Diawali dengan seorang Rizal sebagai penggagas Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhamamad Nur Rizal begitu nama lengkapnya megutarakan pemikirannya dalam sebuah workshop yang digelar GSM bersama Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi Bidang Mesin dan Teknik Industri (BBPPMPV BMTI) pada Senin, 08/02/2021. Bahwa “Indonesia perlu menciptakan renaisans di bidang pendidikan. Revolusi pikir terhadap paradigma pendidikan harus sudah terjadi saat ini,” tegasnya.
Dari berbagai istilah yang muncul frase dengan kata “Revolusi” ada istilah Revolusi Bumi, Revolusi Hijau, Revolusi Industri dan dipenghujung tahun 2020 dan awal tahun 2021 kita disuguhkan dengan satu istilah yaitu “Revolusi Akhlak”, namun adanya lontaran pemikiran yang menyita perhatian adalah munculnya gagasan lain dalam bentuk revolusi ini yaitu Revolusi Pemikiran, apa dan siapa yang perlu Revolusi Pemikiran ini? Jika konteksnya dikaitkan dengan “pemikiran” maka objeknya adalah pendidikan, siapa, dimana, kapan harus dilakukan revolusi tersebut? Ini yang menjadi simpul pertanyaan yang perlu diurai untuk mendapat jawaban.
Pertanyaan lanjutan muncul mengapa pendidikan Indonesia memerlukan revolusi pemikiran? Apakah sudah sedemikian krisisnya kah pendidikan Indonesia ini? Apakah sudah sedemikian banyaknya deviasi/penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam konteks pendidikan Indonesia bila dibanding dan mengacu pada konsep/gagasan pendidikan yang pernah kita miliki yang dikemukakan oleh Bapak Pendidikan Nasional (Indonesia) Ki Hajar Dewantoro?
Mari kita urai satu dari sekian banyaknya pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantoro yang berkaitan dengan pembelajaran, gagasan/pemikiran azas pendidikan Ki Hajar Dewantoro yang dilaksanakan mengacu pada lima prinsip yang dikenal sebagai “Panca Darma” yaitu :
- Prinsip Kemerdekaan (Note: jadi teringat dengan jargon Mas Nadiem Makarim-Mendikbud “Merdeka Belajar”). Prinsip ini lebih mengedepankan pada aspek kepentingan peserta didiknya, mereka didorong bukan sebagai objek pendidikan semata tetapi jauh lebih dari itu adalah peserta didik diberikan keleluasaan dan “kebebasan” mengembangkan cipta, rasa, dan karsa dalam proses belajar. (Pertanyaan : apa bedanya konsep Merdeka Belajar dengan Prinsip Kemerdekaan?)
- Prinsip Kebangsaan. Prinsip ini tidak boleh bertentangan dengan prinsip kemanusiaan, artinya pengembangan rasa kebangsaan bukan berarti menafikan bangsa lain atau anti “bangsa lain” karena sejatinya diharapkan nantinya peserta didik akan bertumbuh dan berkembang, berinteraksi dengan masyarakat luas (global).
- Prinsip Kebudayaan. Prinsip ini digunakan untuk peserta didik agar mereka tetap dapat menghargai dan mengembangkan kebudayaan sendiri, peserta didik dibimbing dapat memperindah, memperhalus, meningkatkan kualitas kehidupan dengan mengambil contoh dari budaya lainnya, namun jika dirasa tidak mempunyai nilai tambah atau tidak sesuai dan tidak bermanfaat tentunya dapat ditolak.
- Prinsip Kemanusiaan. Pada tatanan prinsip ini peserta didik dituntut untuk tidak melakukan pelanggaran dasar hak asasi manusia. Hidup bersama atas dasar kegotongroyongan dan saling mengasihi dan saling mengasuh dan membimbing agar bisa menjadi pribadi yang baik. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan selalu diorientasikan untuk kepentingan bersama.
- Prinsip Kodrat Alam. Pada prinsip ini, penekannya adalah peserta didik tidak melalaikan kewajibannya baik kewajiban terhadap Tuhan, lingkungan, masyarakat, maupun diri sendiri.
Kita mafhum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan dilakukan beberapa kali perubahan (kurikulum) unuk penyesuaian dan penyempurnaan. Dari catatan yang kita miliki, Indonesia sejak tahun 1947 sampai tahun 2015 melakukan perubahan (kurikulum) sebanyak 11 kali perubahan, pergantian-perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Jadi bukan semata-mata ada jargon negatif saja seperti “ganti menteri, ganti kurikulum, ganti menteri, ganti buku”
Menurut catatan sejarah setelah Indonesia merdeka, kurikulum ternyata telah berganti sebanyak 11 kali yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013, dan 2015. Sumber : https://www.4muda.com/inilah-11-jenis-kurikulum-pendidikan-indonesia-dari-1947-hingga-2015/
Jujur saja jika ketika kita harus menentukan dan mengambil keputusan, apakah kita perlu melakukan satu revolusi pemikiran lagi di bidang pendidikan? Rasa-rasanya bangsa ini perlu memikirkan kembali jejak langkah para founding father yang telah mewariskan kepada para penerusnya begitu banyak dan begitu hebatnya lompatan pemikiran-pemikiran mereka pada jamannya tidak pernah lekang dimakan jaman, pemikiran-gagasannya senantiasa dapat beriringan dengan tuntutan jaman dimasa mendatang, tinggal kini masalahnya muncul pertanyaan, sudah berapa banyak kontribusi kita dalam turut “mencerdaskan” anak bangsa ini?
Dunia pendidikan tidak terlepas dari sinergi antara Tri Sentra Pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak, kita melihat peran keluarga menjadi penting dalam membangun kolaborasi dengan sekolah untuk membangun karakter dan budi pekerti anak, begitu juga masyarakat memiliki peran yang signifikan dalam proses pembentukan pribadi anak, dengan demikian sinergi antara keluarga, sekolah dan masyarakat dapat terjalin maka dapat membentuk karakter secara alamiah.
Belum lagi jika kita berbicara tentang perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang begitu tingginya berpengaruh terhadap (sistem) pendidikan, proses belajar mengajar, kegiatan belajar mengajar saat ini, merupakan sebuah tantangan tersendiri bagaimana tingkat kesulitannya para orang tua dan tenaga kependidikan menjembatani antara kebutuhan instrumen pendidikan berbasiskan TIK ini menjadi semacam pisau bermata dua, jika tidak dilakukan secara hati-hati dan bijaksana akan menimbulkan masalah kedepannya.
Di era digitalisasi ini penggunaan internet menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan lagi, meningkatnya penggunaan gawai (gadget) pada anak didik perlu pendekatan/komunikasi yang intens untuk antisipasi dampak negatifnya, maka konteks Tri Sentra Pendidikan ini (keluarga, sekolah dan masyarakat) akan menjadi begitu besar perannya memberikan literasi informasi, literasi digital, dan leterasi media apada anak didik
Mungkin kondisi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi TIK dan kejadian pandemik Covid-19 pada saat itu para founding father kita di bidang pendidikan tidak terpikirkan. Yang ada saat ini kita sadari di era digital dan teknologi informattika yang semakin maju ditambah dengan kondisi pandemi Covid-19 ini belum mereda, yang memunculkan banyak ketidak pastian dan perubahan-perubahan yang berlangsung begitu cepatnya, banyak “bola liar” berupa opini, pendapat, pengamatan, dan pemikiran-pemikiran tentang dunia pendidikan kita ini akan dibawa kemana, menjadi suatu bahan komodititi yang tidak terbantahkan lagi, disatu sisi inilah konsekuensi dari adanya “keterbukaan dan kebebasan” dalam menyuarakan pendapat yang dilindungi undang-undang.
Kita patut hargai pemikiran GSM melalui penggagasnya Muhamamad Nur Rizal bahwa pendidikan perlu untuk melakukan “Revolusi Pemikiran”, dilain sisi kita punya begitu banyak dan “hebatnya” pula gagasan-pemikiran dari para pendahulu (Bapak Bangsa) di bidang pendidikan yang gagasan-pemikirannya akan selalu dapat sesuai dan menyesuaikan dengan segala perubahan dan perkembangan jaman. Memang tidak bisa kita nafikan kita perlu suatu benchmarking dengan negara lainnya yang telah memiliki sistem maupun kualitas pendidikannya lebih maju, lebih baik.
Jadi buat kita yang mau melakukan revolusi pemikiran di bidang pendidikan, kenapa tidak kita gunakan saja hasil karya nyata dan pemikiran-pemikiran, gagasan pakar pendidikan saat ini dan para pendahulu kita yang telah mewariskan begitu “lengkap” dan memiliki kesesuaian dengan kondisi (budaya, geografis, demografis, sosial, budaya) yang ada, kembali kepada pemikiran-gagasan lama bukan berarti kita harus merasa tertingal dan merasa terbelakang, bukankah begitu?
Bagaiamana menurut Anda?