Mengenal Konsep Restorative Justice

Restorative Justice atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai keadilan restoratif adalah prinsip penyelesaian perkara dengan mengedepankan pemulihan kepada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, atau pelaku dapat dihukum dengan melakukan kerja sosial maupun kesepakatan lainnya.

Ahli Mendefinisikan Restorative Justice

Ahli kriminologi Inggris Tony F.Marshall menyebut, Restorative Justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan

Restorative Justice disebut juga sebagai sistem alternatif penegakan hukum yang menggunakan pendekatan sosio-kultural, bukan pendekatan normatif. Mekanisme penyelesaian perkara tindak pidana dalam restoratif justice menggunakan tata cara peradilan pidana yang biasanya berfokus pada pemidanaan, namun pada Restorative Justice diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban ataupun pelaku. Pada Restorative Justice ini pun mengedepankan pemilihan kembali keadaan semua dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.

Tentunya, penerapan Restorative Justice ini sudah ditentukan dan disesuaikan dengan hukum yang berlaku agar tidak berat sebelah, tidak memihak, tidak sewenang-wenang, dan hanya berpihak pada kebenaran berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku.

Ada tiga nilai yang dianut dalam Restorative Justice menurut Mohammad Kemal Pratama seorang Sosiolog Peradilan Pidana Universitas Indonesia:

  1. Keadilan restoratif adalah sebuah ideologi, yang mengedepankan suatu proses yang melibatkan semua  pihak  yang  terkait  dengan  terjadinya  suatu  tindak pidana   tertentu   guna   secara   bersama-sama   memecahkan   masalah   dan menghindari  akibat  negatif  di  masa  yang  akan  datang.  Ini  adalah  sebuah konsep  payung  bagi  berbagai  kegiatan  nyata,  seperti  dilakukannya  mediasi dan pertemuan korban-pelaku. Keadilan restoratif terang-terangan mengakui korban   sebagai   yang   menderita   kerugian   akibat   dari   kejahatan.   Banyak penulis  menekankan  bahwa  keadilan  restoratif  adalah  setiap  proses  yang memungkinkan  para  korban  dan  pelaku  aktif  berpartisipasi.  Sebagai  sebuah ideologi,   keadilan   restoratif   ditandai   oleh   nilai-nilai   dan   prinsip-prinsip tertentu  salah  satu  nilai  tersebut  adalah  menghormati  martabat  individu.  Ini adalah  hak  dari  manusia,  yang  dapat  ditemukan  di  universal  declaration  of Human Rights tahun 1948.
  2. Nilai kedua dari keadilan restoratif adalah inklusi atau mendorong partisipasi korban dan pelaku.
  3. Nilai  ketiga  adalah  perbaikan,  atau  yang  dikenal  sebagai  reparasi.  Pelanggar didorong  untuk  bertanggungjawab  dan  mengakui  konsekuensi  dari  perilaku mereka.  Proses  restoratif  secara  terang-terangan  mengakui  dan  memvalidasi korban dan penderitaan mereka dan berusaha memperbaiki korban. Reparasi bisa  mengambil  berbagai  bentuk  dari  kompensasi  moneter  untuk  reparasi simbolis  atau  permintaan  maaf.  Pengakuan  itu  sendiri  bisa  mempercepat penyembuhan atau pemulihan korban.

Restorative Justice di Indonesia, sejak lama sudah dijadikan sebagai prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrument pemulihan dalam bentuk pemberlakuan kebijakan oleh Mahkamah Agung. Restorative Justice ini hadir dalam hukum dan peradilan di Indonesia dengan tujuan mendorong optimaliasi penerapan kebijakan-kebijakan di atas, selain itu penerapan Restorative Justice juga ditujukan untuk mereformasi criminal justice system yang masih mengedepankan hukuman penjara. Seiring berkembangnya zaman, sistem pemidanaan tidak lagi bertumpu pada pelaku namun mengarah pada penyelerasan kepentingan pemulihan korban dan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana.

Restorative Justice dalam Hukum Adat Indonesia.

Restorative Justice dalam hukum modern tidak lepas dari sejarah awal terbentuknya konsep ini yang diawali oleh pelaksanaan sebuah program penyelesaian di luar peradilan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat yang disebut dengan victim offender mediation yang dilakukan di Negara Kanada pada tahun 1970-an. Program ini awalnua dilaksanakan sebagai tindakan alternative dalam memberi hukuman pada pelaku kriminal anak. Pada saat itu, sebelum dilakukan hukuman, pelaku dan korban diizinkan bertemu dengan tujuan menyusun usulan hukum yang menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan hakim. Seiring berkembangnya zaman, konsep peradilan Restorative Justice ini pun banyak diterapkan untuk menyelesaikan berbagai perkara.

Di Indonesia sendiri, konsep Restorative Justice telah lama dipraktekkan masyarakat Indonesia melalui hukum adat. Beberapa daerah seperti Papua, Bali, Toraja, Minangkabau, dan berbagai komunitas adat tradisional lainnya masih menerapkan hal ini. Apabila terjadi suatu tindak pidana oleh seseorang, maka penyelesaian sengketa tersebut akan diselesaikan di komunitas adat secara internal tanpa melibatkan aparat negara. Bagi masyarakat adat Ukuran keadilan bukan berdasarkan keadilan retributif berupa balas dendam atau hukuman penjara, namun berdasarkan kesadaran pelaku atas kesalahan yang diperbuat dan pemaafan.

Seperti di Maluku, terdapat aturan yang telah disepakati bersama oleh anggota adat untuk disepakati bersama yang dikenal dengan Sasi. Dalam Sasi dikenal  berbagai  macam  jenis sanksi,   yakni   sanksi   denda,   ganti   rugi   dan   sanksi   hukuman   badan.  Pada penerapannya, dikenal juga sanksi kerja sosial yang merupakan pidana pengganti terhadap sanksi denda yang tidak dapat dibayar. Bentuk sanksi ini dikenal dengan nama  kerja  bakti  berupa  pembersihan  kantor  negeri/desa. Sanksi  kerja  bakti dapat  digunakan  sebagai  pidana  pengganti  denda  apabila  pelaku  tidak  mampu membayar  denda.  Ide  dasar  dari  sanksi  kerja  bakti  ini  adalah  bahwa  walaupun pelaku tidak mampu membayar denda, pelaku memiliki kesadaran dan keinginan untuk    mempertanggungjawabkan    kesalahannya,    baik    karena    pelaku    ingin menghindari  kesialan  yang  ditimpakan  oleh  roh  nenek  moyang  (nitu)  atau  tanah desa/negeri  maupun  karena  pelaku  ingin  memulihkan  nama  baiknya yang  telah tercela di masyarakat.

Sementara dalam tradisi Hindu Bali, hukum adat dikenal dengan nama awig-awig. Setiap desa di Bali memiliki awig-awig yang berbeda. Contoh awig-awig di Desa Melaya, Bali, adalah melakukan upacara pembersihan desa serta menyumbang beras 1 kuintal kepada desa adat bagi orang yang sudah memilki suami/ istri ketahuan berselingkuh dengan orang lain. Dalam awig-awig ini korban tidak hanya datang dari suami/ istri sebagai pihak yang diselingkuhi, namun juga masyarakat yang tinggal di desa tersebut karena tindakan perselingkuhan dipandang dapat membuat suatu desa telah dinodai kesuciannya.

Apakah dalam Kasus Pemerkosaan Dapat Diterapkan Restorative Justice?

Restorative Justice menitikberatkan pad kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Restorative Justice menciptakan situasi yang dapat merehabilitasi pelaku dengan cara berhubungan baik dengan korban.

Pada konteks kasus pemerkosaan, Restorative Justice tidak dapat diterapkan, karena kasus pemerkosaan adalah tindakan kriminal yang memberi dampak buruk berkepanjangan bagi si korban. Para korban pemerkosaan tentu akan mengalami trauma jangka panjang. Banyak korban pemerkosaan harus mendapat pendampingan psikologis karena tindakan pemerkosaan yang dialaminya. Selain itu, pemerkosaan yang dialami oleh anak-anak dibawah umur hingga mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan, dapat merenggut masa depan seseorang.

Tidak sedikit korban pemerkosaan yang berniat melakukan bunuh diri karena tidak mampu menanggung trauma tersebut. Tindakan bunuh diri dari korban pemerkosaan ini juga lahir dari faktor adanya tindakan victim blaming yang kerap dilakukan kepada korban pemerkosaan membuat banyak korban pemerkosaan yang memandang hal yang ia alami merupakan aib sehingga ia terus menerus menanggung beban tersebut karena malu mengungkapkan tindakan pemerkosaan yang menimpa dirinya. Untuk itu, tindakan tegas dan hukuman yang berat perlu dijatuhi pada pelaku pemerkosaan karena telah menyebabkan trauma pada si korban.

Referensi:

Hasibuan, LR. 2015. RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI PEMBAHARUAN SISTEM PERADILAN PIDANA
BERDASARKAN UU NO.11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN
PIDANA ANAK. USU Law Journal, Vol.3.No.3 (November 2015).

Istiqamah, DT. 2018. Analisis Keadilan Restoratif Pada Penerapan Hukum Adat di Indonesia. Jurnal Online Universitas Katolik Parahyangan.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
murnioktaviani

Seorang pemerhati media, politik, hukum, dan pemerintahan.

Artikel: 6

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *