Tingkat terjadinya tindak pidana pencucian uang semakin tinggi di Indonesia. Hal ini dapat diketahui dengan meningkatkan angka korupsi di Indonesia dan jenis tindak pidana lainnya yang memiliki relevansi dengan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan seperti penipuan, perjudian dll.
Tindak pidana pencucian dengan senyatanya dapat mengancam stabilitas perekonomian nasional dan integritas sistem keuangan bahkan dapat merusak kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagaimana dijelaskan pada konsideran Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang atau yang selanjutnya disebut sebagai Undang Undang Pencucian Uang 2010.
Secara normatif pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang Undang ini sebagaimana dimaksud pada Undang Undang Pencucian Uang 2010 Pasal 1 angka 1.
Adapun unsur unsur tindak pidana yang dimaksudkan adalah terdiri dari setiap orang, menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menguba bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sebagaimana terdapat pada Pasal 3 Undang Undang Pencucian Uang 2010.
Selanjutnya pada Pasal 4 dinyatakan bahwa unsur unsur tindak pidana pencucian uang terdiri dari setiap orang, menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Pada Pasal 5 terdapat unsur tindak pidana pencucian uang antara lain setiap orang, menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Menariknya adalah pada Pasal 3 dan pasal 4 merupakan bentuk tindak pidana pencucian uang secara aktif. Sedangkan pada Pasal 5 undang undang tersebut merupakan bentuk tindak pidana pencucian uang pasif.
Secara terminologi kata menerima dan menguasai merupakan kalimat pasif sehingga secara kepustakaan tindak pidana maka ini dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang pasif.
Sederhananya tindak pidana pencucian uang secara aktif lebih mudah dibuktikan dalam pemeriksaan maupun dalam pengadilan sebab tindakan tersebut membutuhkan peran aktif dari pelaku tindak pidananya.
Sedangkan pada tindak pidana pencucian uang pasif lebih susah untuk dibuktikan karena dapat saja pelaku pasif ini mendapatkan hasil pencucian uang berdasarkan pada tindakan aktif pelaku tindak pidana pencucian uang.
Sebagai perumpamaan agar lebih mudah memahami tindak pidana pencucian uang pasif ini.
Misalkan A adalah seorang teman si B yang seorang pengusaha sukses. Si B ini mengadakan kerjasama dengan si C yang seorang pengusaha Indonesia yang memiliki perusahaan di Negara Haminisit. Si B ini juga merupakan seorang bandar judi yang bertempat di Negara Sawaie yang didirikan oleh si C. Dengan alasan kedekatan, maka si B ini memberikan uang senilai Rp 500 juta kepada si A dan mengatakan bahwa ini merupakan uang yang ia dapatkan karena usahanya sukses.
Sepuluh bulan kemudian si A ternyata di panggil oleh pihak kepolisian untuk diperiksa sebagai saksi atas tindakan pencucian uang yang dilakukan oleh si B ini. Akhirnya si A menanyakan terkait ini kepada si B dan B menjawab bahwa sebenarnya uang tersebut merupakan bagi hasil menjadi bandar judi di perusahaan si C.
Maka dari contoh diatas si A dapat diduga telah melakukan tindak pidana pencucian uang pasif, sedangkan si B dan si C diduga telah melakukan tindak pidana pencucian uang aktif.
Kenapa penulis menggunakan kata ‘diduga’?
Hal ini harus disesuaikan dengan tahapan acara pemeriksaan pidana di Indonesia. Dari contoh diatas permasalahan ini masih di tahap pemeriksaan oleh pihak kepolisian.
Setiap orang yang berhadapan dengan hukum harus dianggap tidak bersalah sebagaimana asas yang berlaku di Indonesia, asas praduga tidak bersalah.
Maka, kita tidak boleh menghakimi orang lain yang masih diduga melakukan tindak pidana sebelum ia dinyatakan bersalah oleh suatu putusan hakim berkekuatan hukum tetap.
Pembuktian Terbalik Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Pasif.
Pada dasarnya pelaku tindak pidana pencucian uang pasif dapat menerapkan pembuktian terbalik. Pembuktian terbalik ini dilakukan dengan membuktikan bahwa harta yang dimilikinya adalah bukan merupakan hasil tindak pidana pencucian uang sebagaimana terdapat pada Pasal 77 dan Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang Pencucian Uang 2010 ini.
Demikian itu dimaksudkan agar pelaku dapat diberikan hak dan jawaban atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum bahwa ia telah patut diduga melakukan tindak pidana pencucian uang Pasal 5 ayat (1) yang berdasarkan pada penetapan hakim.
Pada Pasal 78 tersebut menyatakan bahwa terdakwa harus dapat membuktikan asal usul hartanya.
Melihat pada strukturnya pembuktian terbalik ini sejatinya bukan merupakan beban melainkan hak bagi pelaku untuk membuktian dirinya tidak menerima uang dan/atau barang sebagai hasil dari tindak pidana pencucian uang.
Teori Netralisasi Dalam Krimonologi Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Pencucian Uang Pasif
Pada dasarnya teori netralisasi atau neutralization theory diterapkan dengan pertimbangan bahwa secara teoritis ini memiliki kesesuaian proporsi teori dengan karakteristik pelaku kejahatan.
Teori ini memberikan asumsi bahwa perbuatan manusia tersebut dilakukan atas kendali pemikiran-pemikiran pelaku.
Dengan menggunakan contoh diatas mari kita konkretkan.
Si A akan memberikan keterangan didalam persidangan bahwa ia tidak tahu bahwa uang itu merupakan hasil dari pencucian uang atau ia tidak bermaksud untuk melakukannya. Maka ia secara tidak langsung telah menggunakan teori netralisasi sebagai dasar pembenaran atas perbuatannya untuk menerima uang tersebut melalui proses rasioonalisasi.
Terdapat lima strategi netralisasi yang dapat dilakukan oleh pelaku antara lain denial of responsibility, denial of injury, denial of victim, condemnation of the condemners dan appeal to higher loyalities.
Pada kasus diatas si A yang merupakan teman si B, maka si B akan berpotensi untuk melakukan denial of victim, yang mana si B sebagai pelaku memahami diri sebagai pelaku dan berhak atas pertanggungjawaban dan si A yang ia katakan sebagai ‘korban’ atas perbuatan pencucian uang yang dilakukan oleh si B dianggap sebagai orang yang bersalah.
Demikian itu menjadikan si A dan B secara bersama-sama harus menerima sanksi pemidanaan yang terdapat dalam rumusan pasal 5 ayat (1) itu yakni di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Namun bagi si A strategi yang dapat ia lakukan adalah deny of responsibility dengan menegaskan bahwa ia mendapatkan uang itu bukan atas kehendaknya dan tidak atas sengaja untuk meminta agar uang itu menjadi kepemilikannya.
Maka ia menyangkal pertanggungjawaban atas tindak pidana pencucian yang atas menerima atau menguasai uang hasil tindak pidana tersebut.