Lahan merupakan sumber daya pertanian yang paling penting bagi sektor pertanian di Indonesia. Hal ini dikarenakan sebagian besar sistem pertanian kita masih bergantung pada lahan (land based agriculture activities).
Potensi dan ketersediaan sumber daya lahan untuk pertanian di Indonesia sebenarnya masih terbilang cukup luas, namun pada masa yang akan datang diprediksi akan terjadi kompetisi pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dengan sektor non pertanian atau alih fungsi lahan.
Alih fungsi lahan saat ini sudah mulai marak terjadi. Lahan pertanian yang subur kemudian diubah fungsinya menjadi perumahan, industri, atau prasarana yang luasnya jauh lebih besar dibandingkan dengan luas sawah baru.
Lahan pertanian yang banyak terdapat di Indonesia khususnya Pulau Jawa adalah lahan sawah, yang merupakan suatu tipe penggunaan lahan yang dalam proses pengelolaannya memerlukan genangan air.
Lahan sawah merupakan lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi lahan. Hal ini dsebabkan oleh:
- Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi.
- Daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan.
- Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya, infrastruktur wilayah persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering.
- Pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar.
Dampak Alih Fungsi Lahan
Dampak alih fungi lahan sawah ke penggunaan non pertanian menyangkut dimensi yang sangat luas. Hal itu terkait dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat.
Perubahan ini secara langsung atau tidak langsung akan memberi dampak terhadap pergeseran kondisi ekonomi, tata ruang pertanian, serta prioritas-prioritas pembangunan pertanian wilayah dan nasional.
Bagi sektor pertanian, lahan merupakan faktor produksi utama dan tak tergantikan. Penurunan produksi yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan bersifat permanen dan sulit untuk diperbaiki. Sehingga berkurangnya luas lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian secara signifikan dapat mengganggu stabilitas kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan baik lokal maupun nasional.
Atas permasalahan tersebut, kemudian wajar apabila pemerintah mengupayakan strategi untuk menanggulangi alih fungsi lahan yang terus terjadi. Tidak dapat dipungkiri, jika alih fungsi lahan pertanian saat ini merupakan konsekuensi yang harus diterima dari meningkatnya aktivitas dan jumlah penduduk serta pembangunan suatu wilayah.
Konversi dan Ekstensifikasi Lahan Rawa
Dari sekian banyak alternatif misalnya saja urban farming yang memiliki segala aspek modern dalam budidayanya, konversi lahan rawa menjadi alternatif yang dipilih dan digarap serius oleh pemerintah.
Sekilas, konsep urban farming memanglah tampak mudah untuk diimplementasikan sebagai solusi menanggulangi alih fungsi lahan pertanian yang terjadi. Akan tetapi perlu diingat apabila petani kita didominasi oleh petani usia non produktif.
Artinya, akan sangat susah dan memakan waktu yang lama apabila pemerintah mengubah sistem pertanian yang selama ini dijalankan oleh petani dengan sistem konvensional menjadi sistem yang lebih modern dengan urban farming.
Penolakan juga tak luput menjadi konsekuensi apabila pertanian urban farming ini menjadi sistem pertanian yang harus dilakukan dalam rangka pengendalian alih fungsi lahan.
Kembali dalam konteksi koversi lahan rawa. Berdasarkan hasil pemetaan Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian Kementerian Pertanian, luas lahan rawa di seluruh Indonesia sekitar 33,43 juta ha. Lahan rawa di Indonesia tersebar di tiga pulau besar, yaitu di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Dari luas keseluruhan, sekitar 9-14 juta ha di antaranya sesuai untuk aktivitas pertanian namun baru 5,27 juta ha yang telah dimanfaatkan.
Jika Pemerintah mampu membuka sawah baru di lahan rawa seluas 200.000 – 500.000 ha setiap tahun misalnya, maka hal ini akan menjadi terobosan baru bagi penambahan produksi pangan di Indonesia.
Terobosan baru ini memang membutuhkan berbagai instrumen baik secara makro (kebijakan dan regulasi), messo (kelembagaan dan program), maupun mikro (riset, inovasi, dan kewirausahaan).
Lahan rawa yang akan dikonversi menjadi kawasan pertanian diprioritaskan pada lahan rawa yang ditumbuhi semak belukar yang memang secara ekologi cocok untuk kegiatan budidaya pertanian.
Sesuai dengan kajian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, sekitar 7,9 juta ha memiliki potensi untuk dilakukan pembukaan atau ekstensifikasi.
Karakteristik Lahan Rawa
Lahan rawa yang ada di Indonesia ada lima jenis yakni lahan kering masam, lahan kering iklim, lahan rawa pasang surut, lahan rawa lebak, dan lahan gambut. Diantara kelima lahan yang ada, lahan rawa pasang surut dan lahan rawa lebak adalah lahan yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi lahan penghasil komoditas pertanian.
Rawa pasang surut dapat menjadi sumber daya yang potensial bagi pertumbuhan ekonomi baru terhadap produksi komoditas pertanian, karena mempunyai beberapa keutamaan antara lain: ketersediaan air yang melimpah, topografi relatif datar, akses ke wilayah pengembangan dapat melalui jalur darat dan jalur air, kepemilikan lahan yang relatif luas, serta memiliki pengaturan waktu panen saat off season (di luar musim).
Lahan rawa memiliki karakteristik yang unik, diantaranya yaitu:
- Terbatasnya molekul oksigen
- Penurunan senyawa penerima elektron dan terakumulasinya senyawa-senyawa tereduksi
- Teroksidasinya lapisan atas tanah yang tergenang
- Terjadinya pertukaran senyawa terlarut antara tanah dan air
- Terjadinya akumulasi bahan organik
- Adanya tumbuhan air.
Pemanfaatan lahan rawa sebagai usaha pertanian masih terbatas, sehingga peluang untuk meningkatkan peran lahan ini ke depan masih cukup besar sebagai sumber pertumbuhan pertanian. Namun diperlukan kehati-hatian dalam pengeloaannya, karena sifat fisika-kimia tanahnya yang khas.
Pendekatan yang dapat dilakukan dalam pengembangan lahan rawa, harus mengacu kepada tipologi lahan dan tipe luapan air. Setiap tipologi lahan menghendaki cara pengelolaan yang berbeda.
Program RAISA dan SERASI
Optimalisasi lahan rawa butuh strategi dan penerapan teknologi yang tepat guna, mengingat keunikan yang dimiliki oleh lahan rawa. Lahan rawa yang diolah dengan baik bisa menjadi lahan pertanian produktif yang menambah pasokan pangan nasional.
Dalam hal ini, pemerintah melalui Kementerian Pertanian membentuk suatu program pertanian pada lahan rawa dengan nama RAISA dan SERASI.
1. RAISA
RAISA (Rawa Intensif, Super, dan Aktual) merupakan suatu sistem yang mengadopsi beberapa teknologi pegelolaan lahan rawa yang dihasilkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang Pertanian), Kementerian Pertanian.
RAISA yang digagas sejak tahun 2018 lalu tersebut telah melakukan tahap uji coba melalui demfarm (demonstration farming) di beberapa lokasi yang tersebar di Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan. Berdasarkan hasil uji coba, terbukti bahwa melalui RAISA didapatkan peningkatan prokutivitas padi pada lahan rawa pasang surut sebesar 13-20% bahkan pada saat off season.
Teknologi yang ditawarkan oleh RAISA terdiri atas penggunaan varietas unggul baru, pengelolaan air, pemanfaatan pembenah tanah, pemupukan spesifik berdasarkan Perangkat Uji Tanah Rawa (PUTR), pengendalian hama dan penyakit terpadu, serta mekanisasi pertanian.
2. SERASI
SERASI merupakan akronim dari Selamatkan Rawa Sejahterakan Petani. Sesuai dengan Permentan No. 40.1/PERMENTAN/RC.010/10/2018 tentang Pedoman Program Selamatkan Rawa Sejahterakan Petani Berbasis Pertanian Tahun 2019, program Serasi adalah program pengelolaan lahan rawa pasang surut atau lahan rawa lebak melalui optimalisasi pemanfaatan lahan rawa.
Program ini digagas sejak tahun 2019 yang lalu pada tiga provinsi berbeda yakni Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Lokasi yang menerapkan SERASI akan mendapatjan bantuan berupa sarana produksi pertanian seperti herbisida, dolomit, benih, pupuk hayatu, dan lainnya.
Program SERASI juga menjadi salah satu strategi Kementan untuk mewujudkan target Indonesia menjadi Lumbung Pangan Dunia tahun 2045.
Baca: Asa Indonesia Menjadi Lumbung Pangan Dunia 2045
Lahan rawa memang dikategorikan sebagai lahan sub optimal yang secara alamiah merupakan lahan dengan produktivitas yang rendah.
Akan tetapi ibarat raksasa yang tertidur, lahan rawa dapat menjadi alternatif dari maraknya alih fungsi lahan pertanian yang terjadi apabila dikelola dengan teknologi yang tepat guna.
Referensi:
- Fahmi, Arifin., Nur Wakhid. Karakteristik Lahan Rawa. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa.
- Purwanti, Tari. 2018. Petani, Lahan dan Pembangunan: Dampak Alih Fungsi Lahan terhadap Kehidupan Ekonomi Petani. Indonesian Journal of Anthropology, 3(2): 95-104.
- Sudana, Wayan. Potensi dan Prospek Lahan Rawa Sebagai Sumber Produksi Pertanian. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor: 141-151.
- Wandansari, Niken Rani., Yeni Pramita. 2019. Potensi Pemanfaatan Lahan Rawa untuk Mendukung Pembangunan Pertanian di Wilayah Perbatasan. Jurnal Agriekstensia, 18(1): 66-73.