Peluang dan Tantangan Perbankan Terhadap Fenomena Creative Destruction di Era Ekonomi Digital

Pada tahun 1942 Joseph Schumpeter, seorang mantan Menteri Keuangan Austria mengenalkan teori creative destruction yang dewasa ini menjadi perbincangan menarik di kalangan ekonom dan businessmen. Istilah creative destruction digunakan oleh Schumpeter untuk menggambarkan peranan eterpreneur dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang kapitalis, dengan memperkenalkan inovasi-inovasi radikal dalam menyokong pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Apa yang dijelaskan oleh Schumpeter tentang creative destruction, saat ini mirip dengan fenomena inovasi starup fintech (financial technology). Starup merupakan sebutan bagi perusahaan rintisan, sedangkan fintech adalah implementasi dan pemanfaatan teknologi untuk peningkatan layanan jasa perbankan dan keuangan dengan memanfaatkan teknologi software, internet, komunikasi, dan komputasi terkini (Nofie Iman, 2016).

Fenomena disruptive innovation pada industri keuangan dapat mengancam industri sebelumnya yang sudah mapan, karena disruptive innovation membawa net economic benefit dan economic value yang tinggi. Seperti contohnya, ketika masyarakat ingin mengajukan pembiayaan ke perbankan, dengan adanya inovasi fintech, masyarakat tidak perlu lagi pergi ke bank, mereka hanya perlu duduk santai dirumah dengan menggunakan smartphone yang ada jaringan internetnya, maka mereka sudah dapat mengajukan pembiayaan ke perusahaan fintech. Adanya inovasi fintech ini dapat mengancam kinerja perbankan dalam memberikan layanan keuangan kepada masyarakat, sebab layanan yang diberikannya menawarkan kemudahan, kecepatan, dan keefisienan. Berbeda dengan perbankan yang terkenal dengan akses dan syarat yang sulit untuk dipenuhi bagi konsumen atau nasabahnya, ketika ingin mengajukan pembiayaan. Inofusi antara Financial Technology dan Perbankan di Era Digital Ekonomi Saat ini perekonomian telah mengalami perubahan struktur yang sangat jauh dari konteks struktur perekonomian yang sebelumnya, sebut saja struktur baru tersebut dengan perekonomian digital. Ekonomi digital identik dengan penggunaan teknologi berbasis software, internet, komunikasi, dan komputasi terkini.

Fenomena fintech adalah salah satu faktor yang menjadi pendorong ekonomi digital ini, penyebabnya karena perkembangannya yang semakin masif dari tahun ke tahun (Indonesia). Perkembangan fintech yang masif di Indonesia, didukung dengan tingginya penggunaan internet, media sosial, dan smartphone, seiring dengan pertambahan masyarakatnya yang kelas menengah. Keberadaan fintech tentunya memberikan ancaman terhadap industri perbankan, dan jika mereka tidak ingin industrinya bangkrut karena tidak mampu beradaptasi dengan perekonomian digital, maka langkah yang terbaik adalah dengan melakukan inofusi. Konsep inofusi (innofusion) diperkenalkan oleh James Fleck (1993) yang berarti kombinasi dinamis antara inovasi (inovation) dan difusi (diffusion) (Nofie Iman, 2011). Gampangannya, inofusi dipahami sebagai proses pembauran dua perusahaan atas inovasi yang dibawa oleh salah satu perusahaan. Inofusi memungkinkan kolaborasi antara yang expert dengan yang non expert untuk bersama-sama merancang dan memanfaatkan inovasi sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan akan perubahan konteks zaman. Perbankan memiliki peluang untuk dapat menghadapi tantangan perubahan struktur perekonomian di era digital saat ini, yaitu dengan melakukan kolaborasi dengan starup fintech. Namun, selain peluang, dalam proses kolaborasi tentunya ada beberapa kendala dan tantangan yang harus dihadapi oleh perbankan. Beberapa peluang tersebut diantaranya adalah, mendorong pertumbuhan usaha kecil menengah sehingga memunculkan pengusaha-pengusaha baru dan pengembangan pasar dengan ekspansi ke daerah-daerah yang belum dijangkau oleh kantor cabang bank. Saat ini perbankan terkenal dengan akses yang sulit dan syarat yang mustahil untuk dapat dipenuhi oleh nasabahnya ketika ingin berinvestasi dan meminjam uang. Terlebih lagi kurangnya sosialisasi cara-cara dalam mengajukan pembiayaan dan investasi ke perbankan, ini menyebabkan masih banyaknya orang yang belum menggunakan jasa perbankan dalam hal berinvestasi dan mengajukan pembiayaan. Namun, dengan adanya inovasi fintech pada industri perbankan, ini memberikan kemudahan akses bagi masyarakat yang di daerahnya belum terjangkau oleh kantor cabang bank, ketika mereka ingin mengajukan pembiayaan ataupun berinvestasi di perbankan. Selain itu, dengan teknologi fintech yang berbasis sistem informasi online, ini juga dapat memberikan kemudahan dalam mensosialisasikan cara-cara dan sayarat berinvestasi dan mengajukan pembiayaan di perbankan, sehingga masyarakat yang sebelumnya bingung bagaimana cara dan syarat apa yang harus dipenuhi ketika ingin memakai jasa bank, sekarang dengan adanya inovasi fintech mereka tinggal membacanya melalui informasi di website perbankan yang bersangkutan. Pada intinya dengan pengembangan inovasi fintech pada industri perbankan, ini akan memberikan kinerja yang efisien, cepat, dan mudah bagi perbankan dalam memberikan layanan jasa keuangan kepada masyarakat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penerapan financial technology pada perbankan selain dapat memberikan peluang bagi kemajuan perbankan di era ekonomi digital saat ini, tentunya ada juga tantangan yang harus dihadapi perbankan dalam proses kemajuannya. Diatara beberapa tantangan tersebut adalah regulasi yang belum matang, aturan tumpang tindih, dan berpotensi menimbulkan penyelewengan. Selain dari segi regulasi, adanya inovasi financial technology juga akan mengakibatkan polarisasi pekerjaan pada industri perbankan, sebagai akibat dari lebih cepatannya perkembangan teknologi daripada perkembangan manusia. Saat ini sebenarnya fintech sudah dibentengi dengan regulasi-regulasi, yang pada intinya pemerintah ingin menunjukkan sikap setuju dan mendukung akan keberadaan inovasi ini. Akan tetapi untuk proses inofusi dengan perbankan, regulasi yang pas untuk proses pembauran dua industri keuangan ini sangat sulit untuk bisa diwujudkan.

Pertama, karena industri keuangan seperti perbankan, pada dasarnya adalah industri yang dibuat untuk hajat orang banyak yang bertujuan untuk mengurus keuangan, sehingga regulasi yang dibuat pun harus benar-benar kompleks, sistematis, dan ketat. Adapun kalau bisa, ini tentunya akan memberikan kemudahan dan keuntungan bagi pesaing perbankan dalam mengajukan legalitas terhadap inovasi produknya, seperti contohnya perusahaan fintech yang tidak mau berinofusi dengan perbankan.

Kedua, dari segi standarisasi tentunya ini menimbulkan barrier to entry bagi perbankan, mereka harus mampu beradaptasi dengan pemain lama dalam hal ini starup fintech, sehingga mau tidak mau ini memberikan keuntungan bagi starup fintech yang sebelumnya sudah memegang standar, dan bagi perbankan mereka harus tunduk pada standar yang sudah ada, jika ingin menikmati inovasi.

Ketiga, sangat jarang ditemui perlindungan hukum terhadap hasil inovasi di bidang keuangan, apalagi yang sifatnya inofusi. Karena sekali lagi industri perbankan ini merupakan industri yang dibuat atas dasar hajat orang banyak, maka didalam pengoperasiannya harus ada beberapa standar yang ditetapkan seperti contohnya certainly (kepastian). Selain mendapat tantangan dari segi regulasi, penerapan inovasi financial technology pada industri keuangan, juga memiliki kemungkinan akan adannya polarisasi pekerjaan akibat adanya perkembangan teknologi yang lebih cepat daripada perkembangan manusia. Kita ketahui bahwa teknologi berkembang berdasarkan deret ukur, sedangkan manusia berdasarkan deret hitung. Saat ini orang yang mendeteksi penyakit kanker akan kalah cepat dengan sebuah pena yang hanya membutuhkan beberapa detik saja untuk bisa mendeteksi kanker, seorang akuntan akan kalah cepat dengan komputer dalam membuat perhitungan laba-rugi perusahaan, komunitas ojek konvensional akan kalah cepat dengan komunitas ojek online dalam mendapat konsumen, penjual baju di toko baju akan kalah cepat dengan dengan pejual baju online dalam menjual barangnya, dan masih banyak contoh lainnya. Keadaan seperti ini merupakan problem klasik dari perkembangan teknologi, dimana dengan adanya perkembangan teknologi akan semakin memberikan kesempatan yang kecil bagi manusia untuk dapat memperoleh pekerjaan, dan mungkin kondisi seperti ini 10 atau 20 tahun yang akan datang, akan terjadi pada industri perbankan, dengan catatan, apabila saat ini industri perbankan sudah mulai menerapkan inovasi financial technology pada sistem pengoperasian ataupun pada layanan jasa yang mereka tawarkan kepada masyarakat. Walaupun digadang-gadang ekonomi digital akan memberikan perubahan dan pencerahan, sebagaimana ketika Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak pada tahun 1440-an atau seperti ketika James Watt dan Mathew Boulton menemukan mesin uap pada 1775, dan sehebat apapun itu teknologi digital, tidak akan mampu serta merta-merta memberikan kemakmuran, menjamin persamaan hak, atau menegakkan keadilan, jika bukan kita sendiri yang melakukan. Kitalah yang seharusnya mengendalikan teknologi digital, sehingga kemakmuran, persamaan, dan keadilan dapat tercapai (Nofie Iman, 2016).

Ekonomi digital juga bukan hanya sekedar perubahan kegiatan konsumsi dan distribusi yang dilakukan secara online, namun ekonomi digital juga melibatkan ekonomi itu sendiri, pemerintah, institusi sosial, dan kondisi sosial masyarakat. Selain itu penerapan teknologi juga membutuhkan kajian hukum, norma, struktur masyarakat, dan nilai kemasyarakatan. Sehingga penerapan digital ekonomi tidak semudah seperti yang kita bayangkan, seperti hanya dengan melakukan kegiatan jual-beli online di situs penyedia platform jual-beli. Terlebih lagi konsekuensi besar yang harus ditanggung oleh dunia bisnis akibat adanya creative destruction, berdampak pada tidak relevannya lagi strategic planning untuk kegunaan masa mendatang, disebabkan karena perubahan strukturnya yang begitu masif. Akibatnya dunia menjadi kompleks dan terlalu banyak variabel yang berada di luar kendali. Sehingga masa depan penuh dengan uncertainly (ketidakpastian) dan failure (kegagalan). Maka saran yang terbaik dalam menghadapi fenomena creative destruction di era digital ekonomi saat ini, adalah dengan meningkatkan flexibility, responsiveness, bukan develop strategic melainkan always being prepared, bukan bekerja top-down melainkan bottom-up, dan bukan lompatan besar melainkan langkah kecil (baby steps) yang kontinu (Nofie Iman, 2012). Kesimpulannya, dengan bersifat fleksibel maka tidak akan mudah terbawa arus, dengan responsiveness diharapkan mampu menjawab tantangan dengan baik, dengan being prepared menunjukkan sikap yang siap dalam menghadapi tantangan, dengan bekerja bottom-up artinya bekerja dengan proses, dan terakhir dengan lagkah kecil yang kontinu.

Pada tahun 1942 Joseph Schumpeter, seorang mantan Menteri Keuangan Austria mengenalkan teori creative destruction yang dewasa ini menjadi perbincangan menarik di kalangan ekonom dan businessmen. Istilah creative destruction digunakan oleh Schumpeter untuk menggambarkan peranan eterpreneur dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang kapitalis, dengan memperkenalkan inovasi-inovasi radikal dalam menyokong pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Apa yang dijelaskan oleh Schumpeter tentang creative destruction, saat ini mirip dengan fenomena inovasi starup fintech (financial technology). Starup merupakan sebutan bagi perusahaan rintisan, sedangkan fintech adalah implementasi dan pemanfaatan teknologi untuk peningkatan layanan jasa perbankan dan keuangan dengan memanfaatkan teknologi software, internet, komunikasi, dan komputasi terkini (Nofie Iman, 2016). Fenomena disruptive innovation pada industri keuangan dapat mengancam industri sebelumnya yang sudah mapan, karena disruptive innovation membawa net economic benefit dan economic value yang tinggi. Seperti contohnya, ketika masyarakat ingin mengajukan pembiayaan ke perbankan, dengan adanya inovasi fintech, masyarakat tidak perlu lagi pergi ke bank, mereka hanya perlu duduk santai dirumah dengan menggunakan smartphone yang ada jaringan internetnya, maka mereka sudah dapat mengajukan pembiayaan ke perusahaan fintech. Adanya inovasi fintech ini dapat mengancam kinerja perbankan dalam memberikan layanan keuangan kepada masyarakat, sebab layanan yang diberikannya menawarkan kemudahan, kecepatan, dan keefisienan. Berbeda dengan perbankan yang terkenal dengan akses dan syarat yang sulit untuk dipenuhi bagi konsumen atau nasabahnya, ketika ingin mengajukan pembiayaan.

Inofusi antara Financial Technology dan Perbankan di Era Digital Ekonomi Saat ini perekonomian telah mengalami perubahan struktur yang sangat jauh dari konteks struktur perekonomian yang sebelumnya, sebut saja struktur baru tersebut dengan perekonomian digital. Ekonomi digital identik dengan penggunaan teknologi berbasis software, internet, komunikasi, dan komputasi terkini. Fenomena fintech adalah salah satu faktor yang menjadi pendorong ekonomi digital ini, penyebabnya karena perkembangannya yang semakin masif dari tahun ke tahun (Indonesia). Perkembangan fintech yang masif di Indonesia, didukung dengan tingginya penggunaan internet, media sosial, dan smartphone, seiring dengan pertambahan masyarakatnya yang kelas menengah. Keberadaan fintech tentunya memberikan ancaman terhadap industri perbankan, dan jika mereka tidak ingin industrinya bangkrut karena tidak mampu beradaptasi dengan perekonomian digital, maka langkah yang terbaik adalah dengan melakukan inofusi. Konsep inofusi (innofusion) diperkenalkan oleh James Fleck (1993) yang berarti kombinasi dinamis antara inovasi (inovation) dan difusi (diffusion) (Nofie Iman, 2011). Gampangannya, inofusi dipahami sebagai proses pembauran dua perusahaan atas inovasi yang dibawa oleh salah satu perusahaan. Inofusi memungkinkan kolaborasi antara yang expert dengan yang non expert untuk bersama-sama merancang dan memanfaatkan inovasi sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan akan perubahan konteks zaman. Perbankan memiliki peluang untuk dapat menghadapi tantangan perubahan struktur perekonomian di era digital saat ini, yaitu dengan melakukan kolaborasi dengan starup fintech. Namun, selain peluang, dalam proses kolaborasi tentunya ada beberapa kendala dan tantangan yang harus dihadapi oleh perbankan. Beberapa peluang tersebut diantaranya adalah, mendorong pertumbuhan usaha kecil menengah sehingga memunculkan pengusaha-pengusaha baru dan pengembangan pasar dengan ekspansi ke daerah-daerah yang belum dijangkau oleh kantor cabang bank. Saat ini perbankan terkenal dengan akses yang sulit dan syarat yang mustahil untuk dapat dipenuhi oleh nasabahnya ketika ingin berinvestasi dan meminjam uang. Terlebih lagi kurangnya sosialisasi cara-cara dalam mengajukan pembiayaan dan investasi ke perbankan, ini menyebabkan masih banyaknya orang yang belum menggunakan jasa perbankan dalam hal berinvestasi dan mengajukan pembiayaan. Namun, dengan adanya inovasi fintech pada industri perbankan, ini memberikan kemudahan akses bagi masyarakat yang di daerahnya belum terjangkau oleh kantor cabang bank, ketika mereka ingin mengajukan pembiayaan ataupun berinvestasi di perbankan. Selain itu, dengan teknologi fintech yang berbasis sistem informasi online, ini juga dapat memberikan kemudahan dalam mensosialisasikan cara-cara dan sayarat berinvestasi dan mengajukan pembiayaan di perbankan, sehingga masyarakat yang sebelumnya bingung bagaimana cara dan syarat apa yang harus dipenuhi ketika ingin memakai jasa bank, sekarang dengan adanya inovasi fintech mereka tinggal membacanya melalui informasi di website perbankan yang bersangkutan. Pada intinya dengan pengembangan inovasi fintech pada industri perbankan, ini akan memberikan kinerja yang efisien, cepat, dan mudah bagi perbankan dalam memberikan layanan jasa keuangan kepada masyarakat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penerapan financial technology pada perbankan selain dapat memberikan peluang bagi kemajuan perbankan di era ekonomi digital saat ini, tentunya ada juga tantangan yang harus dihadapi perbankan dalam proses kemajuannya. Diatara beberapa tantangan tersebut adalah regulasi yang belum matang, aturan tumpang tindih, dan berpotensi menimbulkan penyelewengan. Selain dari segi regulasi, adanya inovasi financial technology juga akan mengakibatkan polarisasi pekerjaan pada industri perbankan, sebagai akibat dari lebih cepatannya perkembangan teknologi daripada perkembangan manusia. Saat ini sebenarnya fintech sudah dibentengi dengan regulasi-regulasi, yang pada intinya pemerintah ingin menunjukkan sikap setuju dan mendukung akan keberadaan inovasi ini. Akan tetapi untuk proses inofusi dengan perbankan, regulasi yang pas untuk proses pembauran dua industri keuangan ini sangat sulit untuk bisa diwujudkan. Pertama, karena industri keuangan seperti perbankan, pada dasarnya adalah industri yang dibuat untuk hajat orang banyak yang bertujuan untuk mengurus keuangan, sehingga regulasi yang dibuat pun harus benar-benar kompleks, sistematis, dan ketat. Adapun kalau bisa, ini tentunya akan memberikan kemudahan dan keuntungan bagi pesaing perbankan dalam mengajukan legalitas terhadap inovasi produknya, seperti contohnya perusahaan fintech yang tidak mau berinofusi dengan perbankan. Kedua, dari segi standarisasi tentunya ini menimbulkan barrier to entry bagi perbankan, mereka harus mampu beradaptasi dengan pemain lama dalam hal ini starup fintech, sehingga mau tidak mau ini memberikan keuntungan bagi starup fintech yang sebelumnya sudah memegang standar, dan bagi perbankan mereka harus tunduk pada standar yang sudah ada, jika ingin menikmati inovasi. Ketiga, sangat jarang ditemui perlindungan hukum terhadap hasil inovasi di bidang keuangan, apalagi yang sifatnya inofusi. Karena sekali lagi industri perbankan ini merupakan industri yang dibuat atas dasar hajat orang banyak, maka didalam pengoperasiannya harus ada beberapa standar yang ditetapkan seperti contohnya certainly (kepastian). Selain mendapat tantangan dari segi regulasi, penerapan inovasi financial technology pada industri keuangan, juga memiliki kemungkinan akan adannya polarisasi pekerjaan akibat adanya perkembangan teknologi yang lebih cepat daripada perkembangan manusia. Kita ketahui bahwa teknologi berkembang berdasarkan deret ukur, sedangkan manusia berdasarkan deret hitung. Saat ini orang yang mendeteksi penyakit kanker akan kalah cepat dengan sebuah pena yang hanya membutuhkan beberapa detik saja untuk bisa mendeteksi kanker, seorang akuntan akan kalah cepat dengan komputer dalam membuat perhitungan laba-rugi perusahaan, komunitas ojek konvensional akan kalah cepat dengan komunitas ojek online dalam mendapat konsumen, penjual baju di toko baju akan kalah cepat dengan dengan pejual baju online dalam menjual barangnya, dan masih banyak contoh lainnya. Keadaan seperti ini merupakan problem klasik dari perkembangan teknologi, dimana dengan adanya perkembangan teknologi akan semakin memberikan kesempatan yang kecil bagi manusia untuk dapat memperoleh pekerjaan, dan mungkin kondisi seperti ini 10 atau 20 tahun yang akan datang, akan terjadi pada industri perbankan, dengan catatan, apabila saat ini industri perbankan sudah mulai menerapkan inovasi financial technology pada sistem pengoperasian ataupun pada layanan jasa yang mereka tawarkan kepada masyarakat. Walaupun digadang-gadang ekonomi digital akan memberikan perubahan dan pencerahan, sebagaimana ketika Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak pada tahun 1440-an atau seperti ketika James Watt dan Mathew Boulton menemukan mesin uap pada 1775, dan sehebat apapun itu teknologi digital, tidak akan mampu serta merta-merta memberikan kemakmuran, menjamin persamaan hak, atau menegakkan keadilan, jika bukan kita sendiri yang melakukan. Kitalah yang seharusnya mengendalikan teknologi digital, sehingga kemakmuran, persamaan, dan keadilan dapat tercapai (Nofie Iman, 2016). Ekonomi digital juga bukan hanya sekedar perubahan kegiatan konsumsi dan distribusi yang dilakukan secara online, namun ekonomi digital juga melibatkan ekonomi itu sendiri, pemerintah, institusi sosial, dan kondisi sosial masyarakat. Selain itu penerapan teknologi juga membutuhkan kajian hukum, norma, struktur masyarakat, dan nilai kemasyarakatan. Sehingga penerapan digital ekonomi tidak semudah seperti yang kita bayangkan, seperti hanya dengan melakukan kegiatan jual-beli online di situs penyedia platform jual-beli. Terlebih lagi konsekuensi besar yang harus ditanggung oleh dunia bisnis akibat adanya creative destruction, berdampak pada tidak relevannya lagi strategic planning untuk kegunaan masa mendatang, disebabkan karena perubahan strukturnya yang begitu masif. Akibatnya dunia menjadi kompleks dan terlalu banyak variabel yang berada di luar kendali. Sehingga masa depan penuh dengan uncertainly (ketidakpastian) dan failure (kegagalan). Maka saran yang terbaik dalam menghadapi fenomena creative destruction di era digital ekonomi saat ini, adalah dengan meningkatkan flexibility, responsiveness, bukan develop strategic melainkan always being prepared, bukan bekerja top- down melainkan bottom-up, dan bukan lompatan besar melainkan langkah kecil (baby steps) yang kontinu (Nofie Iman, 2012). Kesimpulannya, dengan bersifat fleksibel maka tidak akan mudah terbawa arus, dengan responsiveness diharapkan mampu menjawab tantangan dengan baik, dengan being prepared menunjukkan sikap yang siap dalam menghadapi tantangan, dengan bekerja bottom-up artinya bekerja dengan proses, dan terakhir dengan lagkah kecil yang kontinu.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Rafiqafif
Rafiqafif

Mahasiswa Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta

Artikel: 8

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 + 3 =