Narasi menggalakkan pembangunan telah menjadi konsep dasar dari setiap orang atau kelompok penguasa serta memiliki kewenangan untuk melakukan perencanaan, pengelolaan dan pelaksanaan pembangunan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai agenda utama pemaparan konsep saat kontestasi maupun terpilih sebagai pejabat yang diberikan mandat oleh masyarakat. Pembangunan menjadi pilihan rasional dalam pelaksanaan politik program berdasarkan kalkulasi obyektif pusat maupun daerah yang didasarkan pada perencanaan dasar (setting plan), ketersediaan anggaran (budget availability) serta penggunaan lahan (use land) sebagai modal dasar pembangunan.
Biasanya dalam penyusunan anggaran yang dilakukan baik pusat maupun daerah dalam perencanaan anggaran, baik R-APBN untuk rancangan anggaran belanja dan pendapatan nasional, maupun R-APBD untuk rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah, besaran anggaran untuk Pekerjaan Umum (PU) bersama sektor pendidikan dan kesehatan memiliki alokasi yang terbesar, disebabkan bidang pekerjaan umum memiliki tanggung jawab mengembangkan Fasilitas Umum (Fasum) dan Fasilitas Sosial (Fasos), pembangunan proyek jalan, pavingisasi, gorong-gorong, jembatan serta berbagai hal yang berkaitan dengan pembangunan fisik.
Akan tetapi, terdapat permasalahan pembangunan dalam penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan blue print pembangunan, sehingga menimbulkan berbagai permasalahan sosial dan permasalahan pembangunan yang membutuhkan konsep pembangunan lebih terstruktur dan holistik melalui penerapan kaidah-kaidah pembangunan melalui konsep tata ruang atau spasialitas yang banyak digambarkan oleh berbagai pakar, baik menggunakan teori konsentrik (concentriczone concept), teori sektor, teori inti berganda (multiple-nuclei model) dengan pendekatan ekologikal dengan memperhatikan 3 (tiga) proses esensial pemanfaatan lahan, yaitu 1) Proses Domisili yaitu merupakan pemilihan tempat tinggal yang disesuaikan dengan berbpeeeeeeagai faktor penunjangnya, baik kemampuan finansial, sosial, kultural dan psikologisnya. 2) Proses Regenarasi, yaitu merupakan upaya melanjutkan keturunan dengan berbagai subyektifitas alasan dan berbagai hal yang melatar belakanginya, dan 3) Proses Okupasi, yaitu upaya pemenuhan kebutuhan hidup melalui kegiatan bekerja dan mencari makan (Yunus, 1999). Bahkan Andi Siswanto (Kompas, 2015) yang merupakan Arsitektur senior PT. Wiswakharman menyatakan bahwa pembangunan hijau di Indonesia masih sangat jarang ditemukan sebagai langkah lanjutan dari massif-nya konversi lahan pertanian menjadi infrastruktur, termasuk melakukan penebangan pohon, pembangunan jalan yang tidak memperhatikan sistem drainase yang baik, bahkan pembakaran hutan. Hal ini, tentunya menjadi noda merah sekaligus catatan penting bagi perancangan pembangunan yang produktif dan prospektif, namun bisa melakukan kalkulasi yang terukur dan terstruktur.
Potret Resiko Pembangunan
Resiko pembangunan merupakan sebuah kajian pasca pembangunan dilihat dari berbagai dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan yang dilakukan oleh pemegang kebijakan atas hak konversi lahan menjadi bangunan yang diprogramkan. Secara teoritis, memahami pemikiran Giddens (Dalam Tazid, 2017) melihat resiko yang terjadi pada masyarakat tersebut secara sederhana tentu karena suatu hal yang mendominasi diantaranya faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya yang tidak menentu karena semakin kuatnya 4 lembaga sosial ini, yaitu;
Kapitalisme, yaitu satu produksi komoditi berdasarkan kepemilikan pribadi atas modal, tenaga kerja dan sistem kelas semakin tegambar atas terciptanya pembangunan yang barbasis kepada kepemilikan modal dan kuatnya pengaruh dari kelompok tertentu.
Industrialisme, yaitu eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam melalui penggunaan mesin untuk memproduksi barang secara besar-besaran untuk melalui pandangan profit oriented sebagai dasar pemikiran;
Surveillance Capacities, yaitu sistem pengawasan dan kontrol dilakukan secara pada semua pihak;
Adanya kekuatan meliter yang digunakan untuk menanggulangi kekerasan. Artinya dalam berbagai segmen sosial, koersifitas disahkan untuk melakukan penertiban sosial sebagai alat utama.
Melemahnya masyarakat kelas bawah secara otomatis Menguatkan institusi pada kelas-kelas tertentu, sehingga masyarakat semakin tidak berdaya dan tidak memiliki kapasitas untuk memperkuat posisinya dalam pembangunan berdasarkan refleksi dirinya sendiri bukan berdasarkan intimitas peda struktur dan kelas sosial yang lebih tinggi. Identitas dan intimasi yang menjadi tuntutan justru menjadikan manusia semakin jauh dari prinsip otonom, dan semakin mendekatkan diri pada sebuah sistem dependensi serta mendominasi segala bentuk, proses dan prospek pembangunan yang menjadi program kesejahteraan masyarakat.
Jalannya pembangunan dan perubahan peradaban yang sifatnya financial perspective telah membangun sebuah Panzer raksasa (juggernaut) bagi pembangunan yang bekerja pada orientasi materialistik dan merugikan berbagai pihak. Alasannya karena kehidupan kelas sosial pada masyarakat pembangunan secara mayoritas dikuasai secara privat untuk menciptakan keuntungan yang sifatnya pribadi. Muncul berbagai resiko-resiko pembangunan kronis yang menjadi patologi dari masifnya pembangunan fisik di berbagai wilayah, terutama wilayah perkotaan dan pusat pemerintahan pusat dan daerah, yaitu:
Kemiskinan (poverty), berdasarkan penyajian data kemiskinan yang disampaikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2019. Angka Kemiskinan berada diangka 9,41 persen atau setara dengan 25,14 juta penduduk yang masih menyandang status miskin. Sedangkan Provinsi Papua dikategorikan sebagai penduduk miskin tertinggi jika dibandingkan dengan angka kemsikinan DKI Jakarta yang memiliki angka kemiskina masih yang terendah sebesar 3,47 persen. Adapun perhitungan garis kemiskinan oleh BPS ini menggunakan komposisi garis kemiskinan 73,66 persen dari komponen makanan dan 26,34 persen dari bukan makanan. Garis kemiskinan pada Maret 2019 adalah Rp 425.250 per kapita per bulan, naik 3,55 persen dari September 2018 yang hanya Rp 410.670 per kapita per bulan. Sedangkan jika dilihat dari gini ratio Perbulan Maret 2020 tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia sebesar 0,381. Angka ini meningkat 0,001 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2019 yang sebesar 0,380 dan menurun 0,001 poin dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2019 yang sebesar 0,382.
Macet (traffic jam), merupakan problem pembangunan yang dapat dilihat di berbagai daerah, terutama daerah kota dan administrasi. Secara keseluruhan kemacetan telah menimbulkan ketidaknyamanan karena jarak capai lebih panjang dan lebih lama untuk aktivitas sosial dan ekonomi. Pola pelayanan perkotaan tersebut memberi dampak pada pemborosan energi, pemborosan dana transportasi dan pencemaran lingkungan hidup (Wunas, 2011). Pencemaran udara khusunya di lingkungan kawasan perkotaan terus meningkat, tercatat bahwa 75% kontaminan CO2 disumbang dari sektor transportasi perkotaan (World Bank, 2016). Tingginya sumbangan kontaminan CO2 menyebabkan sektor transportasi menjadi salah satu penyebab utama berbagai gangguan, yaitu ganggguan kesehatan dan gangguan psikologi berkendaraan.
Banjir (flood), merupakan persoalan bawaan dari pembangunan karena adanya rencana yang matang dan mala praktek pembangunan akibat kesalahan konsep tata ruang atau berkaitan dengan kegagalan mengendalikan moral hazard akibat korupsi. Bahkan United Nation pada tahun 2004 melihat penduduk sebesar 54 persen berada di daerah pusat keramaian baik kota dana atau pusat administrasi daerah dan menjadi tantangan pembangunan itu sendiri. Bahkan berdasarkan pemaparannya, Indonesia pada tahun 2055 diprediksi akan mengalami banjir hingga 75 persen wilayahnya. Hal tersebut berdasarkan kajian dan pemaparan data yang melihat rentan waktu 20 tahun sebagai acuan dasarnya, sehingga implikasi dari adanya banjir ini akan menciptakan terus menerus Pemukiman Kumuh (slum area) yang banyak didominasi oleh golongan masyarakat miskin.
Kriminalitas (crime), dalam kajian sosiologis daerah pembangunan maupun daerah perkotaan merupakan area dominan dari sasaran kajian mengenai riset kriminologi. Bahkan Blumer (dalam Ritzer, 2010), bahwa konsep city space melihat proses paralisasi pembangunan memiliki relasi atas dimensi kehidupan manusia yang memiliki segmentasi khusus dengan kebutuhan tata ruang yang berbeda. Keberbedaan kondisi dan sumber daya melahirkan perilaku-perilaku baru yang cenderung anomali dan melanggar kultur serta norma yang menjadi dasar dari terciptanya social order dari suatu kawasan tertentu. Berdasarkan data BPS melalui Publikasi Statistik Kriminal 2019 memiliki tingkat resiko terkena tindak kejahatan setiap 100.000 penduduk pada tahun 2015 sekitar 140 kasus. Sedangkan berdasarkan data Podes, selama tahun 2011-2018 jumlah desa/kelurahan yang menjadi ajang konflik massal cenderung meningkat, dari sekitar 2.500 desa pada tahun 2011 menjadi sekitar 2.700 desa/kelurahan pada tahun 2014, dan kembali meningkat menjadi sekitar 3.100 desa/kelurahan pada tahun 2018.
Melihat pemaparan resiko pembangunan tersebut berdasarkan berbagai problem akut dan seakan-akan sulit dibereskan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, sehingga banyak yang menyebut repetisi dampak pembangunan yang merugikan ini disebut sebagai lingkaran setan dalam pembangunan (the vicious cercle development), sehingga para pihak yang memiliki otoritas kekuasaan sulit menangani masalah ini secara konkrit dan komprehenshif.
Mitigasi Pembangunan
Secara definisi mitigasi merupakan serangkaian usaha dan upaya untuk mengurangi serta meminimalisir bahkan meniadakan korban/kerugian yang timbul akibat adanya pembangunan yang sifatnya fisik melalui tahapan yang terstruktur terutama berkaitan dengan upaya peniadaan resiko pembangunan. Konsep mitigasi pembangunan itu sendiri sebenarnya merupakan langkah prevensi atau pencegahan yang dapat dilakukan sejak tahap perencanaan pembangunan (plan building), sehingga secara teoritis segala hal yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan dapat diminimalisir atau ditiadakan, sebab secara logika semua untung ruginya sudah dipikirkan dengan matang.
Berdasarkan Pasal 1 (9) UU 24/2007 Tentang Penanggulangan Bencana, mitigasi bencana didefinisikan sebagai upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana yang disebabkan oleh berbagai persoalan pembangunan, terutama pembangunan fisik yang salah hingga pembangunan liar yang tidak dipikirkan dampak jangka panjangnya. Pada potret permasalahan pembangunan yang bias kita lihat tentunya berkaitan dengan kemiskinan, urbanisasi, kemacetan, banjir, kriminalitas serta masalah lingkungan.
Permasalahan ini terjadi karena adanya sistem pembangunan yang tidak terkoneksi dengan baik dan tidak terintegrasi dengan mengabaikan pedoman pembangunan berkelanjutan yang sudah menjadi standar pembangunan. Selain itu, ada kesan pembiaran yang dilakukan oleh stake holders yang memiliki otoritas kekuasaan dalam mengatur pembangunan yang baik dan berjangka panjang. Contoh kecilnya seperti masyarakat yang mendirikan bangunan di daerah aliran sungai (DAS) serta masyarakat yang mendirikan bangunan dekat dengan rel kereta api, Padahal berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman memiliki jarak minimal setidaknya 20 meter. Sedangkan untuk pendirian gedung Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung harus selesai dari urusan administratif, peruntukan dan intensitas bangunan gedung terutama berkaitan dengan RTRW, RDTRKP dana tau RTBL.
Oleh sebab itu, mitigasi pembangunan setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan penguatan oleh berbagai pihak, yaitu penerapan konsep mitigasi struktural dan mitigasi kultural. Konsep mitigasi struktural berkaitan dengan rencana pembangunan, daya guna dan daya dukung lingkungan, penguatan aturan dan hukum sebagai kontrol pembangunan serta ketegasan apparat penegak hukum. Sedangkan konsep mitigasi kultural berkaitan dengan kesadaran semua pihak bahwa pembangunan harus dilakukan berdasarkan kesadaran bersama (collective counciousness) yang berkeadilan sosial dan berwawasan lingkungan, sehingga dampak buruk pembangunan terutama masalah bencana pembangunan bisa diminimalisir, diredam bahkan ditiadakan.
Sumber :
Tazid, Abu. (2007). Tokoh, Konsep dan Kata Kunci Teori Postmodern. Yogyakarta: Depublish
Yunus, H. S. (2000). Struktur Tata Ruang Kota, Jogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yunus, H. S. (2011). Manajemen Kota Perspektif Spasial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.