Pada akhir-akhir ini, telah terjadi perdebatan mengenai pemotretan dan perekaman proses persidangan di pengadilan. Perdebatan itu timbul setelah Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan yang salah satunya mengatur tentang pemotretan dan perekaman proses persidangan di pengadilan. Aturan tersebut dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan (Perma No. 5 Tahun 2020). Hadirnya Perma No. 5 Tahun 2020 paling tidak menimbulkan dua pendapat terkait dengan pemotretan dan perekaman proses persidangan di pengadilan. Pertama, pemotretan dan perekaman proses persidangan di pengadilan merupakan tindakan yang dilarang. Kedua, berpendapat sebaliknya, yaitu tidak ada larangan untuk memotret dan merekam proses persidangan di pengadilan.
Pertanyaannya adalah “Apakah pemotretan dan perekaman proses persidangan di pengadilan benar-benar dilarang atau sebaliknya?”. Untuk menjawab pertanyaan ini, maka perlu dilihat rumusan aturan dimaksud yang dicantumkan dalam Pasal 4 ayat (6) Perma No. 5 Tahun 2020, yaitu “Pengambilan foto, rekaman audio, dan/atau rekaman video visual harus seizin hakim/ ketua majelis hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya persidangan”. Pemotretan (pengambilan foto) dan perekaman (audio dan visual) tidak berlaku bagi persidangan yang tertutup untuk umum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (7) Perma No. 5 Tahun 2020. Jadi, pemotretan dan perekaman proses persidangan di pengadilan hanya berlaku bagi persidangan yang terbuka untuk umum.
Rumusan pasal 4 ayat (6) Perma No. 5 Tahun 2020 tersebut apabila dipahami, maka sebenarnya tidak melarang tindakan memotret dan merekam proses persidangan di pengadilan. Mahkamah Agung melalui peraturannya hanya memberikan syarat apabila hendak memotret dan merekam proses persidangan di pengadilan harus ada izin dari hakim/ ketua majelis hakim yang bersangkutan. Kata “harus” di sini menunjukkan sifat imperatif dari aturan tersebut, yang berarti bahwa pemotretan dan perekaman proses persidangan di pengadilan hanya dapat dilakukan apabila telah ada izin dari hakim/ ketua majelis hakim. Konsekuensinya adalah pemotretan dan perekaman proses persidangan di pengadilan tidak dapat dilakukan tanpa adanya izin dari hakim/ ketua majelis hakim yang bersangkutan. Dengan demikian, izin hakim/ ketua majelis hakim merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seseorang ketika hendak memotret dan merekam proses persidangan di pengadilan.
Pemotretan dan perekaman proses persidangan di pengadilan yang dilakukan tanpa izin dari hakim/ ketua majelis hakim merupakan suatu pelanggaran yang dapat dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 Perma No. 5 Tahun 2020. Pelaku yang menghina pengadilan dapat dijerat dengan ketentuan yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kualifikasi tersebut sesuai dengan alasan pembentukan Perma No. 5 Tahun 2020, yaitu untuk menghindari terjadinya sikap dan perilaku yang dapat mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas penegakan hukum di pengadilan. Sikap dan perilaku demikian berakibat pada terganggunya rasa aman bagi hakim, aparatur pengadilan, serta masyarakat pencari keadilan, dan pada akhirnya peradilan yang berwibawa tidak dapat terwujud.
Penulis sangat mengapresiasi terbitnya Perma No. 5 Tahun 2020 karena dengan adanya syarat untuk melakukan pemotretan dan perekaman proses persidangan di pengadilan dapat menjadi sarana untuk memperlancar pelaksanaan tugas penegakan hukum di pengadilan, namun tetap perlu menjadi perhatian beberapa hal, yaitu independen hakim dan transparansi proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Perma No. 5 Tahun 2020 hanya menyatakan bahwa pemotretan dan perekaman proses persidangan harus dengan izin hakim/ ketua majelis hakim yang bersangkutan yang diajukan sebelum sidang dimulai. Perma tersebut tidak mengatur mengenai syarat-syarat untuk dapat melakukan pemotretan dan perekaman proses persidangan di pengadilan yang dijadikan sebagai pedoman hakim/ ketua majelis hakim. Penentuan diizinkan atau tidaknya diserahkan kepada hakim/ ketua majelis yang bersangkutan. Aturan demikian, menurut penulis tidak menjamin independen hakim ketika ada pengajuan izin melakukan pemotretan dan perekaman proses persidangan di pengadilan. Oleh karena itu, Mahkamah Agung sangat perlu untuk membuat pedoman bagi hakim/ ketua majelis hakim untuk menentukan sikap terkait dengan pengajuan izin pemotretan dan perekaman proses persidangan di pengadilan.
Selain itu, aturan mengenai kewajiban izin hakim/ ketua majelis hakim yang bersangkutan ketika akan memotret dan merekam proses persidangan di pengadilan juga dapat mengurangi transparansi pengadilan. Ketika hakim/ ketua majelis hakim tidak memberikan izin untuk melakukan pemotretan dan perekaman proses persidangan di pengadilan, maka hanya orang-orang tertentu yang dapat mengetahui proses pemeriksaan perkara bersangkutan. Hal ini berakibat pada kurangnya transparansi pengadilan dalam memeriksa suatu perkara. Oleh karena itu, Mahkamah Agung juga perlu menyediakan sarana sendiri untuk memotret dan merekam proses persidangan di pengadilan yang kemudian diupload di website lembaga peradilan bersangkutan. Dengan demikian, transparansi pengadilan tetap terjaga meskipun telah ada Perma No. 5 Tahun 2020 yang memberikan syarat bagi seseorang yang akan memotret dan merekam proses persidangan di pengadilan berupa izin hakim/ ketua majelis hakim yang bersangkutan. Aturan demikian lebih fair karena dapat menghilangkan stigma negatif yang mungkin akan timbul di masyarakat terkait dengan proses persidangan di pengadilan.