Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa besar baik segi kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini memungkinkan dilakukannya diversifikasi pengelolaan sumber daya alam untuk meningkatkan pendapatan negara.
Di lain sisi penerimaan negara dari sektor pajak terus diusahakan agar meningkat sehingga dapat mendukung proses pembangunan. Pada tahun 2019 saja penerimaan negara dari sektor perpajakan mencapai 76 persen dari total 100 persen penerimaan negara.
Tentu saja jumlah ini sangat banyak dan diharapkan mampu menjadi modal pemerintah dalam melakukan pembangunan.
Untuk mendukung proses pembangunan nasional baik itu pembangunan sumber daya manusia, pembangunan secara keekonomian dll membutuhkan pembangunan infrastruktur secara fisik.
Dalam melakukan pembangunan infrastruktur tersebut apabila hanya melibatkan pemerintah sebagai single agent maka tidak memungkinkan pembangunan tersebut dapat diselenggarakan secara optimum.
Hal ini disebabkan luas Indonesia yang mencapai 1,905 juta km2. Merupakan wilayah yang sangat luas untuk menghubungkan suatu daerah dengan daerah yang lain.
Tantangan lainnya adalah dapat menjadi beban bagi pemerintah apabila keseluruhan pembangunan infrastruktur dilakukan berdasarkan dana negara dalam hal ini adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Menurut International City/Country Management Association (ICMA) menyatakab bahwa terdapat alternatif pembiayaan infrastruktur selain menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah antara lain:
- Sumber pendanaan baru berupa sumber pendapatan tambahan untuk mendanai proyek infrastruktur;
- Mekanisme pembiayaan baru dapat berupa bentuk metode pinjaman baru yang lebih potensial berbaya efektif untuk mendanai suatu proyek infrastruktur;
- Pola pendanaan baru berupa pelibatan swasta, lembaga non profit atau masyarakat untuk ikut serta dalam pembiayaan infrastruktur dan pelaksanaan proyek.
Infastruktur
Terdapat beberapa pengertian mengenai infrastruktur.
Sebagaimana terdapat dalam Oxford English Dictionary yang mengartikan infrastruktur sebagai the basic physical and organizational structures needed for the operation of a society or enterprise.
Sedangkan menurut Sheffrin (2003) menjelaskan bahwa infrastruktur merupakan services and facilities necessary for an economy to function.
Dalam pengertian Sheffrin ini kemudian berimplikasi pada hadirnya suatu doktrin baru di bidang pembangunan infrastruktur yakni dengan adanya klasifikasi infrastruktur.
Klasifikasi tersebut terbagi menjadi hard infrastructure atau yang secara fisik dapat digunakan dan dimanfaatkan seperti bangunan, jalan, dll
Kedua adalah soft infrastructure seperti pembangunan sistem pendidikan, sistem informasi, sistem pelayanan kependudukan dll.
Sekalipun dengan dilakukannya klasifikasi tersebut, dalam tataran praktis tidak mempengaruhi esensial pembangunan itu sendiri yaitu pembangunan masyarakat Indonesia. Dalam konstruksi klasifikasi tersebut antar keduanya bersifat melengkapi atau komplementer dan tidak saling mensubstitusikan.
Infrastruktur secara normatif adalah fasilitas teknis, fisik, sistem perangkat keras dan perangkat lunak yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kepada masyarkat dan mendukung jaringan struktur agar pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat dapat berjalan dengan baik.
Selanjutnya mengenai penyediaan infrastruktur adalah kegiatan yang meliputi pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur dan/atau kegiatan pengelolaan infrastruktur dan/atau pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur sebagaimana terdapat dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Antara Pemerintah Dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
Dari ketentuan diatas maka dapat dikonklusikan bahwa kegiatan KPBU tidak hanya dilakukan dengan cara pembangunan secara fisik saja atau pekerjaan konstruksi namun juga meliputi pengelolaan infrastruktur dan pemeliharaan infrastruktur sehingga bisa meningkatkan kemanfaatanya.
Limitasi pembangunan infrastruktur di Indonesia dalam skema Kerjasama Antara Pemerintah Dan Badan Usaha
Pada dasarnya tidak semua jenis pembangunan infrastruktur bisa dilakukan dalam skema KPBU.
Menurut UNESCAP adnaya keterbatasan pelaksanaan skema KPBU antara lain:
- Tidak semua proyek infrastruktur bisa dilakukan dengan skema KPBU ini dan bergantung pada aspek politis, hukum, komersial dll;
- Kemungkinan pihak swasta tidak tertarik karena risiko pelaksanaan yang tinggi maupun kekurangan kapasitas dalam implementasi proyek;
- Proyek KPBU lebih relatif mahal kecuali terhadap biaya-biaya tambahan yang bisa dijaminkan oleh pemerintah;
- Kesuksesan KPBU bergantung juga pada efisiensi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di Indonesia sendiri pembangunan dengan skema KPBU hanya berkaitan dengan infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial yang terdiri dari:
- Infrastruktur transportasi dan infrastruktur jalan;
- Infrastruktur sumber daya air dan irigasi;
- Infrastruktur air minum;
- Infrastruktur sistem pengelolaan air limbah terpusat dan air limbah setempat;
- Infrastruktur sistem pengelolaan persampahan;
- Infrastruktur telekomunikasi dan informatika;
- Infrastruktur ketenagalistrikan;
- Infrastruktur minyak dan gas bumi dan energi terbarukan;
- Infrastruktur konservasi energi;
- Infrastruktur fasilitas perkotaan;
- Infrastruktur fasilitas pendidikan
- Infrastruktur fasilitas sarana dan prasarana olahraga dan kesenian
- Infrastruktur kawasan;
- Infrastruktur pariwisata;
- Infrastrukturkesehatan;
- Infrastruktur lembaga pemasyarakatan dan
- Infrastruktur perumahan rakyat.
Berbeda dengan negara lain seperti Korea Selatan yang juga mengenal skem KPBU ini dapat dilakukan dalam pembangunan barak-barak militer atau markas militer negara.
KPBU menguntungkan siapa?
Pertanyaan ini agaknya memantik saya untuk merekonstruksikan skema KPBU berdasarkan analisis risiko yang ada.
Sebab, dengan adanya kerjasama ini maka seharusnya beban antar kedua entitas yakni pemerintah dan badan usaha ini seharusnya seimbang sehingga dapat menjamin kontinuitas penyelengagraan KPBU.
Menurut Cheung (2009) di beberapa negara seperti Inggris dominan melaksanakan skema KPBU ini karena memiliki korespondensi dengan kepentingan finansial seperti kekuarangan belanja pemerintah, tekanan ekonomi yang membutuhkan lebih banyak infrastruktur dan pengurangan pembatasan investasi publik.
Sedangkan di Hongkong dan Australia alasan menyelenggarakan KBPU ini adalah untuk meningkatkan kinerja proyek keseluruhan.
Artinya dengan pelbagai alasan penyelenggaraan skema KBPU ini dapat ditarik kesimpulan bahwa KPBU meningkatkan iklim investasi dan memungkinkan terjadinya persaingan usaha yang sehat selain daripada itu dapat dilakukannya pembangunan infrastruktur.
Dalam pengertian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menerangkan bahwa KPBU merupakan kerjasama antara pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur umum yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya badan usaha dengan sebuah pembagian risiko antara para pihak.
Risiko adalah dampak dari ketidakpastian terhadpa pencapaian obyektif (ISO 310000:2009).
Risiko pun tidak hanya terjadi apabila pemerintah atau badan usaha melakukan proyeknya sendiri namun juga apabila keduanya bekerjasama pasti akan memiki risiko poyek dan/atau potensi risiko proyek.
Dalam proses mengindentifikasi risiko harus dilakukan secara komprehensif dan holistik terhadap pelbagai aspek seperti kebutuhan (demand analysis), hukum dan kelembagaan, teknis, ekonomi dan komersial, keuangan, lingkungan dan sosial) yang kemudian dituangkan dalam alokasi risiko.
Alokasi risiko dalam satu sisi memberikan manfaat dengan memberikan insentif bagi pihak (pemerintah atau badan usaha) secara efisien dan efektif dalam melakukan pengelolaan risiko sehingga biaya risikonya menjadi turun.
Untuk memberikan alokasi risiko tersebut maka harus diserahkan terhadap pihak yang:
- Memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengendalikan kemungkinan terjadinya risiko;
- Memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengelola dampak terjadinya risiko dan
- Pihak yang memiliki kemampuan untuk menanggung risiko dengan biaya risiko paling rendah.
Tujuannya adalah untuk meminimalisir dampak atau potensi kerugian yang muncul akibat dari pembangunan suatu proyek kerjasama.
Adapun kategoris risiko dapat dijabarkan sebagaimana berikut:
- Risiko lokasi
- Risiko desain, konstruksi dan uji operasi
- Risiko sponsor
- Risiko finansial atau keuangan
- Risiko operasi
- Risiko pendapatan
- Risiko konektivitas jaringan
- Risiko interface atau antar muka
- Risiko politik
- Risiko force majeure atau keadaan kahar atau keadaan memaksa
- Risiko kepemilikan aset.
Maka untuk menarik atensi badan usaha untuk menyelenggarakan KPBU ini adalah dengan pembagian risiko yang seimbang dan proposional.
Semisalnya untuk jenis risiko a,f,g,h,i dan k dapat menjadi risiko yang dibebankan kepada pemerintah. Sedangkan risiko b,c,d,e dapat dibebankan kepada badan usaha. Selanjutnya pada risiko huruf j dapat ditanggung bersama oleh pemerintah dan badan usaha.
Demikian itu dapat menciptakan iklim investasi yang lebih ajeg dan kontinu di Indonesia.