Polri Aktifkan Virtual Police: Tugas, Cara Kerja, Dasar Hukum, hingga Kontroversi

Berdasarkan Sudar Edaran Kapolri /2/11/2021 Tentang Kesadaran Budaya Beretika Untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mengaktifkan polisi dunia maya atau virtual police sejak 23 Februari 2021. Diaktifkannya virtual police ini ditujukan untuk memerangi tindak pidana siber yang kian marak terjadi. Polisi dunia maya ini juga nantinya bertugas untuk memonitor, mengedukasi memberikan peringatan, serta melakukan pencegahan kepada masyarakat agar terhindar dari tindak pidana siber baik sebagai korban maupun pelaku.

Polisi dunia maya ini juga ditujukan untuk mengurangi konten-konten hoax yang ada di media sosial dan mencegah tindak pidana UU ITE. Adanya virtual police ini, Polri ingin menegakkan restorative justice di mana tidak dibutuhkan adanya kurungan penjara apabila kepentingan dan kerugian korban sudah direstorasi serta pelaku sudah menyatakan penyesalan. Inti, dari restorative justice adalah penyesalan pelaku dan membuatnya jera. Adapun sejumlah media sosial yang saat ini dipantau oleh polisi dunia maya adakag Instagram, Twitter, dan Facebook.

Cara Kerja Virtual Police

Dalam menjalankan tugasnya, polisi dunia maya juga memiliki aturan dan cara kerja. Berikut cara kerja virtual police atau polisi dunia maya.

  1. Polisi dunia maya akan mengumpulkan akun-akun yang mengunggah konten dengan potensi pelanggaran pidana di dunia maya. Konten yang dimaksud tidak terbatas pada gambar saja tetapi juga konten dalam bentuk lain seperti teks, audio, maupun video.
  2. Polisi dunia pun akan menyimpan unggahan untuk dikonsultasikan dengan tim ahli seperti ahli pidana, ahli bahasa, ahli informasi dan transaksi elektronik (ITE).
  3. Jika para ahli ini menyatakan konten temuan tersebut memuat pelanggaran pidana, maka akan diajukan ke direktur siber atau pejabat yang ditunjuk untuk bertugas di bagian siber untuk memberikan pengesahan.
  4. Virtual Police Alert atau peringatan dari polisi dunia maya ini akan dikirim secara pribadi kea kun yang bersangkutan. Pengiriman peringatan ini juga dilakukan secara resmi.
  5. Peringatan pun akan dikirimkan lewat direct message (DM).
  6. Jika konten tersebut tak kunjung dihapus oleh si pengunggah, maka polisi akan kembali mengirimkan pemberitahuan.
  7. Jika setelah pemberitahuan kedua, pihak pelapor masih merasa belum ada perubahan atau merasa masih dirugikan, maka akan dilakukan mediasi. Memang, sejak awal, kehadiran virtual police ini ditujukan untuk menegakkan restorative justice dalam UU ITE.
  8. Kasus tersebut pun dapat diproses sesuai hukum dan undang-undang yang berlaku apabila setelah dilakukan mediasi masih belum ada kesepakatan.

 

Kontroversi Virtual Police di Indonesia

Dilansir dari ugm.ac.id, Pakar Literasi Digital Universitas Gajah Mada, Dr. Novi Kurnia menilai kehadiran polisi dunia maya ini sebagai upaya kepolisian untuk memoderasi konten-konten negatif di dunia siber khususnya yang mengarah pada tindak pidana. Dalam artikel yang ditayangkan oleh UGM pada 26 Februari 2021 tersebut memuat pernyataan Dr. Novi bahwa virtual police ini juga perlu memperhatikan berbagai asek dalam pelaksanaannya seperti aspek posisi, proses, transparansi, perlindungan data diri serta hak pengguna digital dan kolaborasi moderasi konten.

Namun, banyak pihak yang juga kontra terhadap keberadaan polisi dunia maya ini, karena berpotensi membuka ruang kriminalisasi yang baru serta mengekang kebebasan pendapat di muka umum. Hal ini dilakukan karena  mengingat dunia maya juga termasuk ranah publik. Banyak netizen yang berspekulasi bahwa kehadiran virtual police ditujukan kepada mereka yang mengkritik pemerintah. Terlebih, sempat pula diisukan virtual police ini akan menegur akun-akun WhatsApp, namun isu ini kemudian dibantah langsung oleh pihak Polri dan menyatakan WhatsApp adalah ranah privat.

Bagaimana Virtual Police Di Berbagai Negara?

Banyak negara di dunia sudah menerapkan polisi dunia maya atau yang dikenal pula dengan virtual police ini. Beberapa negara yang menerapkan polisi dunia maya ini adalah, Tiongkok, India, dan Kanada. Di Tiongkok, virtual police ini sudah ada sejak tahun 2007. Pelaporannya pun terbilang cukup mudah, netizen hanya perlu menekan gambar kartun dari dua polisi yang muncul di website. Setelah mengisi beberapa data untuk kebutuhan pelaporan, maka laporan tersebut akan segera dibuat hanya dalam 30 menit.

Sementara di India, virtual police bekerja sama dengan Commonwealth Human Rights Initiative, dan mengembangkan Virtual Police Station agar masyarakat bisa melapor melalui Virtual Police Station tersebut. Adanya Virtual Police Station ini memungkinkan masyarakat India untuk bisa memasuki kantor polisi secara virtual. Lain halnya dengan Kanada. Di Brampton, Kanada, polisi menyediakan website untuk melakukan pelaporan alih-alih Virtual Police Station. Kepolisian Brampton, menggunakan kios yang disebarkan di beberapa titik. Adanya kios tersebut, masyarakat dapat mengakses langsung menuju nomor aduan kepolisian.

Virtual Police untuk Masyarakat

Tidak dipungkiri, masyarakat sangat membutuhkan virtual police ini untuk menjamin masyarakat agar terhindar dari kejahatan siber. Angka kejahatan siber di Indonesia pun terbilang cukup tinggi. Di tahun 2017, Indonesia menduduki peringkat kedua dengan kejahatan siber tertinggi di dunia. Kemudian, di tahun 2020, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat ada 88 juta lebih serangan siber di Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa tingginya kejahatan siber di Indonesia dan kehadiran virtual police menjadi harapan masyarakat dalam memerangi kejahatan siber.

Namun, virtual police masih membutuhkan banyak pembenahan. Banyak masyarakat yang mengeluhkan, polisi maupun virtual police lebih cepat bergerak apabila ada tindak kejahatan siber yang viral atau melibatkan orang-orang yang terkenal seperti pejabat maupun selebgram. Budaya membuat viral suatu masalah sebelum dibawa ke ranah hukum ini pun menimbulkan masalah baru seperti melanggar hak privasi orang lain. Identitas pelaku maupun korban sudah dibongkar terlebih dahulu sebelum polisi melakukan penyidikan. Hal ini tentunya akan sangat merugikan apabila setelah penyidikan fakta-fakta yang diungkapkan saat viral ternyata adalah fakta yang salah. Selain itu, kejahatan siber yang melibatkan transaksi elektronik juga kurang mendapat perhatian, di mana para korban dari tindak pidana transaksi elektronik dengan jumlah atau nilai penipuan yang kecil akan kesulitan dalam melakukan pelaporan. Padahal, para pelaku kejahatan transaksi elektronik ini sangat banyak, dan perlu dibuat jera agar tidak terjadi kejahatan-kejahatan lainnya yang sama.

Selain itu, virtual police juga harus memberi edukasi tentang literasi digital selain mengedukasi masyarakat tentang tindak pidana UU ITE. Faktanya saat ini literasi digital Indonesia memang cukup rendah. Dilansir dari katadata.co.id, skor indeks literasi digital Indonesia berada di level sedang yakni duatas 3.00, di mana skor yang baik adalah 4.00. Survey Microsoft menyebutkan, Netizen Indonesia merupakan netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Hal ini berpotensi adanya kejahatan dunia maya, cyberbullying sehingga sangat dibutuhkan adanya literasi digital.

Meski belum ada penelitian yang mengaitkan rendahnya literasi digital dengan tingginya angka kejahatan siber, namun faktor literasi digital juga perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya kejahatan siber yang lain. Tindakan siber dunia maya memang harus diawasi dan penggunanya perlu diedukasi namun perlu diingat juga pengawasaan penggunaan media sosial ini perlu regulasi yang jelas agar jangan sampai tindakan ini mengekang hak-hak masyarakat.

 

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
murnioktaviani

Seorang pemerhati media, politik, hukum, dan pemerintahan.

Artikel: 6

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *