Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Peribahasa tersebut mungkin cocok untuk menggambarkan bagaimana lingkungan kerja yang positif bisa dirusak oleh kehadiran rekan kerja yang toxic.
Pekerja yang toxic tidak hanya membuat pekerjaan menjadi tidak menyenangkan untuk dilakukan, tapi mereka juga mampu merusak produktivitas dan moral orang-orang yang berada di sekitarnya. Ia bisa menciptakan suasana tersebut dengan berbagai cara, seperti membuat drama-drama tak penting. Maka dari itu, tidak mengherankan jika dapat dikatakan bahwa hanya butuh seorang pekerja toxic untuk menimbulkan bencana dan membawa dampak negatif pada lingkungan kerja secara keseluruhan.
Menariknya, menemukan rekan kerja yang toxic sudah menjadi hal yang lumrah di dunia profesional. Studi dari Fierce Inc. menunjukkan bahwa 4 dari 5 karyawan sedang atau pernah bekerja dengan rekan kerja yang berpotensi memiliki perilaku yang toxic.
Mungkin kita bisa sepakat bahwa bekerja dengan rekan kerja yang toxic adalah pengalaman yang begitu menguras energi dan pikiran. Terlebih, perilaku toxic bisa muncul dengan berbagai bentuk, mulai dari perkataan hingga bahasa tubuh. Dalam artikel ini, ada salah satu perilaku toxic yang akan menjadi topik pembahasan utama, yaitu passive-aggressive behavior, atau perilaku pasif-agresif.
Pasif-agresif dapat diartikan sebagai perilaku pengungkapan perasaan kecewa atau marah yang dilakukan secara tersirat, alias tidak disampaikan langsung secara terbuka. Pribadi dengan perilaku ini cenderung tidak berani untuk mengekspresikan emosi-emosi negatifnya. Selain itu, orang dengan perilaku pasif-agresif juga cenderung memiliki ketidaksesuaian antara ucapan dan tingkah lakunya.
Pola asuh bisa memengaruhi munculnya perilaku pasif-agresif. Namun, jika kita bicara di lingkungan kerja, beberapa alasan yang dapat melatarbelakangi perilaku tersebut meliputi rendahnya kepercayaan diri dan kemampuan menangani masalah yang kurang baik.
Selain itu, menghindari konfrontasi juga bisa menjadi alasan yang memicu munculnya perilaku pasif-agresif. Dalam hal ini, mereka beranggapan bahwa bersikap terbuka cenderung sulit dan menantang karena berpotensi untuk membuat mereka terlibat dalam konfrontasi-konfrontasi yang panjang dengan sesama karyawan. Maka dari itu, perilaku pasif-agresif dapat menjadi “jalan pintas” bagi mereka saat merasa kecewa dengan sesama pegawai.
Tanda-tanda perilaku pasif-agresif
Menghadapi rekan kerja dengan perilaku pasif-agresif bukan perkara mudah. Pasalnya, mereka bisa merasa marah, iri, atau kecewa tanpa memperlihatkannya secara langsung kepada kita. Meski demikian, ada sikap-sikap yang memiliki kecenderungan sebagai tanda-tanda dari perilaku pasif-agresif. Berikut beberapa di antaranya:
- Menghina secara terselubung atau menggunakan sarkasme
- Memberikan silent treatment
- Menunda pekerjaan atau bahkan membiarkannya tidak selesai
- Bersikap sinis, arogan, dan keras kepala
- Sering bergosip
- Banyak beralasan dan tidak memberikan jawaban yang jelas
- Kerap menyalahkan orang lain
- Membantah perspektif atau sudut pandang dari orang lain dan menolak feedback
- Kerap mengeluh bahwa mereka kurang dihargai
Perilaku pasif-agresif, baik itu disengaja maupun tidak, dapat menciptakan lingkungan kerja yang toxic bagi banyak orang. Jika dibiarkan, hal tersebut dapat merusak moral, bahkan menyebabkan rasa burnout — walaupun kita sejatinya menikmati pekerjaan kita sekarang.
Menghadapi perilaku pasif-agresif
Menghadapi perilaku pasif-agresif di lingkungan kerja dapat dibilang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Upaya ini membutuhkan waktu dan kesabaran dalam diri. Namun, kita bisa mengubah situasi pelik ini menjadi keuntungan bagi kita untuk lebih percaya diri dan efektif dalam bekerja.
Pertama, observasi. Saat seorang rekan kerja menunjukkan perilaku pasif-agresif, cari tahu apa motivasinya untuk bersikap seperti itu dan bagaimana perilaku tersebut memberikan keuntungan baginya dari waktu ke waktu. Mungkin ia ingin merasa superior dengan melemahkan orang lain. Bisa juga ia ingin menjadi bagian dari kelompok tertentu di kantor.
Menariknya, perilaku pasif-agresif dianggap kerap didorong oleh rasa takut — takut akan penolakan, fear of missing out (FOMO), atau takut dirinya tidak cukup baik di pekerjaannya atau lingkungan kerjanya. Memahami motivasi dari rekan kerja yang berperilaku pasif-agresif dapat membantu kita untuk merasa empati terhadap situasi mereka dan memberi kita perspektif untuk merespons perilakunya.
Kedua, bersikap tenang dan jangan terpancing. Kita perlu berusaha untuk tetap tenang dan mengendalikan emosi kita. Mungkin sikap-sikap yang ditunjukkan oleh rekan kerja dengan perilaku pasif-agresif bisa mengesalkan, namun jangan sampai emosi kita menjadi terpancing. Ada baiknya kita tidak mengomeli mereka dengan memberikan komentar seperti “Kenapa sih sikapnya seperti itu?” atau “Maksud kamu sebenarnya bagaimana sih?”
Menanggapi perilaku menjengkelkan dari pekerja yang pasif-agresif dengan respons yang tidak mengenakkan justru bisa menjadi bumerang. Bereaksi terhadap provokasi dari rekan kerja yang pasif-agresif hanya akan membuat konflik menjadi lebih intens dan memberikan pekerja tersebut hal yang mereka inginkan, yaitu membuat perilaku buruk tetap bertahan di lingkungan kerja.
Ketiga, membangun batasan. Kita semua memiliki hak untuk diperlakukan secara terhormat di lingkungan kerja. Kita pun bertanggung jawab untuk menjaga kesehatan mental kita dari rekan kerja yang berperilaku pasif-agresif yang mampu menyedot habis energi kita.
Maka dari itu, kita bisa menciptakan batasan-batasan dengan bekerja secara remote atau work from home. Jika kita diharuskan untuk bekerja di kantor, kita bisa menggunakan earphone atau headphone saat bekerja dan meluangkan waktu untuk melangkahkan kaki untuk menenangkan pikiran kita.
Keempat, berkomunikasi tanpa ego. Jika kita diharuskan untuk bekerja sama atau berkolaborasi dengan kolega yang memiliki perilaku pasif-agresif dalam sebuah proyek, mungkin kita perlu menyesuaikan gaya komunikasi kita. Ada baiknya kita bersikap lebih asertif untuk mengurangi potensi upaya penolakan dari rekan kerja dengan perilaku pasif-agresif demi memperkuat kerja sama.
Kelima, bersikap terbuka. Pribadi dengan perilaku pasif-agresif cenderung kesulitan untuk mengekspresikan diri secara terbuka di lingkungan kerja. Dari situ, kita bisa memberikan pengaruh dan perubahan positif dengan bersikap terbuka untuk berbincang dan bertukar feedback dengan mereka. Kita bisa memulai hal tersebut dengan menunjukkan kesediaan kita untuk berkomunikasi melalui berbagai saluran, mulai dari email, aplikasi pesan instan, atau bahkan platform konferensi video.
Mendorong terjalinnya komunikasi dua arah dengan rekan kerja yang berperilaku pasif-agresif dapat mencegah munculnya sikap-sikap tidak mengenakan dari mereka. Dengan begitu, kita bisa menciptakan lingkungan kerja yang sehat secara psikologis bagi diri kita sendiri dan tentunya pegawai yang lain. Hal ini tentunya bisa membantu kita untuk menjaga kesehatan mental kita sendiri dari gangguan-gangguan yang dapat muncul di lingkungan kerja.
Upaya tersebut juga dapat membantu kita untuk membangun karier. Studi yang dilakukan oleh Randstad menunjukkan bahwa 58% karyawan meninggalkan pekerjaannya atau mempertimbangkan untuk resign karena lingkungan kerja yang negatif, politik di dalam kantor, dan adanya perilaku-perilaku yang tidak pantas di kantor.
Maka dari itu, cara kita dalam menghadapi rekan kerja yang toxic, khususnya dalam hal ini adalah mereka yang memiliki perilaku pasif-agresif, dapat berkontribusi dalam membentuk lingkungan kerja yang mendukung pengembangan karier kita, terlebih jika kita sudah mencintai apa yang kita kerjakan di kantor yang bersangkutan.