Kebebasan Berekspresi di Indonesia: Terbentur UU ITE dan Polisi Siber

Di tahun 2020 lalu, Indonesia telah mencatat skor terendah dalam indeks demokrasi selama 14 tahun terakhir. Berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit, Indonesia menduduki peringkat ke 64 dengan skor 6,3 yang menurun dari tahun sebelumnya yaitu dengan skor 6,4. Tidak dipungkiri, salah satu aspek yang menjadi tolak ukur baik buruknya demokrasi di suatu negara adalah kebebasan dalam berpendapat. Negara demokrasi semestinya aktif menerima kritik dari rakyat karena konsep dari negara demokrasi sendiri adalah mengutamakan rakyat. Namun, apakah kebebasan berpendapat di Indonesia sudah berjalan dengan baik?

Secara hukum, kebebasan berpendapat di Indonesia sudah diatur dalam  Pasal 1 (1) UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Presiden Joko Widodo pun sudah meminta masyarakat untuk aktif memberi kritik. Sayangnya, kritik masyarakat ini masih dibatasi oleh adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan berbagai pasal-pasal multitafsir di dalamnya justru menghantarkan masyarakat ke dalam jeruji besi karena kritik-kritik yang disampaikan.

Pasal-Pasal ‘Karet’ UU ITE dan Berbagai Ancamannya

Dilansir dari Kompas.com, terdapat sembilan asal-pasal multitafsir (atau disebut juga pasal karet) dalam UU ITE meliputi:

  1. Pasal 26 Ayat 3 tentang penghapusan informasi yang tidak relevan. Pada pasal ini, bagian bermasalah ada perihal sensor informasi.
  2. Pasal 27 ayat 1 tentang asusila. Pasal ini menjadi masalah karena dapat digunakan untuk mendakwa korban kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang mana belakangan ini sedang menjadi perhatian publik adalah dakwaan kepada artis yang videonya tersebar ke publik. Padahal dalam hal ini sang artis merupakan korban pula karena ia sendiri tak ingin videonya tersebar.
  3. Pasal 27 ayat 3 tentang defamasi. Pasal ini dianggap dapat menjadi alat bagi para aparat untuk melakukan represi kepada warga yang mengkritik pemerintah, aparat, atau lembaga negara. Pasal inilah yang kemudian benar-benar menjadi perhatian, di mana di era media sosial saat ini banyak warga yang melakukan kritik melalui media sosial. Tidak ada batasan dalam UU sejauh mana suatu hal dapat dikatakan sebagai defamasi atau pencemaran nama baik, sehingga hal itu bisa saja menjadi tafsiran sendiri dari pihak yang melapor.
  4. Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian. Pasal ini berpotensi merepresi agama minoritas serta represi kepada warga yang melakukan kritik pada pihak aparat dan pemerintah. Tidak ada batasan tentang sejauh mana suatu hal yang disampaikan di media sosial dapat dikatakan sebagai ujaran kebencian. Setiap orang pun punya pemahaman yang berbeda tentang hal-hal yang disampaikan di sosial media bisa jadi hal itu dianggap sebagai ujaran kebencian, dan bisa juga dianggap tidak.
  5. Pasal 29 tentang ancaman kekerasan. Pasal ini dianggap bermasalah karena dapat digunakan sebagai alat untuk memidana orang yang ingin melakukan pelaporan ke polisi.
  6. Pasal 36 tentang kerugian. Pasal ini dianggap dapat digunakan untuk memperberat hukuman pidana defamasi atau pencemaran nama baik yang mana belum dijelaskan batasan sejauh mana suatu hal dapat dikatakan sebagai pencemaran nama baik.
  7. Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang. Pasal ini dianggap bermasalah lantaran dapat digunakan sebagai alasan internet shutdown untuk mencegah penyebarluasan dan penggunaan hoax.
  8. Pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan akses. Pasal ini bermasalah dikarenakan dapar menjadi penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.
  9. Pasal 45 ayat 2 tentang ancaman penjara dari tindakan defamasi. Pasal ini menjadi masalah karena dapat menahan pihak tertuduh saat proses penyidikan.

Pasal-pasal multitafsir ini dipandang sebagai pasal-pasal yang dapat mengancam kebebasan berekspresi seseorang. Pemerintahan era SBY sejatinya bermaksud mengeluarkan UU ITE untuk melindungi konsumen yang melakukan transaksi online, namun dalam praktiknya, aparat menggunakan UU ITE sebagai alat untuk membungkam pihak-pihak yang mengkritik negara atau pihak lain yang lebih berkuasa.

UU ITE tak sepenuhnya membantu para konsumen yang menjadi korban penipuan transaksi elektronik. Penipuan ini kerap dialami oleh konsumen yang melakukan belanja online atau melakukan donasi secara online. Baru-baru ini sedang ramai di Twitter, seorang perempuan yang diketahui seorang mahasiswi  salah satu kampus di Jambi melakukan penipuan dengan kedok Twitter Please Do Your Magic.  Tagar Twitter Please Do Your Magic umumnya digunakan untuk membantu orang yang sedang kesusahan atau mencari orang hilang. Perempuan ini pun memanfaatkan tagar tersebut untuk melakukan penipuan dengan dalih dagangan kue ibunya yang dibatalkan oleh orang yang memesan.

Banyak orang yang bersimpati dan akhirnya membantu dengan mengirimkan sejumlah uang untuk membantu perempuan tersebut, namun kue yang tidak laku tersebut dibagikan kepada orang sekitar yang membutuhkan. Belakangan diketahui, foto kue tersebut adalah foto yang diambil dari dagangan orang lain di Facebook. Hingga saat artikel ditulis ini belum ada perkembangan lagi dari kasus tersebut. Artinya, penegakan UU ITE dalam hal transaksi elektronik belum sepenuhnya dijalankan.

Sebaliknya, UU ini lebih gencar membungkam kritik-kritik kepada negara atau penguasa. Contoh kasus tindak pidana UU ITE adalah kasus Prita Mulyasari melawan RS Omni Batavia. Prita seorang Ibu Rumah Tangga yang dijerat pasal 27 ayat 3 UU ITE terkait kasus pencemaran nama baik terhadap RS Omni Batavia padahal kritik terhadap pelayanan rumah sakit adalah hak pasien. Kasus ini pun cukup mencuri perhatian publik pada masa itu hingga muncul gerakan “Koin untuk Prita.” Kemudian contoh kasus pembungkaman kritik kepada negara dialami oleh Dandhy Laksono akibat cuitannya di Twitter tentang kerusuhan di Wamena. Ia dijerat dengan pasal 28 ayat 2 dan pasal 45 ayat 2 UU ITE.

Polisi Siber Mebatasi Ruang Masyarakat untuk Berpendapat

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Kemanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan akan memasifkan kegiatan kepolisian siber pada 2021. Dilansir dari Kompas.com, polisi siber yang dimaksud ini nantinya akan berupa kontra-narasi.

Adanya polisi siber ini semakin membatasi ruang masyarakat untuk berekspresi dan berpendapat di media sosial sebagai ruang publik. Adanya polisi siber ini berpotensi untuk mengkriminalisasi orang-orang yang menyuarakan pendapat bertentangan  dari kebijakan pemerintah. Jelas hal ini sangat bertentangan dengan kebebasan berpendapat yang sudah dijamin oleh negara sebagai negara demokrasi. Tentunya, bertentangan pula dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta masyarakat untuk aktif memberi kritik. Sebaiknya, keberadaan polisi siber ditujukan untuk hal-hal yang lebih genting seperti tindakan kriminal melalui internet seperti hacking (peretasan), phising (pencurian informasi dan mengambil alih akun korban, dan doxing (penyebarluasan informasi pribadi) yang belakangan sedang marak terjadi.  

Keberadaan UU ITE dan Polisi Siber saat ini sudah jelas mengancam kebebasan warga sipil dalam memberikan suara dan pendapatnya di media sosial sebagai ruang publik. Jika pelaksanaan keduanya tidak dilakukan dengan berlandaskan keadilan serta HAM, baik UU ITE maupun Polisi Siber dapat mengancam keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Pada akhirnya, demokrasi hanya menjadi formalitas bila pemerintah berusaha melakukan perubahan.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
murnioktaviani

Seorang pemerhati media, politik, hukum, dan pemerintahan.

Artikel: 6

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *