“Idzaa aradta an tas’ada fa asidil akharin”, jika engkau ingin meraih bahagia, maka bahagiakanlah orang lain.
Hari ini, ketika bencana datang bertubi-tubi silih berganti, sungguh tak ada lagi masanya bagi kita untuk hanya fokus pada kesenangan diri sendiri. Pandemi belum lagi bertemu ujungnya, sedang saudara kita di beberapa bagian provinsi lain di negeri ini sibuk berkutat dengan bencana longsor, banjir bandang dan musibah lainnya yang mengiris hati. Kelaparan, kekurangan obat-obatan, tak punya tempat berteduh, bahkan kehilangan sanak kerabat di tengah situasi yang semakin tak terkendali ini.
Meski pun saat ini kita tengah hidup dalam masyarakat yang mulai terjangkit budaya individualis, akan tetapi, selalu akan muncul tunas-tunas baru yang berusaha peduli dan merangkul sesama. Akan selalu ada orang-orang yang istiqomah menebar butir-butir kebaikan, ikhlas dan tulus berbagi serta melayani sepenuh hati.
Terkadang logika rasanya tak sampai untuk memahami, atas dasar apa orang-orang terus bersemangat berkorban demi kepentingan orang lain? Mengorbankan harta benda, tenaga dan waktu yang mereka punya. Menjadikan kepentingan umat lebih utama dari pada kebutuhan dirinya sendiri.
Rasullullah: Teladan dalam Pengorbanan
Rasulullah dan para sahabat telah memberikan teladan terbaiknya dalam melayani umat. Tak ada satu hari pun yang berlalu dalam hidupnya tanpa mengorbankan seluruh dirinya untuk kemaslahatan umat.
Maka, inilah hari-hari menjelang perang Khandaq. Seperti yang diriwayatkan Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu.
Saat itu kota madinah dikepung musim dingin yang menggigilkan tulang. Sementara di luar, mereka harus menggali parit sepanjang 5 kilometer untuk menghadapi pasukan Quraisy yang akan datang. Persediaan makan menipis, hingga yang tersisa hanya minyak dan sedikit tepung yang lengket di tangan mereka. rasa lapar mendera dan begitu menyiksa. Bahkan pernah selama tiga hari pasukan kaum muslim tidak makan sama sekali. Terlebih rasulullah, beliau sampai melilitkan batu di sekeliling perutnya untuk menahan rasa lapar. Turut bekerja menggali parit, merasakan lapar yang sama sebagaimana para sahabat.
Jabir bin Abdillah merasa tak tega dengan kondisi rasulullah. Ia lalu pulang ke rumah menemui istrinya. “Demi Allah, adakah sesuatu yang bisa untuk dimasak, istriku?” tanyanya, “aku tak sampai hati melihat rasulullah tersiksa menahan lapar,’ sambungnya. Hanya ada seekor kambing dan segenggam tepung kasar di rumahnya saat itu. Lalu Jabir meminta istrinya untuk mengadon tepung menjadi roti. Sementara Jabir bertugas menyembelih dan menguliti kambing satu-satunya.
Setelah masakan matang, Ia lalu mendatangi rasulullah dan mengundang beliau makan ke rumahnya. Rasulullah menyambut dengan senang. Sekalipun, tak pernah beliau meletakan kepentingannya di atas kepentingan umat. Beliau Lantas mengumumkan pada semua pasukan kaum muslim, “Jabir mengundang kita makan di rumahnya, semuanya datanglah untuk makan bersama” Jabir kaget dan kelimpungan. Bagaimana mungkin seekor kambing dan segenggam roti bisa mencukupi perut prajurit kaum muslimin yang tengah kelaparan?
Rasulullah yang menangkap kepanikan Jabir hanya tersenyum. Beliau menepuk pundaknya dan menggamit lengannya untuk berangkat bersama.
Lalu para prajurit diinstruksikan untuk masuk berombongan dan tidak berdesakan saat mengambil bagian. Rasulullah berdo’a dan memohon berkah kepada Allah atas hidangan yang disediakan pasangan suami istri itu. Beliau sendiri yang melayani. Mengambilkan roti dan menyendokkan masakan daging kambing untuk mereka. Setelah memastikan keluarga Jabir dan semua prajurit yang jumlahnya sekitar 300 orang itu makan dengan kenyang, barulah rasulullah mengambil untuk dirinya sendiri. Makan dengan penuh kesyukuran dan mendo’akan kebaikan kepada Jabir dan istri. Selalu begitu. Beliau memberi teladan lewat laku dan perbuatannya. Mendahulukan kebutuhan umatnya dan melayani dengan sepenuh hati.
Pengorbanan Tiada Batas
Di tengah kemerosotan ekonomi yang kita alami pada hari-hari ini, jangan sampai kemerosotan empati menghuni hati. Umat butuh uluran tangan. Meski dengan pelayanan terkecil sekali pun, semua tak akan sia-sia.
Meski kadang kita bertanya “bagaimana mungkin bisa memberi pelayanan pada umat, sementara melayani diri sendiri hingga tuntas belumlah mampu.” Sering logika soal batas kemampuan menghambat diri dalam melakukan pengorbanan. Padahal Allah subhanu wata’ala telah berjanji pada siapapun yang berniat melakukan kebaikan atas dasar ketaatan, maka akan dicukupkan kemampuannya untuk itu.
Tetap istiqomah melayani umat dalam kondisi sulit tentu teramat berat. Tapi ibarat ikan yang berada di tengah sungai yang aliran air dan arusnya begitu kuat, ikan yang tetap bergerak melawan arus akan menjadi kuat karena terbiasa melawan arus.
Seperti itulah orang-orang yang mengazzamkan dirinya di jalan kebaikan, yang rela mengeluarkan segala yang ia punya -bahkan meninggalkan keluarga sebagaimana yang dilakukan para relawan bencana- agar tak ada saudara yang tak tersentuh uluran tangannya. Keterbatasan kemampuan, godaan-godaan duniawi yang memaksa untuk berhenti, justru membuatnya semakin kuat melawan godaan. Tetap kokoh berdiri meski tak pernah diberi penghargaan ataupun puja dan puji. Karena memang bukan itu yang dicari. Semua semata karena berharap ridho dari Ilahi.
Sebagaimana keteladan yang dicontohkan Ali bin Husain. Bercerita Muhammad biin Ishaq, “Pada suatu masa, penduduk Madinah biasa menerima kiriman makanan yang cukup. Namun mereka tidak tahu sumber makanan itu. Ketika Ali bin Husein meninggal, bantuan makanan itupun terhenti. Ternyata, Ali bin Husain yang selama ini membawanya pada malam hari. Maka, bertuturlah Amr bin Tsabit, “Ketika Ali bin Husain meninggal, mereka mendapati bekas dipunggungnya karena memikul karung pada malam hari ke rumah-rumah para janda.”
Begitulah Nabi dan para sahabat memberi teladan dalam melayani, terus istiqomah meski dalam sunyi. Tetes keringat, air mata, bahkan luka fisik yang dialami saat terjun dalam lokasi bencana, tak berarti apa-apa. Yang ada hanya rasa bahagia saat kebutuhan saudaranya terpenuhi. Tak berhenti saat pujian tak kunjung diberi.
Kebaikan sekecil apa pun pasti akan mendapat balasan kebaikan lainnya. Meski tak semua bisa terjun ke medan bencana melayani umat, tapi kita sungguh tetap bisa memberikan kontribusi dalam perkara lainnya. Untaian semangat, senyum yang hangat, akan menjadi seperti mata air yang melepaskan kepenatan saudara di tengah kesulitan yang terus menerus mendera.
“Seorang mukmin jasadnya tercipta dari tanah, tapi ruhnya bergantung pada petunjuk dari langit. Bersahabat dan berteman dengan seorang mukmin, duduk di dekatnya dan berinteraksi dengannya memberi manfaat. Ia kokoh kala diterpa topan kesulitan, selalu memberi buahnya kepada manusia yang lain. Hatinya, amal-amalnya, perkataannya, tasbihnya, menjulang tinggi di langit dan menurunkan barakah keimanan dan pahalanya setiap saat.” (Musafir fi Qithari Da’wah,370)
Maka, jadilah kita seperti pohon yang terus menebar manfaat. Tetap istiqomah melayani umat, meski diterpa topan kesulitan. Apa yang telah dikeluarkan di jalan kebaikan, kelak akan mendapat balasan yang membahagiakan, tak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Karena jelas, yang kita tuju hanya satu: Ridha Allah swt semata.{}