1. Pendahuluan
Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 memberikan ruang bagi penggunaan Kontrak Berbasis Kinerja (Performance‑Based Contracting/PBC) dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP). Metode ini memindahkan fokus dari “apa yang dikerjakan” menjadi “hasil yang dicapai,” dengan pembayaran terkait pencapaian indikator kinerja tertentu. Namun, walaupun PBC menawarkan banyak keunggulan-seperti insentif efisiensi, pengurangan risiko, dan peningkatan kualitas-tidak semua proyek cocok menggunakan mekanisme ini. Artikel ini mengurai pengertian, manfaat, kriteria kesesuaian, batasan penerapan, hingga langkah persiapan jika ingin mengadopsi Kontrak Kinerja, sehingga PPK dapat menentukan metode terbaik bagi setiap paket pengadaan.
2. Kontrak Berbasis Kinerja: Pengertian dan Prinsip Dasar
Kontrak Berbasis Kinerja atau Performance-Based Contracting (PBC) adalah model kontrak dalam pengadaan pemerintah yang mengaitkan pembayaran penyedia dengan pencapaian hasil konkret, bukan sekadar penyediaan barang atau penyelesaian aktivitas. Artinya, yang dihitung dan dibayar bukan lagi seberapa banyak jam kerja, jumlah tenaga kerja, atau bahan yang digunakan, melainkan apakah hasil akhirnya sesuai target yang telah disepakati.
Perubahan orientasi dari input-based ke output- atau outcome-based ini memberikan ruang bagi penyedia untuk berinovasi dalam mencapai sasaran kinerja, sekaligus memberi instansi pemerintah ukuran keberhasilan yang lebih bermakna.
Contoh Konkrit Penerapan Kontrak Berbasis Kinerja:
- Jasa Kebersihan Gedung
Alih-alih membayar berdasarkan jumlah petugas dan jadwal kerja, penyedia dibayar berdasarkan luas area bersih yang terjaga dan hasil survei kepuasan penghuni gedung. Jika area bersih sesuai target dan warga puas, pembayaran penuh diberikan. Bila tidak, ada potongan otomatis. - Pemeliharaan Jalan Kabupaten
Dibanding membayar atas dasar jumlah lubang yang ditambal, instansi menetapkan standar kondisi jalan, misalnya indeks kelayakan minimal 85% sepanjang tahun. Jika penyedia gagal mempertahankan kondisi tersebut, pembayaran dikurangi atau dikenakan penalti. - Pengelolaan Call Center Pengaduan Layanan Publik
Alih-alih membayar per bulan atau berdasarkan jumlah petugas, penyedia dibayar berdasarkan kecepatan respons (dalam menit) dan rasio penyelesaian masalah (resolusi rate).
Prinsip Utama Kontrak Berbasis Kinerja:
- “You get what you pay for.”
(Anda hanya membayar jika hasilnya tercapai).Pembayaran tidak diberikan begitu saja hanya karena penyedia sudah bekerja. Harus ada bukti hasil, baik berupa output (produk fisik) maupun outcome (dampak pada pengguna atau sistem). - Transfer risiko ke penyedia.
Jika target tidak tercapai, risiko kerugian atau biaya tambahan ditanggung penyedia, bukan pemerintah. - Insentif untuk kinerja tinggi.
Bila penyedia melampaui target, kontrak bisa memberikan bonus atau pembayaran tambahan sebagai bentuk apresiasi terhadap efisiensi dan keunggulan kinerja. - Pengukuran kinerja terukur dan objektif.
Harus ada indikator yang disepakati sejak awal dan bisa diverifikasi, sehingga menghindari debat atau klaim sepihak di akhir proyek.
Dengan prinsip-prinsip ini, Kontrak Kinerja mengubah dinamika pengadaan dari sekadar “melaksanakan anggaran” menjadi “menghasilkan perubahan nyata.” Penyedia ditantang untuk tidak hanya hadir, tetapi juga berkontribusi terhadap pencapaian hasil pembangunan.
3. Keunggulan Kontrak Kinerja
Mengadopsi Kontrak Berbasis Kinerja dalam pengadaan pemerintah menghadirkan banyak manfaat, baik dari sisi efisiensi anggaran, kualitas layanan, hingga kepercayaan publik terhadap hasil pembangunan. Berikut lima keunggulan utama yang menjadikan PBC layak dipertimbangkan dalam berbagai jenis proyek:
1. Insentif Efisiensi
Kontrak Kinerja memberikan ruang inovasi kepada penyedia, karena metode dan alat yang digunakan tidak lagi diatur secara kaku. Yang penting adalah hasil akhir sesuai target. Dalam kerangka ini:
-
- Penyedia akan berupaya menemukan cara paling hemat dan cepat untuk mencapai hasil, misalnya penggunaan teknologi, efisiensi sumber daya manusia, atau skema kolaboratif.
- Tidak ada lagi pemborosan karena penyedia dibayar tetap meskipun bekerja tidak optimal.
- Pemerintah membayar sesuai nilai tambah yang dihasilkan, bukan sekadar usaha atau aktivitas.
Contoh: Sebuah perusahaan layanan kebersihan yang biasanya menyapu manual, bisa beralih ke mesin pembersih otomatis karena lebih cepat dan hemat tenaga.
2. Fokus pada Hasil, Bukan Prosedur
Instansi pemerintah sering terjebak dalam mengawasi proses, seperti: berapa jam pekerja hadir, apakah pakaian seragam sudah dipakai, atau bahan baku sudah dikirim. Dalam Kontrak Kinerja:
-
- PPK cukup memantau indikator hasil: bersih atau tidak, jalan rusak atau tidak, keluhan selesai atau belum.
- Administrasi menjadi lebih ramping karena tidak perlu mencatat seluruh aktivitas teknis harian.
- Waktu pengawasan bisa dialihkan ke analisis hasil dan peningkatan mutu pelayanan.
Manfaat: Beban birokrasi turun, dan pengelola fokus pada dampak nyata untuk publik.
3. Pengelolaan Risiko yang Lebih Seimbang
Dalam kontrak konvensional, semua risiko pelaksanaan cenderung ditanggung oleh pemerintah, termasuk jika ada keterlambatan, kesalahan teknis, atau biaya membengkak.
Dengan PBC:
-
- Risiko teknis dan manajerial beralih ke penyedia, karena mereka bebas menentukan cara kerja.
- Jika target tidak tercapai, penyedia bisa dikenakan penalti atau tidak menerima pembayaran penuh.
- Hal ini membuat penyedia lebih berhati-hati dan profesional dalam mengelola proyek.
Efeknya: Kinerja meningkat, dan pemerintah lebih terlindungi dari pemborosan akibat penyedia yang lalai.
4. Akuntabilitas yang Transparan dan Dapat Diaudit
Karena hasil yang diharapkan sudah ditentukan sejak awal, dan ukurannya bersifat kuantitatif dan terukur, maka:
-
- Auditor dapat dengan mudah memverifikasi: apakah target tercapai, dan apakah pembayaran layak diberikan.
- Tidak perlu menelusuri proses panjang selama proyek, cukup cek hasil akhir dan data lapangan.
- Risiko penyimpangan administratif dan manipulasi pelaporan lebih kecil.
Contoh: Jika target adalah minimal 95% tingkat kebersihan area publik berdasarkan survei mingguan, maka data survei itu yang dijadikan dasar pembayaran dan audit.
5. Peningkatan Kualitas Layanan Publik
Karena orientasinya adalah pada kepuasan pengguna dan hasil nyata, maka Kontrak Kinerja:
-
- Mendorong penyedia untuk memprioritaskan pengalaman pengguna (user experience),
- Meningkatkan standar layanan karena keberhasilan proyek tergantung langsung pada dampak yang dirasakan masyarakat,
- Membangun sistem layanan yang lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan riil.
Ilustrasi: Di bidang layanan digital, kontrak PBC bisa mendorong pengembang untuk membuat sistem yang ramah pengguna dan tidak hanya “jalan,” tetapi juga “nyaman dan efisien digunakan.”
4. Kapan Kontrak Kinerja Cocok?
Meskipun Kontrak Berbasis Kinerja (Performance-Based Contracting/PBC) memiliki banyak keunggulan, penerapannya tidak selalu cocok untuk semua jenis proyek. Kunci keberhasilan penggunaan model ini adalah kesesuaian antara karakteristik paket pengadaan dengan kemampuan untuk mengukur hasil (outcome) secara objektif dan konsisten.
Berikut adalah kondisi-kondisi yang membuat suatu proyek cocok menggunakan pendekatan PBC:
a. Proyek Layanan atau Kegiatan Rutin dengan Outcome yang Terukur
Kontrak Kinerja paling ideal diterapkan pada layanan yang sifatnya berulang dan dapat diukur hasilnya secara berkala, seperti:
-
- Kebersihan gedung dan fasilitas umum (misalnya: jalan, kantor, terminal, pasar).
- Layanan keamanan dan parkir dengan indikator keberfungsian dan keamanan.
- Jasa laundry di rumah sakit, dengan standar jumlah linen bersih dan waktu pengembalian.
- Operasional call center atau helpdesk, dengan indikator: kecepatan respon, rasio penyelesaian keluhan, tingkat kepuasan pengguna.
Karakteristik proyek semacam ini:
-
- Dilaksanakan secara berulang (harian/mingguan/bulanan),
- Hasilnya bisa dirasakan langsung oleh pengguna,
- Kinerjanya dapat diukur melalui survei, audit, atau sistem digital.
b. Pekerjaan Pemeliharaan dan Monitoring Infrastruktur
Jenis pekerjaan ini menekankan pada kondisi hasil akhir (jalan tetap rata, saluran tetap lancar), bukan sekadar pekerjaan fisik yang dilakukan. Contoh:
-
- Pemeliharaan jalan kabupaten, di mana tolok ukurnya adalah tidak ada lubang, bukan berapa kali aspal ditambal.
- Pengelolaan sistem drainase, dengan indikator tidak terjadi genangan atau banjir.
- Perawatan jaringan air bersih, dengan indikator tekanan air dan kebocoran minimal.
Dengan PBC, penyedia diberi keleluasaan menentukan cara terbaik menjaga kualitas infrastruktur, sementara instansi cukup menilai kondisi hasil akhir.
c. Proyek Layanan Publik yang Dapat Dikuantifikasi
Pada proyek pelayanan publik, PBC dapat digunakan jika outcome pelayanan dapat diukur dan dievaluasi secara sistematis, misalnya:
-
- Pelayanan SIM, paspor, atau izin usaha secara online, dengan indikator: kecepatan proses, tidak adanya pengaduan, dan kepuasan pengguna.
- Pengelolaan layanan administrasi desa, di mana targetnya adalah penyelesaian dokumen dalam waktu maksimal X hari.
- Program subsidi atau bantuan sosial, jika kinerjanya ditinjau berdasarkan jumlah sasaran yang menerima manfaat secara tepat waktu dan akurat.
Di proyek seperti ini, pengukuran berbasis SLA (Service Level Agreement) sangat mendukung keberhasilan kontrak kinerja.
d. Program Jangka Panjang dengan Outcome Sosial yang Jelas
Beberapa kegiatan pembangunan sosial dapat disusun dalam format PBC jika hasil akhirnya dapat dikuantifikasi:
-
- Pelatihan tenaga kerja atau pendidikan keterampilan, dengan indikator: tingkat kelulusan, sertifikasi, dan penempatan kerja.
- Kampanye kesehatan masyarakat, dengan indikator: peningkatan kunjungan ke fasilitas kesehatan, penurunan kasus penyakit tertentu.
- Program gizi anak, dengan indikator: penurunan angka stunting atau peningkatan indeks berat badan sesuai umur.
Ciri utama semua proyek yang cocok dengan Kontrak Kinerja adalah:
-
- Memiliki indikator kinerja yang terukur dan obyektif,
- Data hasil dapat dikumpulkan secara rutin,
- Penyedia dapat mengendalikan sebagian besar variabel pelaksanaan (tidak terlalu tergantung pada faktor luar),
- Tersedia sistem atau tim untuk mengawasi dan memverifikasi pencapaian hasil.
5. Batasan dan Saat Kontrak Kinerja Tidak Cocok
Sebagus apapun konsepnya, Kontrak Berbasis Kinerja bukan solusi universal. Penerapannya yang tidak tepat bisa menyebabkan kebingungan kontraktual, kegagalan pengukuran, bahkan ketidaksesuaian dengan prinsip efisiensi anggaran. Berikut adalah jenis proyek atau kondisi di mana sebaiknya PPK menghindari penggunaan PBC:
a. Proyek Satu Kali (One-Off) dan Desain/Desain-Konstruksi
Proyek seperti pembangunan gedung, jembatan, atau fasilitas baru lebih cocok menggunakan metode lump sum atau turnkey, karena:
-
- Fokusnya pada penyelesaian fisik, bukan pelayanan berkelanjutan.
- Kinerjanya dinilai berdasarkan kesesuaian spesifikasi dan dokumen teknis, bukan outcome jangka panjang.
- Risiko proyek ditanggung bersama dan perubahan desain bisa memicu konflik harga.
Contoh: Pembangunan kantor kelurahan, renovasi gedung sekolah, atau pembangunan bendungan tidak cocok memakai PBC karena hasil akhirnya berupa fisik, bukan kinerja layanan.
b. Ketidakpastian Lingkup dan Spesifikasi yang Tinggi
Kontrak Kinerja menuntut kejelasan hasil sejak awal. Bila lingkup proyek belum stabil, seperti pada tahap awal uji coba teknologi baru atau kondisi darurat, PBC menjadi riskan.
-
- Contoh kasus: Pekerjaan di daerah rawan bencana, proyek yang sangat tergantung pada faktor alam, atau saat desain masih berubah-ubah.
- Dalam kondisi seperti ini, target outcome bisa berubah sewaktu-waktu, menyebabkan perselisihan dan klaim kontrak.
c. Pengadaan Bahan/Alat/Komponen Spesifik
Pengadaan peralatan tertentu-misalnya alat medis, sistem elektronik, atau teknologi tinggi-lebih cocok dinilai berdasarkan spesifikasi teknis, bukan hasil penggunaannya.
-
- Pemerintah hanya perlu memastikan bahwa barang diterima dengan kualitas sesuai spesifikasi dan garansi.
- Outcome (seperti efektivitas alat di lapangan) seringkali di luar kendali penyedia, karena dipengaruhi oleh operator, lingkungan, atau kebijakan.
d. Skala Proyek yang Sangat Kecil
Untuk proyek kecil (misalnya < Rp 100 juta), biaya menyusun kontrak berbasis kinerja sering tidak sebanding dengan nilai paket. Pembuatan indikator, sistem pengukuran, dan audit terlalu membebani proses.
-
- Lebih efisien menggunakan metode penunjukan langsung atau e-purchasing.
- PBC sebaiknya difokuskan untuk proyek menengah hingga besar yang nilai dan skalanya layak.
e. Keterbatasan Sistem dan Kapasitas Monitoring
PBC membutuhkan sistem pengukuran hasil yang valid, reguler, dan bisa diverifikasi. Jika:
-
- Tidak tersedia sistem IT/e-monitoring,
- Tidak ada SDM yang bisa mengevaluasi kinerja penyedia,
- Outcome sulit diukur secara langsung atau independen,
maka PBC sebaiknya ditunda atau disiapkan dulu infrastruktur pendukungnya.
Contoh: Menilai “tingkat kepuasan masyarakat” tanpa alat survei atau data responsif bisa berujung pada klaim sepihak dan konflik pembayaran.
6. Kriteria Menentukan Kecocokan Kontrak Kinerja
Sebelum memutuskan untuk menggunakan Kontrak Berbasis Kinerja (PBC), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) harus mengevaluasi kelayakan proyek atau paket yang akan diadakan. Tidak semua pengadaan cocok untuk menggunakan pendekatan ini, sehingga penting untuk melakukan penilaian awal berbasis kriteria yang rasional dan obyektif.
Berikut adalah lima kriteria utama yang dapat digunakan sebagai alat bantu pengambilan keputusan, beserta penjelasan aplikatifnya:
Kriteria | Pertanyaan Kunci | Penjelasan |
---|---|---|
1. Keterukuran Outcome | Apakah indikator kinerja bisa diukur secara obyektif, konsisten, dan berkala? | Indikator kinerja harus bersifat kuantitatif, terverifikasi, dan tidak multitafsir. Misalnya: tingkat kebersihan, waktu respon, persentase keluhan terselesaikan. Jika pengukuran hanya berdasarkan “feeling” atau tidak ada standar baku, maka kontrak kinerja bisa bermasalah. |
2. Kontrol terhadap Variabel | Sejauh mana penyedia dapat mengendalikan faktor-faktor yang memengaruhi hasil akhir (outcome)? | Penyedia harus punya kontrol penuh atau mayoritas terhadap cara mencapai target. Jika outcome sangat tergantung pada keputusan pemerintah, bencana alam, atau kebijakan lain, maka PBC menjadi tidak adil bagi penyedia. |
3. Nilai dan Skala Paket | Apakah nilai kontraknya cukup besar atau kompleks sehingga layak menerapkan sistem berbasis kinerja? | Paket yang terlalu kecil (< Rp 100 juta) kurang ekonomis jika disertai sistem evaluasi kinerja yang rumit. PBC ideal diterapkan pada paket menengah-besar, bernilai ratusan juta hingga miliaran rupiah. |
4. Fasilitas Monitoring dan Evaluasi | Apakah tersedia alat/sistem untuk memantau dan mengevaluasi pencapaian kinerja secara real-time atau periodik? | PBC butuh e‑Monitoring, dashboard evaluasi, dan SDM teknis. Jika PPK tidak bisa mengawasi hasil secara reguler, indikator outcome akan sulit diverifikasi. |
5. Risiko Eksternal | Seberapa besar kemungkinan outcome dipengaruhi oleh faktor luar kendali penyedia, seperti cuaca ekstrem, kebijakan baru, atau harga pasar? | Jika risiko luar terlalu tinggi, maka PBC akan cenderung memberatkan penyedia dan bisa memicu sengketa kontrak. Perlu mekanisme penyesuaian yang adil. |
Prinsipnya: Jika mayoritas kriteria di atas terpenuhi dengan jawaban “ya”, maka kontrak kinerja layak diusulkan sejak tahap RUP dan disiapkan dalam spesifikasi teknis serta metode evaluasi paket pengadaan.
7. Langkah Persiapan Pelaksanaan Kontrak Kinerja
Setelah menilai bahwa suatu paket pengadaan cocok untuk menggunakan PBC, PPK perlu melakukan serangkaian persiapan teknis dan administratif agar pelaksanaan kontrak berjalan lancar. Tanpa persiapan yang matang, kontrak kinerja justru bisa menimbulkan kebingungan atau perselisihan.
Berikut adalah langkah-langkah yang dapat diterapkan secara bertahap:
1. Menyusun RKS Berbasis Outcome
-
- Mulailah dengan mendesain Rencana Kerja dan Syarat (RKS) yang menjelaskan:
- Indikator kinerja utama (Key Performance Indicators/KPIs),
- Standar minimum (threshold) yang harus dicapai,
- Cara pengukuran dan frekuensi evaluasi.
- Gunakan prinsip SMART dalam menyusun indikator:
- Spesifik: fokus pada hasil yang jelas (misalnya: tingkat keluhan terselesaikan minimal 90%),
- Measurable: bisa diukur dalam angka,
- Achievable: realistis dicapai oleh penyedia,
- Relevant: sesuai tujuan proyek,
- Time-bound: ada batas waktu pencapaiannya.
- Mulailah dengan mendesain Rencana Kerja dan Syarat (RKS) yang menjelaskan:
Contoh KPI yang baik: “Waktu tanggap maksimal 5 menit sejak pengaduan diterima secara elektronik.”
2. Riset Pasar dan Harga Acuan
-
- Penyusunan HPS harus mempertimbangkan:
- Biaya operasional aktual yang dibutuhkan untuk mencapai outcome,
- Estimasi risiko, biaya tenaga kerja, teknologi, dan peralatan penunjang,
- Bukan sekadar input per jam atau per hari, tetapi biaya per capaian kinerja.
- Lakukan benchmarking ke proyek sejenis di instansi lain atau swasta.
- Penyusunan HPS harus mempertimbangkan:
Tips: Tambahkan margin risiko dan insentif untuk menghitung harga yang realistis dalam model PBC.
3. Penyiapan Sistem Pengukuran Kinerja
-
- Siapkan sistem yang bisa mencatat, melaporkan, dan memverifikasi indikator kinerja:
- Gunakan e‑Monitoring yang terhubung dengan sistem PBJ atau spreadsheet dashboard,
- Bisa juga menggunakan survei lapangan, QR check-in, sensor otomatis, atau aplikasi mobile.
- Tetapkan siapa yang bertanggung jawab atas input data dan validasi.
- Siapkan sistem yang bisa mencatat, melaporkan, dan memverifikasi indikator kinerja:
Prinsip: Semakin otomatis sistem monitoring, semakin objektif hasil pengukuran.
4. Merancang Mekanisme Pembayaran Berbasis Milestone
-
- Pembayaran harus dikaitkan dengan capaian hasil, misalnya:
- 30% saat hasil awal terlihat dan indikator dasar terpenuhi,
- 50% saat minimal 70% target tercapai,
- 20% terakhir setelah semua outcome tervalidasi secara penuh.
- Hindari pembayaran penuh di awal (upfront) kecuali untuk kebutuhan operasional yang sangat mendesak dan sesuai regulasi.
- Pembayaran harus dikaitkan dengan capaian hasil, misalnya:
Efeknya: Penyedia tetap termotivasi menjaga performa hingga proyek selesai.
5. Menyusun Perjanjian Kualitas dan Sanksi
-
- Masukkan ketentuan dalam kontrak bahwa:
- Kegagalan mencapai target → potongan pembayaran atau denda,
- Keberhasilan melampaui target → bonus (bisa berupa tambahan pembayaran atau rekomendasi proyek lanjutan).
- Tetapkan batas toleransi kegagalan (misal: ≤5% dari target masih dianggap bisa diterima).
- Masukkan ketentuan dalam kontrak bahwa:
Tujuan: Menciptakan keadilan dan disiplin kinerja bagi penyedia.
6. Merancang Proses Evaluasi dan Verifikasi Hasil
-
- Bentuk tim evaluasi independen, terdiri dari:
- Unsur pengawasan internal (inspektorat atau SPI),
- Staf teknis unit kerja,
- Bila perlu, mitra akademisi atau asosiasi profesional.
- Tetapkan format evaluasi: check list kinerja, berita acara penilaian, dan formulir validasi.
- Jadwalkan evaluasi secara berkala: mingguan, bulanan, atau tahapan tertentu sesuai progres.
- Bentuk tim evaluasi independen, terdiri dari:
Catatan: Evaluasi yang tepat waktu menghindarkan konflik akhir proyek dan menjaga kepercayaan antarpihak.
8. Kesimpulan
Kontrak Berbasis Kinerja adalah metode revolusioner dalam PBJP yang menekankan hasil nyata dan efisiensi. Namun, tidak semua paket cocok menggunakan PBC-paling ideal untuk layanan rutin, pemeliharaan, dan proyek outcome‑driven yang terukur. PPK harus melakukan penilaian cermat atas keterukuran, kontrol variabel, nilai, dan kesiapan sistem monitoring sebelum memutuskan PBC. Dengan persiapan RKS SMART, riset pasar yang solid, dan mekanisme pembayaran berbasis milestone, PBC dapat menjadi instrumen ampuh untuk menggenjot kinerja penyedia, meningkatkan akuntabilitas, serta mencapai dampak sosial dan ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat.