Saat ini, usia produktif di tempat kerja terdiri atas tiga generasi: X, Y, dan Z (Zoomer). Setiap generasi memiliki karakteristik tersendiri. Mereka pun memiliki pandangan yang berbeda pula tentang pekerjaan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang berbeda terhadap masing-masing generasi dalam berinteraksi dan mengorganisir tiga generasi berbeda yang bekerja di suatu perusahaan.
Sumber gambar: Pixabay
Generasi X, Y, dan Zoomer memiliki karakter dan pandangan yang berbeda terhadap dunia kerja
Setiap generasi memiliki karakter dan sudut pandang yang berbeda tentang pekerjaan. Mengetahui karakter dan sudut pandang masing-masing generasi merupakan langkah awal dalam memahami mereka.
Generasi Zoomer sudah bekerja ketika resesi tahun 2008-2009 di Amerika Serikat terjadi. Situasi ini membuat mereka terpaksa memperpanjang masa kerja demi bertahan hidup. Oleh karena itu, Zoomer cenderung menjadi karyawan yang pekerja keras dan ingin terus menghasilkan uang. Kepastian kerja menjadi sangat penting bagi Zoomer. Terlebih lagi, mereka kini memiliki tanggungan keluarga, termasuk orang tua yang sudah lanjut usia.
Berbeda dari generasi Zoomer, Generasi X mulai bekerja tahun 1990-an ketika berbagai perubahan signifikan di bidang sosial, politik dan ekonomi terjadi. Gen X sadar akan ketidakpastian dalam dunia kerja sehingga mereka menganggap pekerjaan tidaklah lebih penting dari kehidupan pribadi. Mereka tidak terlalu takut akan kehilangan pekerjaan.
Sedangkan Generasi Y memasuki dunia kerja setelah tahun 2000-an. Mereka terbiasa dengan teknologi, menonton acara reality show yang mulai ditayangkan televisi, dan memiliki masa kecil dengan bermacam kegiatan. Hal ini membuat gen Y cenderung multi-tasking, ingin terkenal, dan sangat rentan merasa bosan di tempat kerja yang tidak menantang. Gen Y tidak termotivasi oleh uang, tetapi lebih kepada imbalan, misalnya perjalanan.
Zoomer terbiasa dengan masa kerja yang panjang sehingga mereka lebih loyal kepada perusahaan. Sementara itu, gen X akrab dengan fenomena perampingan perusahaan. Gen Y ketika kecil menyaksikan orang tua mereka (gen X) hidup dalam kondisi seperti itu. Situasi ini membuat loyalitas gen X dan Y bukanlah terhadap perusahaan, melainkan kepada kebahagiaan diri sendiri.
Perbedaan pandangan antargenerasi sesungguhnya dapat diatasi
Perbedaan karakter dan sudut pandang masing-masing generasi rentan menimbulkan kesalahpahaman di tempat kerja. Namun, potensi permasalahan itu sesungguhnya dapat diatasi.
Zoomer sering merasa kesal terhadap gen Y yang dianggap tidak memiliki etos kerja. Sebaliknya, gen Y berpikir bahwa bekerja keras itu tidak perlu asalkan pekerjaan yang ditugaskan selesai. Di samping itu, gen X sering merasa skeptis terhadap Zoomer karena Zoomer ,si pekerja keras, masih bekerja di penghujung usia produktif. Mereka juga kesal dengan rasa percaya diri gen Y yang berlebihan. Karena gemar bekerja keras, Zoomer bersedia menerima beban kerja lebih banyak dari kemampuan mereka. Zoomer pun betah berlama- lama di kantor. Sementara itu, Gen X ingin membawa tugas pulang ke rumah agar segera dapat berkumpul bersama keluarga.
Sementara itu, Gen Y cenderung bebas dan bekerja di tempat yang lebih leluasa. Hal ini membuat gen X dan Y juga terlihat kurang bekerja keras di mata para Zoomer. Untuk menyikapi perbedaan ini, perusahaan harus memberikan pelatihan kepada karyawan dalam memahami karakter setiap generasi. Perusahaan juga dapat memberikan pelatihan untuk membantu mereka dalam memaksimalkan potensi mereka sesuai dengan karakter dan kompetensinya masing-masing.
Selain itu, cara berkomunikasi antargenerasi juga menjadi tantangan tersendiri dalam perusahaan. Gen Y cenderung menyukai komunikasi langsung tetapi santai. Sementara itu, Zoomer menyukai komunikasi melalui bahasa formal dan menghormati hirarki perusahaan sehingga kerap kesal dengan gen Y. Sedangkan Gen X bersikap lebih adaptif. Cara terbaik untuk menjaga etika berkomunikasi dalam perusahaan adalah setiap generasi perlu memposisikan diri sama seperti generasi yang diajak bicara.
Gen X dan Y biasanya membawa personal digital assistant (PDA) seperti komputer jinjing ke dalam ruang rapat dan sesekali menengok PDA tersebut. Zoomer tidak dapat menerima hal ini meskipun alat tersebut sebenarnya digunakan juga untuk bekerja. Untuk menangani masalah ini, di awal rapat perlu dijabarkan ketentuan dalam rapat, misalnya mematikan PDA.
Dalam hal melayani pelanggan, gen Y lagi-lagi sering dianggap tidak sopan. Bagi gen Y, pelanggan yang baik hanyalah mereka yang bersikap baik. Bagi gen Y, penampilan di hadapan pelanggan tidak begitu penting. Hal ini berbanding terbalik dengan Zoomer dan gen X yang menyadari bahwa menyenangkan pelanggan sangatlah penting untuk kemajuan bisnis. Untuk mengatasi hal ini, perusahaan perlu memberikan penjelasan dalam melayani pelanggan sejelas-jelasnya kepada gen Y.
Konsep berbagi pengetahuan pun dipandang berbeda bagi masing-masing generasi. Zoomer mempertimbangkan kompetisi sehingga enggan berbagi banyak hal. Sebaliknya, gen Y yang tumbuh dalam lingkungan multikultural menjadi orang yang senang berbagi. Untuk mengatasinya, perusahaan perlu meyakinkan mereka bahwa berbagi, baik pengetahuan maupun sumber daya, pegawai, atau klien sesungguhnya dapat memberi keuntungan bagi semua pihak.
Gaya kepemimpinan yang tepat membantu karyawan menjadi hebat
Gen X dan Y memiliki prinsip “ karyawan tidak meninggalkan pekerjaan mereka, mereka meninggalkan pemimpin mereka”. Maka, dapat dikatakan loyalitas mereka terhadap perusahaan dinilai dari kecocokan mereka terhadap atasan. Gen Y ingin memiliki pemimpin yang bersahabat dan senang berbagi. Sedangkan gen X menginginkan seorang pemimpin yang dapat membantu mereka untuk mendapatkan promosi dan meraih kesuksesan. Zoomer yang sudah memiliki banyak pengalaman lebih senang dengan pemimpin yang mau memberikan mereka kesempatan baru.
Sebagai seorang pemimpin, sangat penting untuk menggali tujuan hidup karyawan agar dapat memotivasi mereka untuk bekerja. Zoomer lelah dengan pertanyaan ini sehingga mereka cukup bisa diberi kesempatan untuk mengerjakan hal yang sebetulnya ingin mereka kerjakan sejak dahulu. Sedangkan Gen X masih mencari jati diri sehingga mereka lebih menyukai sebuah proyek yang berdampak besar terhadap perusahaan. Sementara itu, Gen Y ingin diyakinkan bahwa mereka dapat melakukan suatu hal yang berarti. Perusahaan dapat mengidentifikasi nilai-nilai perusahaan yang mana yang sesuai dengan tujuan hidup gen Y, lalu membantu mereka mengejar hal itu sembari bekerja di perusahaan.
Salah satu peran pemimpin yang paling penting adalah menangani politik kantor, terutama jika terdapat karyawan gen X atau Y yang menempati posisi lebih tinggi dari Zoomer. Para atasan di perusahaan perlu memelihara keterbukaan dialog dan komunikasi serta memberi pemahaman kepada karyawan bahwa penilaian dilihat berdasarkan kinerja.
Penilaian kinerja dari pemimpin pun perlu disesuaikan. Zoomer akan merasa lebih senang jika pengalaman kerjanya diakui karena mereka jarang memperoleh pujian tersebut. Gen X adalah orang yang tidak suka basa-basi dan memiliki ego tinggi jika dibimbing, tetapi mereka menghargai feedback yang diberikan orang lain. Gen Y memerlukan pembinaan one-to-one, penilaian kinerja yang pendek dan agak sulit menerima kritik. Saling memaklumi perbedaan karakter generasi amat penting. Oleh karena itu, tidak ada salahnya pemimpin memberlakukan program membimbing terbalik.
Program ini memungkinkan gen Y membimbing Zoomer, misalnya di bidang teknologi. Program ini juga akan membuat Zoomer belajar memahami cara berinteraksi dan berpikir kreatif ala anak muda. Pemimpin juga perlu menyadari bahwa terjadinya penurunan minat akan jabatan. Zoomer menginginkan jabatan, gen X tidak terlalu, dan gen Y tidak peduli selama masih memperoleh pemasukan dan bisa bersenang-senang. Untuk mendorong gen X dan Y mau menempati jabatan tertentu, jabatan itu dapat menggunakan titel yang lebih unik, misalnya Kepala Seniman Situs Web (Chief Website Artist) atau Kepala Pejabat Kebahagiaan (Chief Happiness Officer).
Memahami apa yang disenangi masing-masing generasi agar mereka betah dan tidak pindah
Tingkat kepuasan kerja yang rendah memicu karyawan untuk pindah. Maka, sangatlah penting bagi perusahaan untuk mengupayakan karyawannya agar merasa senang dan betah selama bekerja di perusahaan.
Zoomer akan senang jika diberi kesempatan baru seperti mengajar dan memimpin tim. Sebagai seseorang yang gemar bekerja keras, mencari tawaran kontrak kerja setelah pensiun tak ayal akan hinggap dalam pikiran mereka. Takut merelakan waktu kerja sudah menjadi karakter Zoomer. Mereka akrab dengan prinsip “jangan mengeluh” sehingga lebih tertutup ketika memiliki masalah. Padahal, sebetulnya mereka memerlukan dukungan orang lain juga. Maka, hal yang menyenangkan bagi Zoomer adalah ketika perusahaan menyediakan program dukungan seperti konseling atau cuti berbayar dan mereka tidak disindir karena mengikuti program itu.
Ketidakpastian kerja yang dialami oleh gen X membuat mereka merasa senang jika memiliki perencanaan karier yang jelas . Mereka pun memikirkan opsi agar dapat melanjutkan kuliah dengan biaya perusahaan atau diberi insentif pribadi. Di sisi lain, gen X sangat menghargai perusahaan yang memberikan keleluasaan jam kerja karena mereka juga ingin lebih sering bersama keluarga. Mereka juga ingin dianggap berarti dengan cara menunjukkan besarnya kontribusi mereka terhadap perusahaan.
Sementara itu, gen Y tumbuh di dunia yang multikultural sehingga mereka memiliki rasa kemanusiaan dan kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan. Mereka senang jika diikutsertakan dalam kegiatan sosial atau bertema lingkungan hidup yang diadakan perusahaan. Gen Y dapat bersikap apatis dan cepat menyerah jika merasa gagal sehingga mereka memerlukan bimbingan dan lingkungan yang penuh dukungan. Kreativitas merupakan sifat alami gen Y. Mereka akan senang jika berada dalam lingkungan yang mendorong mereka berpikir kreatif.
Walaupun demikian, gen Y merupakan aset yang bernilai bagi perusahaan karena berbisnis di era teknologi dan globalisasi saat ini menuntut kreatifitas tanpa batas. Gen Y dapat dilibatkan dengan cara meminta masukan mereka terhadap permasalahan dan tantangan perusahaan yang belum terjawab serta mengikutsertakan mereka dalam diskusi tingkat tinggi jika memungkinan.