Seringkali orang bingung dengan istilah pelecehan dan kekerasan seksual. Padahal pelecehan adalah salah satu bentuk dari kekerasan seksual. Maka dari itu, artikel ini akan menjelaskan mengapa RUU PKS harus segera disahkan.
Kekerasan seksual adalah setiap tindakan, baik berupa ucapan ataupun perlakuan seseorang, untuk menguasai atau memanipulasi hingga terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak dikehendaki, tidak disetujui dan mengakibatkan kerusakan fisik dan psikis korban.
Kasus kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja dan siapa saja dapat mengalaminya. Perempuan menjadi korban paling rentan yang mengalami kekerasan seksual. Tetapi bukan berarti laki – laki tidak pernah mengalaminya. Selain itu, anak – anak, orang yang sudah tua, disabilitas juga turut menjadi korban. Kekerasan seksual tidak hanya dilakukan oleh orang yang tidak dikenal, melainkan juga dapat dilakukan oleh keluarga sendiri (incest). Kejadian tersebut bisa terjadi di tempat umum bahkan di tempat ibadah.
Perempuan, waria lebih rentan mengalami kekerasan seksual dikarenakan laki – laki merasa lebih berkuasa dan lebih kuat. Perempuan dipandang sebagai makhluk lemah dan laki – laki dipandang sebagai makhluk agresif. Itu adalah bias gender yang dikonstruksikan oleh lingkungan dan budaya masyarakat.
Korban kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa aja, baik perempuan maupun laki laki. Contoh kekerasan seksual yang dilakukan oleh laki – laki terhadap laki – laki (sesama jenis) pernah dilakukan oleh Reynhard Sinaga, mahasiswa Indonesia yang kuliah di University Leeds dan tinggal di Manchester, Inggris. Berita tersebut menghebohkan media Indonesia pada Januari 2020. Menurut keterangan polisi berdasarkan data dari hp dan laptop, Reynhard mulai melakukannya dari tahun 2015 – 2017. Korban perkosaan dan serangan seksual yang dilakukan oleh Reynhard Sinaga mencapai 206. 60 orang diantaranya belum diidentifikasi. Kejadian tersebut menjadi kejadian terburuk sepanjang sejarah Inggris dan Indonesia tentunya. Bahkan hakim Suzanne Goddard menggambarkan Reynhard Sinaga sebagai predator seksual setan. Reynhard Sinaga dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Pengadilan Manchester.
Di dalam RUU PKS tercantum 9 bentuk kekerasan seksual yaitu :
- Perkosaan
Serangan fisik dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual. - Pelecehan Seksual
Tindakan fisik & non-fisik dengan sasaran organ dan seksualitas korban. - Penyiksaan Seksual
Tindakan yang menyerang organ dan seksualitas perempuan secara sengaja. - Eksploitasi Seksual
Penyalahgunaan kekuasaan untuk tujuan kepuasan seksual dan keuntungan. - Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi
Pemasangan kontrasepsi atau sterilisasi tanpa adanya persetujuan. - Pemaksaan Perkawinan
Perkawinan secara paksa tanpa adanya persetujuan. - Pemaksaan Pelacuran
Praktik prostitusi yang dilakukan secara paksa. - Perbudakan Seksual
Situasi merasa “memiliki” tubuh korban hingga berhak melakukan apapun. - Pemaksaan Aborsi
Pengguguran kandungan karena adanya tekanan dari pihak lain.
Bentuk pelecehan seksual seperti catcalling, memegang paha, pantat, lirikan menggoda, siulan kerap kali terjadi di tempat umum. Tetapi korban pelecehan seksual tidak dapat melaporkan ke kepolisian karena pelecehan seksual bukan termasuk tindakan kriminal dan bukan bagian dari hukuman perdata.
Di era yang semakin maju dan teknologi semakin canggih, kekerasan seksual tidak hanya dapat terjadi secara langsung, melainkan dapat terjadi di dunia virtual/online. Pelecehan seksual yang terjadi di media virtual seperti chat atau komentar vulgar, mengirim gambar atau video payudara atau alat kelamin dan dipaksa untuk mengirim foto telanjang. Bentuk pelecehan seksual di media virtual merupakan Kekerasan Berbasis Gender Online.
Banyak korban yang tidak berani melaporkannya kepada Lembaga Bantuan Hukum dan Kepolisian karena takut mendapatkan penghakiman dari masyarakat dan korban mendapatkan ancaman dari pelaku. Korban kekerasan seksual seperti pemerkosaan mendapatkan hinaan, bullian, cacian dari masyarakat. Dampak yang didapat perempuan lebih besar daripada laki – laki. Baik dari sisi psikis maupun dari sisi sosial.
Pelaku kekerasan seksual juga tidak dihukum dengan semestinya. Banyak korban kekerasan seksual yang tidak puas dengan keputusan. Keputusan yang diambil untuk korban kekerasan seksual seperti korban pemerkosaan adalah dengan menikahkan korban dengan pelaku agar tidak menjadi aib. Menikahkan korban dengan pelaku bukanlah solusi dan tidak membuat pelaku jera. Secara tidak langsung, hal itu sudah tersistematis di Indonesia. Keputusan yang diambil juga berdasarkan faktor budaya (struktur patriarki), politik, ekonomi, sistem pendidikan, pemahaman agama yang salah daripada sisi humanisme.
Tantangan dalam menghadapi kasus kekerasan seksual di Indonesia adalah perspektif dari korban tidak dilihat, lebih mempedulikan dampak yang didapat oleh orang sekitar terutama keluarga daripada korban, stigma negatif dari masyarakat terhadap korban kekerasan seksual, payung hukum yang tidak memberikan perlindungan terhadap korban.
Kasus kekerasan seksual di Indonesia tercatat dari tahun ketahun semakin meningkat. Komnas Perempuan menyebutkan bahwa setiap dua jam sekali setidaknya ada tiga perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan seksual. Selama tahun 2020, kekerasan dalam rumah tangga, cyber-bullying, pernikahan anak, pelecehan seksual dan kekerasan seksual terjadi peningkatan selama pandemic.
Berdasarkan data dari CATAHU (catatan tahunan) dalam Komnas Perempuan tahun 2020 tercatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2019, dimana sebanyak 421.752 kasus kekerasan tersebut berasal dari data yang ditangani oleh Pengadilan Agama. Lalu terdapat 14.719 kasus yang ditangani oleh lembaga mitra pengada layanan yang tersebar dalam sepertiga provinsi di Indonesia. Ada juga 1.419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR), unit yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan dari korban yang datang langsung maupun melalui sambungan telepon. Dari 1.419 pengaduan tersebut, 1.277 kasus merupakan kasus berbasis gender dan 142 kasus tidak berbasis gender. Data kekerasan yang dilaporkan juga mengalami peningkatan yang signifikan sepanjang lima tahun terakhir (Komnas Perempuan, 2020).
Dalam kurun waktu selama 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan sebanyak 792%, yaitu hampir 800% yang artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia
dalam kurun waktu selama 12 tahun ini meningkat hampir 8
kali lipat.
Tidak menutup kemungkinan bahwa kasus kekerasan seksual juga terjadi di lingkungan keluarga yang berada di daerah pedesaan, tempat yang jauh dari akses perlindungan pertama terhadap korban kekerasan. Peningkatan kasus kekerasan terjadi juga akibat dari ketidakpastian kondisi negara dan faktor ekonomi selama pandemic.
Maka dari itu, kita harus membantu korban agar mendapatkan hak perlindungan dengan adanya payung hukum yang lengkap dan komprehensif juga mendukung kampanye Stop Kekerasan Seksual untuk membantu meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kekerasan seksual. Apalagi kasus kekerasan seksual di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Indonesia membutuhkan payung hukum yang lengkap dan komprehensif terhadap korban kekerasan seksual.
Komnas Perempuan menginisiasi aturan untuk kondisi Indonesia yang darurat kekerasan seksual yaitu RUU PKS. RUU PKS dibuat untuk mendapatkan hak perlindungan korban. Menurut Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan, RUU ini bisa menegakkan keadilan dan memberikan proses hukum bagi kasus-kasus kekerasan dan penanganan yang dapat membantu korban dalam mengatasi hambatan yang dialami dalam sistem peradilan pidana dan memulihkan korban selama proses peradilan pidana berjalan. Isu kekerasan seksual tidak ada dalam hukum manapun. Dengan adanya RUU PKS, negara bisa lebih adil dalam memberikan keadilan dan proses hukum. RUU PKS menjadi bentuk payung hukum yang lebih memperhatikan kebutuhan korban pasca mengalami pelecehan seksual.
Sudah sejak 2012 RUU PKS sudah diajukan oleh berbagai pihak. Di tahun 2020, DPR memutuskan untuk mengeluarkan RUU PKS dari daftar prolegnas karena pembahasannya yang sulit. Akhirnya, DPR memutuskan kembali memasukkan RUU PKS dalam daftar prolegnas 2021.
Penolakan terhadap RUU PKS menjadi batu sandungan dan bagian dari problematika prolegnas. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi PKS, Almuzzammil Yusuf memberikan pandangan tentang bahaya penyusupan sexual consent (kesepakatan seksual) pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Almuzzammil Yusuf mejelaskan bahwa sexual violence (kekerasan seksual) dalam paradigma Barat yang terkait erat dengan sexual consent. “Yang saya maksud adalah sexual violence dalam paradigma Barat adalah merupakan peristiwa yang terjadi ketika sexual consent tidak dilakukan. Definisi kekerasan seksual dalam terminologi Barat mitranya adalah sexual consent, dan bagi mereka penganutnya beranggapan seks itu legal baik menikah ataupun tidak menikah, dan bahkan seks sesama jenis pun dibenarkan sejauh disepakati bersama,” jelas Muzzammil.
Muzzammil menegaskan bahwa pemahaman sexual consent bertentangan dengan norma agama, kultur, dan hukum yang berlaku di Indonesia. Ia juga menyatakan sikap Fraksi PKS DPR RI menolak konsep sexual consent masuk dalam konsep kekerasan seksual. “Pemahaman sexual consent di Barat sudah sangat meluas, seks sesama jenis adalah hal yang wajar di sana, tapi tidak di negara kita Indonesia. Sexual consent bertentangan dengan norma agama kita, bertentangan dengan kultur kita, bertentangan dengan UUD kita Pasal 28B dan UU Pernikahan kita. Dan, Fraksi PKS DPR RI menolak konsep sexual consent masuk sebagai bagian dari konsep kekerasan seksual, sebab bertentangan dengan semangat Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa), Pasal 28B UUD, dan UU Pernikahan.” pungkas Muzzammil.
Di dalam RUU PKS dijelaskan bahwa tidak ada pernyataan secara eksplisit maupun implisit mengenai RUU PKS yang dianggap terlalu liberal, tidak sesuai norma agama, hingga melegalkan kelompok LGBTQ. RUU PKS yang diinisiasi oleh Komnas Perempuan menjelaskan bahwa RUU PKS dibuat untuk melindungi semua warga negara yang menjadi korban kekerasan seksual, baik laki – laki maupun perempuan dari berbagai lapis. Siapa pun bisa menjadi pelaku kekerasan, termasuk pemuka agama dan tokoh masyarakat. Begitu pula dengan korban kekerasan seksual bisa siapa saja.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan bahwa seluruh pihak harus meningkatkan edukasi untuk mencegahan kekerasan seksual yaitu edukasi sejak dini yang dilakukan secara masif dan sistematis mengenai bentuk-bentuk kekerasan dan bagaimana melaporkannya. Edukasi untuk mencegah kekerasan seksual maupun pengesahan RUU PKS sudah sangat mendesak mengingat kondisi yang sudah darurat kekerasan seksual. Terutama RUU PKS, berbagai data dan fakta telah membuktikan bahwa saat ini Indonesia sedang benar-benar membutuhkan sistem yang holistik untuk menghapus kekerasan seksual.
Maka RUU PKS harus segera disahkan agar Indonesia memiliki payung hukum untuk menangani kasus kekerasan seksual, kebutuhan korban mendapatkan hak perlindungan, penanganan dan pemulihan, meminimalisir pelaku kekerasan seksual.
Referensi :
The Body Shop, Magdalene. 2020. The Guidebook : Understanding Sexual Violence in Indonesia.
Nurhayati. 2012. Psikologi Perempuan Dalam Berbagai Perspektif. Pustaka Pelajar.
PKS. 2021. Legislator PKS : Sexual Consent Bertentangan dengan Norma Agama, Hukum, Kultur di Indonesia. https://fraksi.pks.id/2021/02/06/legislator-pks-sexual-consent-bertentangan-dengan-norma-agama-kultur-dan-hukum-di-indonesia/
Purnamasari. 2021. Selain RUU PKS, Menteri PPPA Minta Peningkatan Edukasi untuk Cegah Kekerasan Seksual. https://nasional.kompas.com/read/2021/02/11/13172731/selain-ruu-pks-menteri-pppa-minta-peningkatan-edukasi-untuk-cegah-kekerasan
Dewi. 2019. 5 Alasan Penting Mengapa RUU PKS Harus Segera Disahkan. https://kumparan.com/kumparanstyle/5-alasan-penting-mengapa-ruu-pks-harus-segera-disahkan-1550053285598427967/full
Usman. 2021. Pandemi Lain, Kekerasan Terhadap Perempuan. https://www.kompasiana.com/yusdi.usman/6027970dd541df6b524d2e02/pandemi-lain-kekerasan-terhadap-perempuan