Menakar Undang-Undang Perkawinan dan Perlindungan Anak dari Perkawinan Dini

UU No. 16/2019 tentang Perubahan atas UU No. 1/1974 tentang Perkawinan telah menaikkan usia minimal kawin perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Adanya undang-undang ini diharapkan dapat menekan angka perkawinan anak di Indonesia yang sangat tinggi Namun, perkawinan anak justru kembali melonjak di tahun 2020. Hal ini disebabkan oleh adanya kebijakan dispensasi nikah. Dilansir dari katadata.co.id, terjadi pelonjakan pengajuan permohonan dispensasi menikah, yakni 23.700 permohonan di tahun 2019, dan 34.000 permohonan pada periode Januari hingga Juni 2020.

Apa itu Dispensasi Nikah?

Dispensasi nikah adalah pemberian hak kepada seseorang yang belum dibawah umur untuk menikah. Pemberian dispensasi ini juga tidak sembarangan dilakukan namun bukan hal sulit untuk mendapatkannya. Pengajuan dispensasi ini dapat dengan mudah dilakukan oleh orangtua selama ada alasan yang jelas untuk melakukannya disertai alat bukti dan saksi-saksi. Sepanjang Januari periode Januari hingga Juni 2020 terdapat 34.000 permohonan dispensasi perkawinan dan 97% diantaranya telah dikabulkan.

Namun pemberian kebijakan dispensasi nikah ini justru menjadi pemicu meningkatnya perkawinan anak yang sudah berusaha ditekan oleh banyak kalangan. Mengingat banyak sekali masalah yang ditimbulkan dari perkawinan anak. Peningkatan usia minimum untuk menikah, seolah menjadi hal yang sia-sia apabila masih ada celah dalam melakuan praktik perkawinan anak dengan mengadakan kebijakan dispensasi menikah.

Mengapa Anak Perlu Dilindungi dari Perkawinan Anak?

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1, Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. R.A. Kosnan (dalam Mizan: 2017) mendefinisikan anak sebagai manusia muda dalam umur, muda dalam jiwa dan perjalanan hidupnya karena mudah terpengaruh untuk keadaan sekitarnya, sehingga anak-anak memerlukan perhatian dan pendampingan secara intensif. Akan tetapi, sebagai makhluk sosial yang paling rentan dan lemah. Di usia 18 tahun ke bawah, anak-anak dianggap belum bisa memutuskan dan memikul tanggung jawab yang besar. Selain itu, anak-anak yang terlibat dalam perkawinan anak berpotensi menjadi pelaku maupun korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), mengingat di usia mereka kondisi emosi masih belum cukup stabil.

Perkawinan juga telah banyak merenggut hak-hak anak. Anak yang melakukan perkawinan dini harus mengalami putus  sekolah karena sekolah tak mengizinkan anak yang telah menikah kembali mengenyam pendidikan khususnya pendidikan dasar formal. Anak-anak pun harus memikul tanggung jawab rumah tangga yang tak semestinya dilakukan di usia mereka. Ini pun menghilangkan hak anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai fase kehidupan yang seharusnya, karena mereka dipaksa untuk berpikir selayaknya orang dewasa yang telah matang dalam menghadapi perkawinan.

Di sisi lain perkawinan Anak ini menimbulkan berbagai permasalahan baru. Anak-anak usia dibawah 18 tahun semestinya masih bergantung pada orang tua secara finansial. Mereka belum mampu bekerja dan menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Permasalahan ini pun menjadi beban bagi negara karena memperparah kemiskinan. Hal ini pun membentuk sebuah lingkaran setan kemiskinan atau kemiskinan struktural yang akan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Anak-anak yang lahir dari keluarga yang tidak mapan akan mengalami gizi buruk serta kurang pendidikan. Akhirnya, orangtua yang menjadi korban perkawinan anak akan mengulang kisah yang sama, menjadikan anak mereka sebagai korban perkawinan anak.

Siklus kemiskinan ini pun berdampak pula pada kesehatan. Perkawinan anak meningkatkan  angka kematian ibu dan bayi karena kondisi fisiologis ibu yang belum siap menerima kehamilan. Selain itu, kondisi ekonomi membuat ibu tak cukup gizi saat hamil dan dapat melahirkan generasi kurang gizi bahkan cacat. Angka kematian ibu dan bayi ini pun menjadi cerminan rendahnya kualitas kesehatan di suatu negara.

Penyebab Tingginya Perkawinan Anak

Ada banyak hal yang dapat mendorong terjadinya perkawinan anak, salah satunya adalah tradisi. Sebagai contoh, Rembang Jawa Timur terdapat suatu kepercayaan apabila ada lamaran yang datang pada seorang gadis, lamaran tersebut haruslah diterima, sebab apabila tidak diterima sang anak tidak akan mendapat lamaran kembali sampai tua. Kemudian ada juga tentang kepercayaan, di mana menikahkan anak dianggap menghindarkan anak dari zina.

Kedua, adalah faktor ekonomi. Hal ini ditemukan oleh peneliti asal Universitas Gadjah Mada Djamilah dan Kartikawati (2014), di Kalimantan Selatan dan Banyuwangi terdapat kasus orangtua yang mengawinkan anak dengan tujuan membayar hutang. Selain membayar hutang, menikahkan anak dianggap sebagai upaya penyelesaian kendala ekonomi karena berkurangnya anggota keluarga yang harus diberi makan.

Ketiga, minimnya informasi tentang seksualitas yang menyebabkan anak-anak melakukan aktivitas seksual yang beresiko dan tidak bertanggung jawab. Aktivitas seksual yang tidak bertanggungjawab menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan yang berujung pada perkawinan dan aborsi. Kasus-kasus kehamilan di luar nikah ini cenderung diselesaikan dengan solusi yang sama, perkawinan, tanpa peduli salah satu maupun kedua mempelai masih berusia dibawah 18 tahun.

Mencegah Perkawinan Anak: Apa yang Bisa dilakukan?

Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mencegah perkawinan anak. Salah satunya yang paling krusial adalah dengan memberikan pendidikan seks. Penelitian yang dilakukan oleh Donkor & Lariba (2017) Jurnal Biologi Indonesia menunjukan, tidak memberikan pendidikan seks kepada anak dan remaja justru membuat mereka semakin rentan karena remaja memiliki rasa penasaran yang tinggi sehingga mereka terdorong untuk mengeksplorasi seksualitasnya secara tidak bertanggungjawab.

Sayangnya, masih banyak Indonesia yang belum memperoleh pendidikan seks. Hasil riset yang dilakukan oleh Durex Indonesia menunjukkan 84% anak Indonesia belum memperoleh edukasi seks. Minimnya edukasi seks pada anak ini disebabkan oleh tradisi dan adat di Indonesia yang masih menganggap seks adalah hal yang tabu dan menganggap pendidikan seks adalah ajakan untuk melakukan seks bebas. Padahal, pendidikan seks sesungguhnya bertujuan untuk mencegah anak-anak melakukan aktivitas seksual yang tak bertanggungjawab tersebut. Pendidikan seks tidak hanya berbicara tentang anatomi organ reproduksi, tetapi juga berbicara tentang konsekuensi-konsekuensi yang akan diterima ketika melakukan hubungan seksual seperti konsekuensi kehamilan, penyakit menular seksual, hingga dihadapkan pada dunia perkawinan yang penuh tanggungjawab dan komitmen. Pendidikan seks memberi pemahaman kepada ank-anak terkait dengan kesetaraan gender, keragaman gender, dan konsensus untuk menghindari kekerasan seksual serta kaitannya dengan norma-norma yang berlaku.

Pendidian seks juga memiliki peran besar dalam menekan angka perkawinan anak. Sebut saja negara yang berhasil menekan angka perkawinan anak melalui pendidikan seks adalah India. Perkawinan anak di India mengalami penurunan hingga 47% selama 10 tahun terakhir. Angka ini jauh melampaui Indonesia yang hanya turun 3,5% dalam 10 tahun terakhir. Program pendidikan seks di India mengajarkan kesetaraan gender dan keragaman seksual, serta anak-anak program ini dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan seperti permainan dan seni. Oleh karena itulah, sangat penting menerapkan pendidikan seks kepada anak. Saat ini sudah banyak literatur maupun website yang menyediakan panduan memberi pendidikan seks kepada anak. UNICEF juga sudah mengeluarkan panduan pemberian pendidikan seks untuk anak sejak usia balita. Harapannya, pendidikan seks ini dapat menekan perkawinan anak serta memberi kesempatan kepada anak untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya.

 

 

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
murnioktaviani

Seorang pemerhati media, politik, hukum, dan pemerintahan.

Artikel: 6

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *