Pembangunan Ekonomi dan Deforestasi: Sebuah Kajian Teoritis Berdasarkan Kuznets Curve

Pada tahun 1954, seorang ekonom berdiri di atas podium dan memberi sambutan pada sebuah acara tahunan bergengsi. Acara tersebut dihadiri dan diselenggarakan oleh perkumpulan ekonom Amerika Serikat yang bernama The American Economic Association. Ia adalah Simon Kuznets. Seorang ekonom Amerika, sekaligus pemimpin dari perkumpulan tersebut. Dalam sambutannya, Simon Kuznets menyampaikan materi berjudul “Economic Growth and Inequality”. Ia sampaikan dalam forum itu bahwa, peningkatan pendapatan perkapita pada awalnya akan meningkatkan ketimpangan pendapatan. Namun, pada suatu titik tertentu (turning point), ketimpangan tersebut akan semakin berkurang disebabkan semakin sadarnya masyarakat terhadap ketimpangan yang terjadi. Teori ini membentuk kurva U-terbalik yang kemudian familiar dengan sebutan Kuznets Curve.

 

 

Oleh peneliti lain, konsep kuznets curve ini dicoba gunakan untuk mengalisis kondisi empiris hubungan antara degradasi lingkungan dan pendapatan per kapita. Ia adalah Grossman & Krueger (1991). Temuannya menunjukkan bahwa hubungan antara degradasi lingkungan dan pendapatan per kapita membentuk kurva U-terbalik. Sehingga memenuhi asumsi kuznets curve. Hal ini sekaligus dapat diartikan bahwa, peningkatan pendapatan per kapita pada awalnya akan meningkatkan degradasi lingkungan dan ketika sampai pada turning point (titik balik) degradasi lingkungan akan berkurang seiring dengan pendapatan per kapita yang semakin tinggi.

 

Konsep kuznets curve pada lingkungan atau dikenal dengan hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC) ini terbagi menjadi tiga tahapan.

  1. Tahap pertama: pre-industrial economies

Pada tahap ini pembangunan ekonomi di suatu negara sedang giat-giatnya, sehingga peningkatan pendapatan per kapita masyarakat akan mengorbankan lingkungannya. Tahap ini ditunjukkan dengan meningkatnya degradasi lingkungan seiring dengan meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat. Struktur perekonomian masyarakat mulai bertransformasi dari pertanian menjadi industri. Biasanya pada awal masa transformasi, kegiatan produksi begitu masif dilakukan dan tanpa memperhatikan aspek lingkungan.

  1. Tahap kedua: industrial economies

Pada tahap kedua ini, industrialisasi di suatu negara sudah berada pada puncaknya. Perekonomian didominasi oleh struktur industri manufaktur. Melihat kondisi lingkungan yang semakin memburuk akibat kegiatan ekonomi yang dilakukan. Masyarakat semakin sadar akan pentingnya kelestarian lingkungan dalam pembangunan ekonomi. Degradasi lingkungan jumlahnya mulai berkurang seiring dengan pendapatan per kapita yang semakin bertambah. Hingga pada suatu waktu tertentu, akan terjadi kondisi dimana peningkatan pendapatan per kapita yang tidak diikuti dengan degradasi lingkungan. Dengan kata lain, kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat, sama sekali tidak mengorbankan lingkungannya.

  1. Tahap ketiga: post industrial

Pada tahapan ini perekonomian mulai bertransformasi dari industri menjadi jasa. Kesadaran masyarakat terhadap pentingya pembangunan yang berkelanjutan menjadi faktor utama perubahan ini. Masyarakat tidak lagi mengorbankan lingkungannya dalam berekonomi. Hal ini dikarenakan kegiatan ekonomi masyarakat semakin didominasi oleh sektor jasa yang mengandalkan keahlian. Kegiatan produksi banyak menggunakan teknologi-teknologi yang ramah lingkungan. Begitupun juga dengan produk yang dihasilkan yang juga ramah terhadap lingkungan. Sehingga bertambahnya pendapatan per kapita masyarakat, diiringi dengan semakin berkurangnya degradasi lingkungan yang ditimbulkan.

 

Kajian Teoritis Hubungan Deforestasi dan Pendapatan per Kapita

Shafik & Bandyopadhyay (1992) adalah peneliti pertama yang mencoba menganalisis hubungan deforestasi dan pendapatan per kapita menggunakan konsep kuznets curve. Sayangnya, hasilnya tidak sesuai harapan (tidak menunjukkan kurva U-terbalik). Sehingga asumsi kuznets curve tidak terpenuhi. Kurva U-terbalik baru ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Cropper dan Griffiths (1994). Penelitian yang dilakukan di Afrika dan Amerika Latin tersebut menujukkan bahwa, pada tahap awal industrialisasi, semakin meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat berdampak terhadap lahan hutan yang semakin berkurang. Dan pada suatu titik pencapaian pendapatan per kapita tertentu. Meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat sudah tidak lagi mengorbankan lahan hutan. Pen elitian lain dengan maksud dan tujuan yang sama, dilakukan oleh Kuswantoro (2009). Salah satu model ekonometriknya menunjukkan bahwa hubungan antara deforestasi dan pendapatan per kapita tidak memenuhi hipotesis kuznets curve dan kurvanya membentuk U.

 

 

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Shafik & Bandyopadhyay (1992). Hasil yang demikian dapat diartikan bahwa, negara tersebut masih dalam masa-masa awal pembangunan. Sehingga meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat tidak menyebabkan lahan hutan berkurang. Dengan kata lain, struktur perekonomian masih didominasi oleh sektor pertanian. Dengan demikian, asumsi kuznets curve pada fase post industrial, bahwa negara pada suatu titik pendapatan per kapita tertentu akan mulai memperhatikan kelestastarian lingkungan tidak berlaku pada negara-negara ini. Tahapan akhir pada negara-negara ini justru merupakan tahapan awal yang terjadi pada fase pra-industrial. Yaitu negara baru memulai bertransformasi dari perekonomian pertanian menuju industri.

Pembangunan Ekonomi dan Aktivitas Deforestasi Dalam Konsep Kuznets Curve

Pada tahap pertama yaitu fase pre-industrial. Eksploitasi hutan dilakukan secara massif untuk meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat. Lahan hutan dikorbankan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penggundulan lahan hutan dilakukan untuk membuka kran perekonomian baru yang bernilai jual tinggi. Seperti misalnya ekspor kayu gelondongan, kemudian pertambangan dan kegiatan perkebunan yang kurang memperhatikan konsep sustainable. Kegiatan-kegiatan semacam ini terus digenjot mengingat potensial dan besarnya keuntungan yang diperoleh. Sehingga, secara perlahan merubah transformasi perekonomian dari yang sebelumnya tidak tergantung dengan lahan hutan menjadi tergantung dengan lahan hutan. Akibatnya, peningkatan pendapatan per kapita masyarakat memiliki dampak buruk terhadap kelestarian hutan. Lahan hutan semakin berkurang dan berdampak buruk terhadap pemanasan global.

 

 

Pada tahap kedua. Fase industrial. Masyarakat semakin sadar bahwa kegiatan perekonomian yang mereka lakukan telah merusak hutan. Industri pengolahan kayu, pembangkit listrik tenaga uap dan produk-produk turunan dari kelapa sawit merupakan beberapa industri yang berkontribusi besar terhadap aktivitas deforestasi. Industri-industri tersebut memanfaatkan lahan hutan untuk menyediakan bahan baku industri. Misalnya kayu gelondongan untuk industri furnitur. Batu bara untuk industri listrik tenaga uap. Dan kelapa sawit untuk industri produk minyak goreng, margarin dan bahan makanan lainnya. Pada tahap kedua ini biasanya akan dilalui oleh negara-negara yang berpendapatan tinggi atau high income countries. Mereka sudah mencapai tahapan eksploitasi lahan hutan di wilayahnya secara optimal. Sehingga mereka tertampar keras akibat perbuatan yang mereka lakukan. Mereka merasakan dampak buruk yang ditimbulkan karena aktivitas tersebut. Hingga akhirnya tersadar akan pentingya kelestarian hutan.

 

 

Tahapan terkahir. Post Industrial. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kelestarian hutan semakin tinggi. Kegiatan perekonomian yang ramah lingkungan mulai diperhatikan oleh masyarakat yang hidup pada fase ini. Struktur perekonomian mulai bertransformasi, dari Industri menuju service oriented. Perekonomian industri tetap berlangsung, Namun, sekarang sudah memperhatikan konsep keberlanjutan. Produksi pada sektor manufaktur mulai menerapkan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan. Produk atau barang yang mereka jual pun juga harus lolos sertifikasi produk yang ramah lingkungan. Pelestarian hutan melalui kegiatan menanam seribu pohon mulai marak dilakukan. Penggunaan energi yang ramah lingkungan sudah bukan suatu kekhususan lagi. Masyarakat mulai berbondong-bondong mengganti tenaga listrik di rumahnya dengan tenaga surya. Transportasi ramah lingkungan pun tidak ketinggalan trend. Industri-industri alat transportasi berlomba-lomba membuat produk yang ramah terhadap lingkungan. Ciri-cirinya adalah alat transportasi yang rendah karbon dan tanpa lagi menggunakan bahan bakar yang berasal dari minyak bumi. Sehingga bertambahnya pendapatan per kapita masyarakat, diiringi dengan perbaikan lingkungan. Terutama perbaikan terhadap keberlangsungan fungsi hutan dalam mencegah bencana pemanasan global.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Rafiqafif
Rafiqafif

Mahasiswa Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta

Artikel: 8

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *