Asas Fiktif Positif Dipersingkat Merupakan Upaya Peningkatan Pelayanan Publik Di Indonesia

Pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mendapatkan tanggapan beragam di masyarakat Indonesia. baik itu positif maupun negatif.

dalam konsideran Undang Undang Cipta Kerja ini pada huruf a menyatakan bahwa, untuk mewujudkan tujuan pembentukan pemerintahan Negara Indonesia dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur erlu dilakukan upaya pemenuhan hak warga negara.

selanjutnya pada huruf c bagian konsideran menyatakan bahwa untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan koperasi maupun usaha mikro kecil dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan percepatan proyek strategis nasional.

salah satu yang penulis kemukakan pada penulisan ini adalah mengenai penerapan asas fiktif positif yang dipersingkat dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dan pelaksanaan reformasi birokrasi.

Dalam Undang Undang Cipta Kerja ini mengubah konsep asas fiktif positif sebagaimana yag terdapat dalam Undang Undang Administrasi Pemerintahan.

Sebelum masuk pada pasal perubahan asas ini, penulis akan terlebih dahulu mengonstruksikan asas fiktif positif ini secara normatif melalui pendekatan peraturan perundang-undangan.

Pada pasal 3 Undang Undang Peradilan Tata Usaha negara mengatur mengenai keputusan fiktif negatif yaitu apabila suatu pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan dalam jangka waktu yang telah lewat maka badan atau pejabat tata usaha negara tersebut dianggap menolak untuk mengeluarkan keputusan yang dimaksudkan.

Sedangkan asas fiktif positif baru muncul pada Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 Administrasi Pemerintahan Tahun 2014. Pengertian secara harafiah fiktif merupakan sikap diam badan atau pejabat tata usaha negara sehingga pada keputusan tata usaha negara yang tidak berwujud.

Secara konkret internalisasi asas fiktif positif ini terdapat dalam Pasal 53 Undang Undang Administrasi Pemerintahan yang telah mengatur batasan waktu sehingga apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak melakukan penetapan atau mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan maka permohonan demikian dianggap dikabulkan secara hukum.

Hal ini ditujukan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan sehingga setiap permohonan dari masyarakat dalam jangka waktu tertentu akan dikabulkan secara hukum.

Dalam Undang Undang Administrasi Pemerintahan Pasal 53 ayat (2) menyatakan, Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.

Norma ini jika diinterpretasikan akan memiliki dua keadaan, antara lain:

Pertama, asas fiktif positif tidak berlaku secara serta merta sehingga apabila dalam suatu peraturan perundang-undangan menetapkan secara eksplisit adanya batas waktu penetapan atas suatu permohonan maka berlakulah ketentuan Pasal 53 ayat (2) ini.

Kedua, penetapan waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja harus diimplementasikan oleh setiap badan atau pejabat tata usaha negara sehingga apabila yang bersangkutan tidak melakukan penetapan berdasarkan keputusan tertentu dan/atau tindakan tertentu maka permohonan ini dianggap dikabulkan.

Demikian ini disebabkan dengan ‘diam’nya pejabat tata usaha negara tersebut dianggap juga merupakan tindakan hukum.

Sebagaimana disampaikan oleh Zudan Arif Fakrulloh bahwa pemberlakuan asas fiktif positif ini adalah demi peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan.

Selain itu asas fiktif positif bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum oleh masyarakat.



Enam tahun berselang pemberlakuan Undang Undang Administrasi Pemerintahan ini kemudian diubah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang selanjutnya disebut Undang Undang Cipta Kerja.

Pada Pasal 53 Undang Undang Administrasi Pemerintahan sebagaimana diubah dalam Undang Undang Cipta Kerja menyatakan pada ayat (1), Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan bahwa, Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan

dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan.

Berdasarkan rumusan pasal dan ayat diatas dapat tergambar bahwa adanya tindakan untuk mempersingkat pelaksanaan asas fiktif positif ini yang pada awalnya adalah 10 (sepuluh) hari menjadi 5 (lima) hari masa kerja.

Menurut penulis pada satu sisi ketentuan ini sangat baik dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan  peningkatan kualitas pelayanan publik yang responsif, efektif dan efisien.

Maka dari itu setiap permohonan yang diajukan oleh subyek hukum dapat didapatkan keputusannya dengan lebih cepat.

Pada dasarnya penerapan asas fiktif positif di Indonesia tidak terlepas dari konsep lex silencio positivo atau fictious approval atau tacit authorization yang sudah terlebih dahulu diterapkan di Inggris sebagaimana disampaikan oleh Oswald Jansen dalam buku berjudul Comparative Inventory of Silencio Positivo (Utrecht School of Law, 2008).

Berkaca dari negara lain juga seperti negara Perancis memiliki kondisi yang relatif mirip dengan yang terjadi di Indonesia yang mana, pada awalnya di Negara ini suatu keputusan berlaku asas fiktif negatif.

Akan tetapi paradigma ini kemudian diubah sejalan dengan disahkannya Assemblée Nationale pada tahun 2013 oleh Parlemen Prancis. Kemudian berlakulah asas fiktif positif dalam penyelenggaraan pemerintahanya.

Pengesahan Undang-undang ini pun pada hakikatnya merupakan upaya penyederhanaan hubungan antara pejabat publik atau otoritas administratif dalam hubungannya dengan masyarakat.

Sekalipun suatu permohonan yang diajukan dianggap dikabulkan oleh hukum, akan tetapi dalam penerapannya harus tetap mendapatkan pengesahan dari Pengadilan Tata Usaha Negara.

Hal ini  sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2017, tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan Atau Pejabat Pemerintah.

Maka dari itu apabila suatu permohonan yang telah diajukan dan dianggap telah dikabulkan maka harus mendapatkan pengesahan dari Pengadilan Tata Usaha Negara agar memiliki kekuatan hukum.

Pada Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung ini menyatakan adanya Objek permohonan fiktif positif yakni adanya kewajiban badan dan/atau pejabat pemerintahan untuk menetapkan keputusan dan/atau melakukan tindakan administrasi pemerintahan yang dimohonkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lantas pertanyaannya kemudian apakah setiap permohonan yang diajukan kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang sudah melewati jangka waktu yang telah ditetapkan dapat diajukan pengesahannya ke pengadilan tata usaha negara agar memiliki kekuatan hukum tetap?

Jawabannya adalah tidak semua permohonan mendapatkan pengesahan ini.

Hal ini dikarenakan terdapat limitasi atau pembatasan permohonan yang diajukan antara lain:

Pertama, Permohonan dalam lingkup kewenangan badan dan/atau pejabat pemerintahan dimana permohonan tersebut diajukan. Artinya ini menyangkut kompetensi relatif pengadilannya;

Kedua, Permohonan diajukan dalam lingkup menyelenggarakan fungsi pemerintahan. Artinya fungsi pemerintahan seperti layanan kependudukan atau yang bersifat vital bagi masyarakat dan pelaksanaan fungsi pemerintahan.

Ketiga, Hal yang dimohonkan merupakan  keputusan dan /atau tindakan yang belum pernah ditetapkan dan/atau dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. Demikian itu terlihat bahwa yang dapat diajukan permohonan terhadap suatu keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah seperti adanya penetapan Surat Keputusan Pemberhentian dengan Tidak Hormat Pegawai Negeri Sipil

Terakhir adalah permohonan adalah untuk kepentingan Pemohon secara langsung. Hal ini dikarenakan sifat daripada suatu ketetapan atau keputusan, yakni bersifat individual dan konkret. Maka dari itu keputusan yang hendak diberikan menyangkut kepentingan seseorang.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Dara Salsabila

Dara Salsabila merupakan mahasiswa tingkat akhir Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan Program Kekhususan Hukum Administrasi Negara. Sekarang ini Dara fokus menjadi asisten penelitian dosen, riset, dan menulis ilmiah serta menjadi pekerja paruh waktu sebagai tutor/pengajar hukum dan UTBK Soshum. Dara mempunyai hobi membaca dan menulis. Motto hidup Dara adalah ‘tidak untuk biasa’.

Artikel: 22

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *