekolah sangat padat menjadi serba kebingungan, sebab infrastruktur informasi teknologi sangat terbatas. Penilaian siswa bergerak online dan banyak trial and error dengan sistem yang tidak ada kepastian, malah banyak penilaian yang banyak dibatalkan.
Kedua adalah dampak jangka panjang. Banyaknya (kelompok) masyarakat di Indonesia yang terpapar dampak jangka panjang dari covid-19 ini harus menjadi perhatian pemerintah seperti misalnya yang berhubungan langsung dengan kualitas hidup dan kehidupan (sosial, ekonomi, psikologis, pendidikan, dll.) Sehingga berpotensi menambah lebar gap ketidaksetaraan antar kelompok masyarakat dan antardaerah di Indonesia.
Harus disadari ada kebijakan pemerintah (Kemendikbud) yang sudah dibuat dan dijalankan sebelum wabah pandemi ini berjangkit belum dapat dijalankan secara optimal begitu juga program baru selama masa pandemi terus di buat dalam rangka mengantisipasi maupun upaya penyempurnaan agar setiap program dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kemungkinan-kemungkinan munculnya dampak negatif karena beralihnya proses belajar mengajar dari tatap muka langsung di kelas dengan pembelajaran daring (online) perlu diperhitungkan dan diantisipasi, seperti misalnya kehawatiran munculnya terjadi learning loss (kehilangan minat belajar) pada siswa karena berkurangnya intensitas interaksi guru dan siswa saat proses pembelajaran sudah dapat dikatakan menjadi fakta yang harus dipertimbangkan dan dicarikan solusi atau alternatif jalan keluar lainnya. Pemerintah dalam hal ini Kemendibud menyadari kemungkinan seperti ini dapat terjadi bukan saja di daerah-daerah yang infrastruktur minim, tetapi juga di daerah lainnya yang relatif sarana dan prasarana pembelajaran sudah memadaipun tidak tertutup kemungkinan bisa terjadi learning loss.
Kehawatiran lain muncul adalah jangan sampai proses/kegiatan belajar mengajar dengan sistem daring ini hanya didominasi dengan mengedepankan transfer pengetahuan tanpa penanaman nilai-nilai akhlak yang mulia. Kita menyadari bahwa pembelajaran berbeda dengan pendidikan, apalagi ketika berbicara mengenai pendidikan karakter. Generasi muda (pembelajar) perlu dibentuk untuk memiliki karakter positif, dan itu hanya bisa diraih dengan pendidikan karakter yang mengedepankan keteladanan para pengajar, yang harus disaksikan dan ditiru langsung oleh para siswa dan mahasiswa. Berkurangnya interaksi secara langsung (fisik) antara pendidik dan peserta didik akan menjadi faktor yang tidak boleh diabaikan begitu saja.
Kemendikbud telah menggagas meluncurkan Asesmen Nasional sebagai pengganti Ujian Nasional yang akan dilaksanakan pada tahun ajar 2020-2021 rencananya akan mulai digelar pada bulan Maret-April 2021. Dengan mempertimbangkan sikon pandemik yang masih terus berlanjut ini pada akhirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim memutuskan untuk menunda pelaksanaan Asesmen Nasional (AN) tahun 2021. Asesmen Nasional yang rencananya akan diselenggarakan mulai Maret 2021, diundur menjadi September s.d. Oktober 2021. Dengan harapan faktor pendukung lainnya juga seperti persiapan infrastruktur dan logistik dapat dipastikan tidak akan mengalami kendala pada waktunya.
Munculnya gagasan AN ini diharapkan dapat menjawab kehawatiran akan munculnya learning loss tidak akan terjadi dan kemungkinan terjadinya degradasi (pendidikan) karakter peserta didik selama masa pandemi dengan menggunakan pembelajaran daring dapat diminimalisir
Asesmen Nasional (AN).
AN sebagai pengganti UN yang sudah disosialisasikan sebelum pandemi Covid-19 semuanya bermuara pada evaluasi pendidikan dengan satu tujuan yaitu mendorong perbaikan mutu pembelajaran dan hasil belajar peserta didik. AN bertujuan untuk memetakan mutu pendidikan pada seluruh sekolah, madrasah, dan program kesetaraan jenjang sekolah dasar dan menengah, melalui AN nantinya juga akan terpetakan sekolah-sekolah mana yang akan/harus mendapatkan bantuan dari pemerintah sesuai dengan kebutuhan sekolah tersebut.
Satu hal yang perlu menjadi perhatian berkaitan dengan Asesmen Nasional (AN) ini adalah semua pemangku kepentingan jangan sampai muncul persepsi yang berbeda yang tentunya ini akan menjadi kontraproduktif dan kontroversial dengan tujuan dan makna yang ingin dicapai. Bukan hal yang mudah memang menyatukan pandangan-menyatukan pemikiran, persepasi mengenai komponen yang harus dikawal dan dijalankan dalam AN ini meliputi tiga aspek yakni : yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. Namun biar bagaimanapun juga para pemangku kepentingan disini harus seiring sejalan satu kata dalam satu perbuatan dalam upaya menyongsong/mengimplementasikan AN ini sesuai tujuannya sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas pendidikan. Silakan simak penjelasan Mas Menteri mengenai
AN yang terdiri dari Asesmen Kompetensi Minimum, Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar ini juga berguna untuk membantu sekolah memperbaiki performa layanan pendidikannya menjadi lebih baik. “AN bukan untuk menghukum sekolah,” tegas Mendikbud Nadiem pada Rapat Kerja Perdana Tahun 2021 Bersama Komisi X DPR RI beberapa waktu lalu.
Mendikbud Nadiem menjelaskan bahwa AN bukan untuk mengevaluasi siswa bahkan menambah beban siswa ataupun sebagai syarat dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB). Tidak ada konsekuensi untuk siswa, melainkan dirancang untuk memperbaiki sistem pendidikan dasar dan menengah. Di sisi lain, evaluasi kompetensi peserta didik menjadi tanggung jawab guru, sekolah, dan pemerintah daerah.
Sumber : https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2021/01/asesmen-nasional-modal-perhitungan-learning-loss-akibat-pandemi-covid19
Mendikbud memastikan Asesmen Nasional akan tetap dilaksanakan tahun ini (2021) agar secepatnya dapat diketahui kualitas learning outcome dan seberapa besar gap loss yang terjadi akibat pandemi Covid-19. Menurutnya, kalau Asesmen Nasional tidak dilaksanakan tahun ini, data tersebut akan sulit diketahui.
”Kita tidak ada ujian dalam skala nasional di 2020 karena pandemi Covid-19, dan 2021 pun kalau tidak dilaksanakan kita tidak punya data point baseline, artinya kita tidak akan bisa mengetahui mana sekolah dan daerah yang paling tertinggal. Kalau kita tidak bisa mengetahui sekolah mana yang paling tertinggal, kita tidak bisa membuat strategi penganggaran dan bantuan untuk sekolah yang membutuhkan bantuan, mohon AN tidak disikapi berlebihan. Siswa, guru, orangtua tidak perlu mlekaukan persiapan khusus seperti dengan bimbel dan sebagainya. Karena ini sebetulnya tidak bimbel-able. Soal-soalnya bukan hafalan, tapi merupakan pemikiran dengan nalar kritis,” tuturnya.
Bagaimana menurut Anda?