Pendekatan dan Jejaring Sosial dalam Pengembangan Masyarakat

Kasus kemiskinan yang tak selalu tuntas pada masyarakat desa menjadi persoalan tersendiri sampai sekarang. Adanya pengembangan masyarakat melalui pendekatan komunitas diharapkan mampu mengatasi kemiskinan tersebut. Asumsi yang dibangun melalui pendekatan komunitas merujuk pada Nasdian (2014) akan sebagai pengembangan gagasan untuk menangani masalah kemiskinan. Asumsi pertama, perhatian warga komunitas pada upaya perubahan harus difokuskan terlebih dahulu dalam pendekatan ini. Hal ini diartikan bahwa hal pertama yang harus dibentuk adalah kesadaran masyarakat itu sendiri. Sedikit konsep dan teknisnya, masyarakat disadarkan betapa pentingnya kesejahteraan di era kini dengan adanya penyelenggaraan program-program pemerintahan yang mampu menawarkan perbaikan hidup asalkan berpartisipasi. Misalnya, dengan adanya kucuran dana desa yang jumlahnya ± 1 miliar rupiah/ tahunnya, dapat lebih baik jika dibersamai dengan kesadaran mengenai komunitasnya. Hal tersebut mampu menumbuhkan kesadaran kolektif, selain dari segi kepentingan kesejahteraan masing-masing.

Asumsi kedua, keberhasilan pengembangan masyarakat berkorelasi dengan derajat atau peluang warga komunitas untuk berpartisipasi; sesuai dengan ulasan sebelumnya bahwa pengembangan masyarakat sangat penting penekanannya pada partisipasi masyarakatnya. Partisipasi diharapkan mampu masuk ke tahap perencanaan, penyaluran, realisasinya, dan penulisan laporannya, atau bahkan partisipasi masyarakat tak hanya berpatokan dengan teknis tersebut saja. Tahapan partisipasi yang harus melibatkan masyarakat dapat saja diambil dan dimanipulasi untuk diterapkan dari teori Cohen dan Uphoff dalam Bukunya Nasdian (2014). Teori partisipasi dari Cohen dan Uphoff pada tahap pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengambilan manfaat, dan evaluasi harus mengikutsertakan masyarakat. Berdasar dengan partisipasi, masyarakat dapat menjadi aktor utama pembawa perubahan yang positif. Hal tersebut pun dapat berdampak pada kemandirian dan keberlanjutan solusi atas keresahan masalah sendiri. Selama ini kasus di pedesaan terkait pemerintahan cenderung menghindarkan atau tidak fokus pada partisipasi masyarakat alias top down. Sangat disayangkan sekali dengan adanya dana desa sebagai sumber dana misalnya, produktivitas komunitas dan masyarakat desa secara luas dapat saja sia-sia.

Asumsi ketiga, isu dan masalah di tingkat komunitas dapat dipecahkan berlandaskan pada kebutuhan warga komunitas. Pendekatan komunitas ini berarti diharapkan menjamin pemecahan masalah yang begitu berarti pada masyarakat dengan basis dan sumber daya masyarakat itu sendiri. Sehingga lagi-lagi, masyarakat menjadi terbiasa dan mampu menambah pengetahuannya untuk menciptakan suatu aktifitas yang mandiri dan berkelanjutan.

Meskipun demikian, nampaknya asumsi pertama hingga ketiga sepertinya tak begitu mudah dijalankan oleh masyarakat maupun pemerintah desa. Asumsi pertama masih penyadaran keresahan atas masalah yang ada di masyarakat, asumsi kedua melakukan rangkaian partisipasi yang diadakan dalam pengelolaan pemerintahan, hingga asumsi ketiga diharapkan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri mengenai kehidupan sekitar desa. Dari ketiga asumsi tersebut, dirasa kurang melihat masalah lain yang sebagaimana harus dijelaskan dalam asumsi keempat.

Asumsi keempat, pendekatan holistik adalah penting dalam pengembangan komunitas karena keterkaitan antarmasalah dan isu komunitas pasti terjadi. Komunitas tidak akan berkembang bila masalah yang dihadapi tidak tuntas dalam penyelesaiannya, baik di level mikro ataupun makro. Pengelolaan pemerintahan yang hanya sebagai tools harus bergantung kepada agen-agen yang melakukan pengembangan masyarakat untuk penyelesaiaan masalah. Peran fasilitator begitu penting dalam asumsi ini agar menjadikan masyarakat terhubung dengan struktur luar yang mampu juga diajak kolaborasi untuk menyelesaikan masalah holistik pada desa. Bila masalah holistik teratasi ataupun mau diajak berkolaborasi, maka masyarakat pun dapat berkembang secara leluasa atas sumber dayanya dan bahkan mampu mewujudkan ekononomi secara makro sehingga dapat menyejahterakannya. Asumsi keempat ini selain karena sifat masalah pada komunitas yang terhubung, asumsi ini juga memakan waktu yang lama demi terwujudnya penyelesaian masalah satu per satu; tentu hal itu menjadi kelemahan tersendiri adanya pendekatan komunitas.

Secara garis besar dengan adanya pendekatan ini melalui asumsi yang telah dibangun, adanya peran dari komunitas setidaknya menyadarkan, mengikutsertakan, dan mengembangkan sumber dayanya sendiri untuk menghadapi permasalahan yang begitu kompleks agar terlepas dari kemiskinan. Berdasar keterlibatan masyarakat yang absolut, sebenarnya permasalahan yang kompleks dapat teratasi. Hal tersebut jika ditambah kekuatan bonding dalam komunitas yang sudah kuat, maka untuk berjejaring pun akan terasa begitu cukup mudah untuk dilakukan demi terjalinnya kolaborasi antar stakeholders yang ada di luar komunitas desa.

Asumsinya; penyadaran, mengikutsertakan, dan pengembangan sumber daya masyarakat desa sudah terbentuk pada pendekatan komunitas, lantas ada hal yang harus dibenahi agar asumsi keempat terkait pendekatan holistik dapat tercapai. Komunitas yang diasumsikan telah kuat (bonding­) pada pendekatan ini harus mampu membangun jaringan sosial dengan lembaga lain ataupun institusi lain yang berniat sama-sama menyejahterakan masyarakat. Pendekatan ini merujuk pada Kolopaking (2005) yang menyatakan berdasarkan pengalamannya, keberhasilan jaringan antarlembaga akan mewujudkan bentuk kemitraan berbasis komunitas yang menguatkan masyarakat. Namun, keberhasilan tersebut tetap dapat ditentukan oleh dua faktor.

Pertama, proses tersebut berhasil mengembangkan pendampingan teknis dan manajemen usaha.  Faktor ini dirasa tepat untuk mengatasi permasalahan holistik yang ada di asumsi pendekatan komunitas untuk tercapaianya tujuan pengelolaan sumber daya desa itu sendiri. Sebagai catatan, faktor tersebut dipengaruhi juga oleh lembaga lain yang tentunya harus melibatkan masyarakat. Misalkan seperti: LSM, Swasta, Pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga Keuangan, dan Koperasi, bila ingin mencapai tujuan yang sama, keseluruhan pihak harus memegang teguh partisipasi masyarakat. Dengan begitu, lembaga-lembaga tersebut juga merasakan adanya modal sosial dari masyarakat (trust) kepadanya untuk terus memberikan pendampingan maupun manajemen usaha yang dapat menyejahterakan masyarakat.

Faktor kedua yakni menemukan sumber pembiayaan lain yang dapat menjadi pembuka awal kegiatan investasi usaha. Meskipun telah ada sumber pendanaan tahunan seperti dana desa dari pihak pemerintahan, harapannya adanya pengembangan masyarakat berbasis jejaring sosial ini tidak menyulitkan komunitas dan mampu menambah kekuatan komunitas desa. Hal tersebut ditujukan untuk tercapainya raihan produktivitas yang terus berlanjut dan bahkan apabila bisa, komunitas desa bersangkutan harus berprestasi.

Perpaduan antara masyarakat dengan lembaga lain seperti yang telah diulas dapat menjadi presentasi/model pengembangan yang baik dari kedua paradigma (bottom up dan top down) serta mampu diterapkan dalam model-model lain agar tidak terpaku dengan kebijakan pemerintah seluruhnya. Apalagi hal tersebut kini sudah dapat terjejaring melalui teknologi dan internet. Hadirnya teknologi dan internet, melalui signal based mampu berjejaring sosial seluas mungkin dengan dampak yang diharapkan positif. Adanya digitalisasi di masyarakat, jejaring tersebut dapat digunakan dalam hal identifikasi potensi, bertransaksi, branding, maupun pelaporan kegiatan pengembangan masyarakat. Pendekatan komunitas tadi akan terbantu dengan adanya era digitalisasi melalui banyak teknologi yang meliputinya. Hal ini dapat menambah spirit dari masyarakat untuk berkembang dan menyelesaikan persoalan kemiskinannya sendiri.

Namun menjadi catatan tersendiri, bila hadirnya teknologi dan internet dalam kasus pengembangan masyarakat, bukan untuk menjadi alasan tersendiri terkait dehumanisasi yang sering terjadi bila adanya teknologi. Penguatan komunitas menjadi hal penting. Bila sudah terjejaring dengan pihak luar, jangan sampai kapitalisasi diperbolehkan mendominasi internal komunitas.

Referensi:

Kolopaking. 2005. Kelembagaan masyarakat dan kemitraan bagi pengembangan jarak pagar. Seminar Nasional Pengembangan Jarak Pagar Untuk Biodiesel dan Minyak Bakar; 22 Desember 2005; Bogor (ID).

Nasdian FT. 2014. Pengembangan Masyarakat. Jakarta (ID): Yayasan Pustaka Obor.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

dwikifaiz
dwikifaiz

Berusia 23 tahun yang sedang berkuliah di Program Magister Sosiologi Pedesaan IPB. Akhir pekan selalu punya cukup waktu untuk berolahraga futsal dan sepak bola.

Artikel: 7

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *