Penetapan Tersangka Terhadap Orang yang Meninggal Dunia

Penetapan tersangka merupakan tindakan administrasi yang dilakukan di tingkat penyidikan. Penetapan tersangka dilakukan oleh penyidik terhadap orang yang diduga melakukan suatu tindak pidana berdasarkan bukti permulaan, yaitu minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Berita Acara Pemeriksaan calon tersangka (vide: putusan MK Nomor 21/PUU/XII/2014). Hal ini berarti penetapan tersangka tidak mungkin terjadi tanpa adanya bukti permulaan tersebut. Dengan kata lain, bukti permulaan merupakan dasar bagi penyidik untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Penetapan tersangka tanpa didasarkan pada bukti permulaan merupakan tindakan yang sewenang-wenang.

Akhir-akhir ini di beberapa media ramai membicarakan soal penetapan tersangka terhadap orang yang telah meninggal dunia. Beberapa kritik pun bermunculan karena orang yang telah meninggal dunia tetap ditetapkan menjadi tersangka. Terlepas dari kenyataanya, penetapan itu langsung gugur atau tidak, namun Pertanyaan yang muncul adalah “Apakah tepat tindak penyidik yang menetapkan orang yang telah meninggal dunia menjadi tersangka?”, “Kenapa tidak dihentikan saja penyidikannya dengan alasan calon tersangka meninggal dunia?”.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (disingkat KUHAP) sebagai hukum acara pidana induk yang saat ini berlaku di Indonesia mengatur secara tegas, apakah seseorang yang meninggal dunia dapat ditetapkan menjadi tersangka atau tidak?. KUHAP hanya mengatur mengenai penghentian penyidikan sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang rumusannya “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya”.

Sesuai dengan Pasal 109 ayat (2) KUHAP, maka penghentian penyidikan hanya dapat didasarkan pada tiga alasan, yaitu: (1) tidak terdapat cukup bukti; (2) peristiwanya bukan merupakan tindak pidana; dan (3) demi hukum. Ketentuan ini bersifat limitatif (terbatas) sehingga penghentian penyidikan tidak dapat didasarkan pada alasan lain di luar ketiga alasan yang ditentukan KUHAP tersebut. Jadi, KUHAP tidak menentukan secara tegas mengenai penghentian penyidikan yang didasarkan alasan orang/ calon tersangka meninggal dunia. KUHAP meskipun tidak mengatur hal demikian, namun hukum positif mengenal adanya alasan penghapusan penuntutan atau alasan-alasan hapusnya hak menuntut sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

M. Yahya Harahap (2012: 152) menyamakan alasan-alasan hapusnya hak menuntut dengan pengentian penyidikan atas dasar alasan demi hukum. Jadi, pengentian penyidikan yang didasarkan pada alasan demi hukum sesuai/ sama dengan alasan-alasan penghapusan tuntutan atau alasan-alasan hapusnya hak menuntut. Salah satu alasan yang menghapuskan penuntutan sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 77 KUHP yang rumusannya “Kewenangan menuntut pidana hapus, bila si tertuduh meninggal dunia”. Dengan demikian, orang yang telah meninggal dunia tidak dapat ditetapkan menjadi tersangka dan penyidikan harus dihentikan dengan alasan demi hukum. Pengentian penyidikan demikian sama dengan penghentian penuntutan dengan alasan tertuduh meninggal dunia.

Penghentian penyidikan yang didasarkan pada alasan seseorang meninggal dunia (demi hukum) selaras dengan prinsip hukum yang berlaku umum di abad modern, yaitu kesalahan tindak pidana yang dilakukan seseorang menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku bersangkutan. Prinsip hukum ini merupakan penegasan atas pertanggungjawaban dalam hukum pidana yang mengajarkan bahwa tanggung jawab seseorang hanya ditimpakan kepada pelaku tindak pidanya. Penyidikan dengan sendirinya berhenti dan hapus menurut hukum. Penyidikan dan pemeriksaan terhadap seseorang yang meninggal dunia tidak dapat dialihkan kepada ahli warisnya. (M. Yahya Harahap, 2012: 153).

Alasan yang diuraikan di atas dapat diterima oleh akal sehat karena penyidikan hakikatnya terkait dengan erat penuntutan. Penyidikan merupakan tahapan sebelum dilakukan tahap penuntutan. Artinya, penuntutan tidak akan pernah ada apabila tidak ada penyidikan yang hasilnya kemudian diserahkan kepada lembaga kejaksaan. Hasil penyidikan merupakan dasar bagi lembaga kejaksaan untuk melakukan penuntutan. Penetapan tersangka terhadap orang (calon tersangka) yang telah meninggal dunia akan menjadi sia-sia karena pada tahap penuntutan pasti akan dihentikan dengan alasan tertuduh meninggal dunia. Oleh karena itu, semestinya orang yang meninggal dunia tidak ditetapkan menjadi tersangka dan proses penyidikannya harus dihentikan.
Selain alasan di atas, perlu juga diperhatikan mengenai konsep manusia (naturalijke person) sebagai subjek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban atau mahluk yang mempunyai hak dan kewajiban menurut hukum. Manusia sebagai subjek hukum dimulai dari sejak lahir sampai meninggal dunia. Hal ini berarti bahwa manusia yang sebelum lahir dan setelah meninggal dunia bukan sebagai subjek hukum. Dalam lapangan hukum perdata, bayi yang masih dalam kandungan juga diakui sebagai subjek hukum, dengan syarat bayi itu dalam keadaan hidup. Ketika bayi yang masih di dalam kandungan itu meninggal dunia, maka dianggap tidak pernah ada dan tidak dapat disebut sebagai subjek hukum. (vide: Pasal 2 KUH Perdata).

Dengan demikian, orang yang telah meninggal dunia tidak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum. Manusia sebagai subjek hukum juga berlaku dalam bidang hukum acara pidana. Subjek hukum acara pidana merupakan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Dalam konteks demikian, maka orang yang telah meninggal dunia juga tidak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum acara pidana. Seseorang yang akan ditetapkan menjadi tersangka (calon tersangka) termasuk ke dalam subjek hukum acara pidana karena sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam hukum acara pidana. Oleh karena itu, seseorang yang meninggal dunia tidak dapat ditetapkan menjadi tersangka karena tidak termasuk ke dalam kategori subjek hukum (termasuk dalam hukum acara pidana) dan penyidikannya harus dihentikan demi hukum. Penetapan tersangka terhadap orang yang meninggal dunia (calon tersangka) merupakan tindakan yang tidak tepat.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Ramiyanto

Dr. Ramiyanto, S.H.I., M.H., merupakan pria kelahiran Musi Banyuasin Sumatera Selatan sebagai salah satu dosen di Universitas Swasta kota Palembang. Ia berusaha untuk menekuni ilmu hukum, khususnya di bidang hukum pidana.

Artikel: 2

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *