Pada hakikatnya semua warga negara Indonesia bersamaan kedudukannya didepan hukum. Maka pendekatan kesetaraan menjadi sesuatu yang harus dijalankan terhadap seluruh warga negara.
Pada bidang usaha perdagangan baik jasa maupun barang secara konvensional akan dikenakan pajak. Namun sekarang, fenomena bidang usaha yang didigitalisasi harus dikenakan pajak juga.
Pengenaan pajak dibidang digital masih terbatas sebab pada fragmentasi tertentu belum adanya peraturan terbaru yang melegitimasi hal tersebut. Pengenaan ini kemudian dinamakan sebagai level playing field.
Frasa level playing field ini lazim digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam memberikan kepastian hukum terhadap pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean dengan skema Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
level playing field atau kesetaraan perlakuan perpajakan adalah langkah strategis yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk menciptakan kesetaraan perlakuan perpajakan baik antara pelaku usaha konvensional dan pelaku usaha ekonomi digital maupun antara pelaku usaha ekonomi digital di dalam negeri dan luar negeri.
Artinya pengertian didalam dan/atau diluar daerah pabean merujuk pada ketentuan batas wilayah negara Republik Indonesia. Pengertian secara holistik daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landasan kontinen yang ada di dalamnya berlaku Undang Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
Selain itu adapaun tujuannya adalah optimalisasi penerimaan negara dari sektor pajak. Maka dari itu dalam level playing field ini menekankan pada implementasi fungsi perpajakan yakni fungsi budgetair yakni perpajakan yang diharapkan adalah agar meningkatkan penerimaan negara.
Kenapa harus penerimaan negara dan bukan pendapatan negara dari sektor perpajakan?
Dalam hukum keuangan negara menjelaskan bahwa penerimaan negara dan pendapatan negara adalah sesuatu yang berbeda.
Dalam Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menjelaskan Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara. Sedangkan Pendapatan Negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
Sederhananya seperti ini, saya mendapatkan uang Rp 10.000,00 dari mama. Maka uang Rp 10.000,00 tersebut merupakan penerimaan saya dan pendapatan saya.
Misalkan lagi saya mendapatkan uang Rp 20.000,00 yang harus saya berikan kepada adik 50 persen. Maka penerimaan saya adalah Rp 20.000,00 dan pendapatan saya adalah Rp 10.000,00.
Dari contoh ini dapat dikonklusikan bahwa pendapatan itu merupakan penambah nilai kekayaan bersih atau ‘sesuatu yang menambah atau membuat saya kaya’.
Sama halnya dengan perpajakan ini, negara semaksimal mungkin berupaya meningkatkan penerimaan negara dengan mengenakan pajak terhadap Barang Kena Pajak yang tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak.
Apa yang dimaksud sebagai Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak?
Dikutip dari laman https://www.pajak.go.id/id/istilah-umum-ppn menjelaskan beberapa pengertian penting dalam Pajak Pertambahan Nilai antara lain:
Pertama adalah Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud. Barang ini kemudian menjadi barang berwujud dan barang tidak berwujud. Dalam konteks level playing field yang dibahas ini adalah barang tidak berwujud.
Mengenai Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Kedua adalah mengenai jasa yakni setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
Mengenai Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
Subyek yang ditunjuk sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai PMSE.
Subyek yang ditunjuk sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai PMSE.
antara lain
- Pelaku usaha PMSE, yang terdiri dari Pedagang Luar Negeri, Penyedia Jasa Luar Negeri, Penyelenggara PMSE (PPMSE) Luar Negeri, dan/atau PPMSE Dalam Negeri, yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
- Pelaku usaha PMSE yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE adalah yang telah memenuhi kriteria tertentu
- Wewenang penunjukan sebagai Pemungut PPN PMSE dilimpahkan dari Menteri Keuangan kepada Dirjen Pajak. Penunjukan sebagai Pemungut PPN PMSE mulai berlaku awal bulan berikutnya setelah tanggal ditetapkan keputusan penunjukannya. Pemungut PPN PMSE diberikan nomor identitas sebagai sarana administrasi perpajakan
Kriteria pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dalam PMSE antara lain meliputi:
- nilai transaksi dengan Pembeli Barang dan/atau Penerima Jasa di Indonesia melebihi jumlah tertentu* dalam 12 bulan; dan/atau
- jumlah traffic atau pengakses melebihi jumlah tertentu* dalam 12 bulan.
Dalam poin diatas menggunakan kata dan/atau. Artinya ini menempatkan apabila pelaku usaha yang telah menyediakan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak memiliki nilai transaksi yang melebihi standar minimum akumulasi transaksi yang sudah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak cc Kementerian Keuangan maka pelaku usaha tersebut dapat dilakukan pemungutan pajaknya.
Atau suatu pelaku usaha dapat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah trafficnya atau pengaksesnya melebihi jumlah tertentu yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Namun terhadap pelaku usaha PMSE yang sudah memenuhi persyaratan demikian namun belum adanya penunjukan atau pemberitahuan sebagai sebagai Pemungut PPN PMSE, dapat menyampaikan pemberitahuan kepada Dirjen Pajak untuk ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE.
Pelaku usaha yang dimaksudkan disini adalah pengusaha yang diartikan sebagai orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean
Selanjutnya ia ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang merupakan pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Adapun kriteria tertentu yang dimaksudkan dalam Per-12/PJ/2020 adalah nilai transaksi dengan Pembeli di Indonesia melebihi 600 juta Rupiah dalam satu tahun atau 50 juta Rupiah dalam satu bulan; dan/atau jumlah traffic atau pengakses di Indonesia melebihi 12 ribu dalam satu tahun atau seribu dalam satu bulan.
Maka selanjutnya Dirjen Pajak menunjuk Pelaku Usaha PMSE yang telah memenuhi batasan kriteria tertentu sebagai Pemungut PPN PMSE dengan menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang mulai berlaku awal bulan berikutnya setelah tanggal penetapan.
Obyek pemungutan Pajak Pertambahan Nilai PMSE
Obyek pemungutan Pajak Pertambahan Nilai PMSE antara lain terhadap Pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud, termasuk juga pemanfaatan Barang Digital (contoh: piranti lunak, multimedia, data elektronik) dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP), termasuk juga pemanfaatan Jasa Digital (contoh: layanan jasa berbasis piranti lunak).
Secara lebih rinci pemanfaatan BKP tidak berwujud antara lain:
- Penggunaan/hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merk dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
- Penggunaan/hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
- Penggunaan pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
- Pemanfaatan terkait hal-hal di atas, berupa:
- Penerimaan/hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
- Penggunaan/hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan
- Penggunaan/hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
- Penggunaan/hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
- Perolehan seluruhnya/sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dalam PSPE dalam asas perpajakan
Pada dasarnya pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dalam PSPE merupakan cerminan asas equity sebagaimana disampaikan oleh Adam Smith. Asas ini menghendaki orang atau pihak yang berada dalam keadaan ekonomi setara harus mendapatkan perlakuan yang setara dan seimbang tanpa lagi memperatikan domisili dari pelaku usaha penyediannya. Selanjutnya orang-orang yang berada dalam kondisi yang tidak setara harus memeperoleh perlakuan yang tidak setara juga dalam sistem perpajakan.
Maka dengan ini penulis berharap kita sebagai pengakses layanan BKP tidak berwujud mengetahui bahwa pelaku usaha yang menjalankan usaha di bidang penyedia BKP tersebut dikenakan pajak dan harus dipatuhi oleh pelaku usaha.